Sedang Membaca
Hijrah dari Jerat Ekstremisme (2): “Jalan Pulang” Menurut Seorang Mantan Teroris-Jihadis
Rizal Mubit
Penulis Kolom

Guru Ngaji di Kampung. Pengajar di Universitas Kiai Abdullah Faqih Manyar Gresik, Jawa Timur. Alumni Pusat Studi Qur'an Ciputat dan Pascasarjana IAIN Tulungagung prodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir. Menulis sejumlah buku bertema keislaman. Peneliti Farabi Institute.

Hijrah dari Jerat Ekstremisme (2): “Jalan Pulang” Menurut Seorang Mantan Teroris-Jihadis

Elawaeduyaeb8o4

Ketika konflik kekerasan pecah di Poso pada 1998, Iin Brur baru setahun lulus dari Sekolah Menengah Atas (SMA). Menurut cerita ibunya, yang juga diakuinya sendiri, pada tahun-tahun itu dia salah satu anak muda Poso Kota yang suka nge-geng dan mabuk-mabukan. “Ketika azan Magrib tiba, dia bukannya pergi ke musala, tapi malah mengganggu anak-anak perempuan berkerudung dan sedang pergi ke musala untuk mengaji, sambil merokok di pinggir jalan.” kenang ibunya.

Bagaimana akhirnya anak muda seperti ini berkembang menjadi jihadis dan kemudian teroris?

Iin lahir pada 20 September 1978 dari pasangan Abadia Lako (ayah), seorang pegawai negeri, dan Rusmin Hamdja (ibu), seorang ibu rumah tangga. Ketika konflik pecah pertama kali pada akhir 1998, Iin sedang tinggal bersama keluarganya di Bonasompe. Karena durasinya tidak lama, hanya sekitar satu bulan, mereka tetap tinggal di sana pada fase pertama konflik ini. Mereka baru mengungsi dari Poso ketika konflik kekerasan kembali pecah, dengan eskalasi tinggi, pada pertengahan 2000. Sementara ibunya diungsikan ke Ampana di sebelah timur Poso, Iin mengungsi ke Palu, yang jaraknya lima jam berkendaraan dari Poso.

Selain menjadi pengungsi, keluarga besar Iin Brur juga menjadi korban konflik dalam beberapa pengertian lain. Ada rumah salah satu anggota keluarga besarnya yang dibakar akibat konflik­. Dalam konflik tahun 2000, beberapa orang saudaranya juga hilang dan hingga kini tidak diketahui kabarnya, salah satunya adalah kakek dari pamannya yang tinggal di Desa Pandiri, Lage, sementara istri dan anaknya diketahui selamat. Selain itu, be­berapa anggota keluarganya di Tentena juga meninggal di tempat pengungsian karena sakit.

Semuanya ini membangkitkan kemarahan Iin dan keinginannya­ untuk balas dendam. Inilah awal yang menyeretnya­ menjadi siapa dia yang kita kenal sekarang: mantan na­piter. Langkah-langkahnya ke arah ini sudah dimulai sejak dia menjadi pengungsi di Palu. Di sana, Iin dan kawan-kawannya sesama pengungsi suka menonton televisi dan membaca surat kabar mengenai konflik kekerasan yang terjadi pada saat yang sama di Ambon, Maluku, dan keterlibatan Laskar Jihad di dalamnya. Dan memang itulah yang dilakukannya ketika dia kembali ke Poso, menandai awal keterlibatannya dalam konflik:

Pada saat pulang dari Palu dan tiba [kembali] di Poso, saya dan beberapa teman dari pengungsian sudah sepakat bahwa kalau ada Laskar Jihad masuk di Poso, kita saling kasih informasi biar kita bisa gabung. Akhirnya, waktu di Poso, saya sering ke masjid. Pada suatu saat, [ketika] ada taklim di masjid, saya ikut dan saya tertarik dengan pembahasan dalam pengajian itu. Apa yang saya dengar waktu itu belum pernah saya dapatkan sebelumnya: soal jihad; soal tidak boleh lari [ketika diserang musuh] kecuali untuk bergabung dengan kelompok lain atau sebagai taktik perang….

Saya ikut, tertarik, sampai [ikut] beberapa kali pertemuan. Akhirnya [saya] ditawari untuk [terlibat] lebih jauh lagi, katanya mau ada training satu minggu. Di situ saya ikut.

Iin dan kawan-kawannya hanya mengenal para guru di atas sebagai “guru-guru Jawa” karena bahasa mereka. Iin dan kawan-kawannya juga tidak hafal nama-nama mereka, karena mereka menggunakan nama alias seperti Mustafa atau Abdullah, dan beberapa di antara mereka menggunakan nama panggilan­ yang sama, misalnya Ahmad, yang sangat populer.

Waktu itu Iin dan kawan-kawannya juga tidak bisa memastikan apakah ustad-ustad di atas berasal dari Laskar Jihad, seperti yang membantu kaum Muslim di Ambon. Baru belakangan, sesudah terjadi Bom Bali (2002) dan lagi-lagi lewat televisi, Iin tahu bahwa beberapa ustad Jawa yang dulu memberinya taklim adalah bagian dari jaringan terorisme JI, yang terkenal bukan hanya di Indonesia tapi juga dunia.

Menurut pengakuan Iin, hampir semua anak muda Poso saat itu terlibat dalam pengajian-pengajian di atas, karena pengajian­-pengajian seperti itu diselenggarakan di tiap kelurahan. Dalam kesempatan­ lain, dia menyebut pengajian seperti ini sebagai taklim umum, yang dibedakan dari taklim khusus atau training, yang hanya diberikan kepada kelompok khusus yang dipilih hati-hati oleh para guru di atas. Pada yang terakhir, anak-anak muda Poso itu diberi latihan paramiliter selama sekitar seminggu atau lebih di satu tempat terpencil.

Iin termasuk dalam kelompok yang dipilih untuk ikut training ini, yang juga disebut kelompok askari (bersenjata). Belakangan, dia juga terpilih sebagai salah satu anggota Tim 10 yang memperoleh latihan khusus dari “guru-guru Jawa” di atas. Dari berbagai­ kelompok Muslim di Poso, Iin berasal dari kelompok Tanah Runtuh. Dia mengaku dilatih dalam hal bela diri, seni militer, taktik dan strategi perang, dan lainnya, sehingga dia terlatih misalnya untuk bongkar-pasang dan menggunakan senjata, termasuk S-1.

Apakah dengan begitu Iin dan kawan-kawannya terlibat dalam jaringan terorisme JI? Dia belakangan merumuskan ke­terlibatannya dan kawan-kawannya dengan anggota JI di atas sebagai kerja sama yang saling menguntungkan.

Baca juga:  Tips Mendidik Anak ala Fethullah Gulen

Dengan alasan-alasan di ataslah Iin Brur, anak muda yang suka merokok dan gitaris sebuah grup band rock lokal itu, kemudian terlibat sebagai jihadis dalam apa yang mereka sebut sebagai amaliyat (operasi) terkait konflik kekerasan di Poso. Selama menjalankan amaliyat ini, dia mengaku sempat terlibat dalam penyerangan atas beberapa desa, salah satunya Desa Mayumba, “yang ditempuh kurang lebih empat hari empat malam dengan berjalan kaki [dari Poso], lewat hutan.” Kenangnya lagi, “Kami sekitar 30 orang. Korbannya dari kita ada yang kena tembak di satu tangan, tapi tidak ada yang meninggal. Korban dari pihak Nasrani, saya tidak tahu berapa, karena waktu itu ada polisi yang menjaga [desa itu]. Jadi begitu masuk ke kampung itu, kita langsung kontak dengan polisi, baku tembak. Rumah habis dibakar.”

Tapi amaliyat yang menjadikan Iin belakangan disebut teroris­ adalah keterlibatannya dalam pembunuhan Ferry Silalahi,­ seorang jaksa di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah, di Palu pada 26 Mei 2004. Meskipun Poso sudah menjadi lebih aman sesudah kesepakatan damai Malino (2002), Iin termasuk dalam kelompok yang tidak puas terhadap isi kesepakatan itu dan melakukan serangan-serangan sepihak dengan target khusus kaum Kristen, seperti sudah dibahas. Pembunuhan Jaksa Ferry adalah salah satu bentuknya.

Keterlibatan Iin dalam proyek ini bermula ketika dia dipanggil­ ke Palu oleh Ustad Hasanuddin, “guru Jawa” yang dianggap pemimpin tertinggi kelompok jihadis di Poso. Rupanya dia diminta mendampingi Haris, yang mengajukan proyek ini dan yang terlibat dalam proyek-proyek sejenis lainnya. Dalam penilaian Haris yang disetujui Hasanuddin, Jaksa Ferry sudah wajib dibunuh karena dia sudah menghina Islam di depan publik,­ ketika dia mengadili satu kasus terorisme.

Iin mengaku semula ragu terlibat karena yang dijadikan target bekerja di Palu, bukan di medan perang Poso, dan tidak pernah langsung menyerang dan merugikan warga Muslim Poso. Tapi Hasanuddin dan Haris berhasil meyakinkannya bahwa yang bersangkutan turut merugikan kaum Muslim meskipun tidak langsung. Dia juga mengaku sudah mencoba menghindar dengan alasan tidak punya senjata. Tapi Haris sekali lagi ber­hasil mendorongnya dengan menyediakan senjata.

Proyek di atas berhasil dijalankan pada satu malam, ke­tika sang target baru saja keluar dari gereja sehabis mengikuti kebaktian­ Gereja Kristen Indonesia. Menurut pengakuan istrinya yang didengar Iin belakangan, Jaksa Ferry tidak tewas seketika, melainkan di rumah sakit tentara ke mana dia segera dibawa sesudah penembakan.

Sesudah aksi di atas, Iin kembali ke Poso dan hidup se­perti biasa. Dia mengaku sempat gundah karena melakukan aksi itu, tapi semuanya hilang karena ada banyak teman yang memberinya tausiyah (nasihat) bahwa “apa yang kita kerjakan ini insya Allah adalah kebenaran.” Baru sekitar dua tahun sesudahnya,­ sekitar Oktober 2006, Iin kaget ketika namanya masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO), yang diketahuinya dari televisi. Seketika itu pula dia tahu bahwa ini “sudah tidak lagi main-main.”11 Hal ini diperkuat beredarnya selebaran berisi nama-nama yang masuk dalam DPO, lengkap dengan foto dan kasus-kasus kekerasan di mana mereka terlibat. Menghadapi situasi baru ini, dia bergabung dengan teman-temannya sesama DPO dan lainnya di Gebangrejo, Tanah Runtuh, yang biasa jadi markas mereka.

Ketika Polri akhirnya menyerang Tanah Runtuh pada pagi 11 Januari 2007, Iin kebetulan sedang tidak ada di sana, tapi sedang pulang ke Bonesompe dan bermalam di sana. Dia dibangunkan kakaknya, yang sekaligus memberi kabar mengenai penyerang­an di atas. Ketika Iin bersikeras hendak pergi ke Tanah Runtuh saat itu juga, ibunya melarangnya.

Menyerahkan Diri: “Ketika Kami Sendiri….”

Empat hari sesudah serangan polisi di atas, Iin Brur melarikan diri dan sembunyi di rumah kawannya di Palu. Dari sanalah dia, lagi-lagi lewat televisi, menyaksikan serangan polisi yang kedua atas Tanah Runtuh, pada 22 Januari 2007, dan sedih melihat beberapa kawannya terbunuh. Ditanya mengapa dia tidak menyerahkan diri seperti yang disarankan misalnya oleh Ustad Adnan Arsal, tokoh Muslim paling kharismatis di Poso,12 Iin menjawab bahwa dia dan kawan-kawannya memang tidak mau menyerahkan diri karena “pemahaman kami sudah seperti itu, tidak mau menyerahkan diri.” Apalagi, tambahnya, waktu itu mereka sedang kumpul bersama, dengan rasa solidaritas yang tinggi.

Iin berada dalam persembunyiannya itu selama sekitar tiga tahun. Kala itu, dia mengaku suka membantu tuan rumahnya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah. Dia juga kadang pergi ke pasar dan bermain sepak bola dengan anak-anak di sekitar rumah. Keluarga dan kawan-kawannya tahu dia masih hidup, tapi mereka tak tahu dia tinggal di mana.

Tapi berada dalam persembunyian, jauh dari kawan-kawan dekatnya yang lama, juga menyediakan kesempatan berharga­ bagi Iin untuk merenungkan masa depannya dengan lebih obyektif. Dia juga memperoleh bahan-bahan masukan baru, antara lain dari televisi dan tuan rumahnya, untuk dipertimbangkan­ lebih masak di waktu-waktunya yang banyak longgar. “Ketika kami sendiri, kami punya lebih banyak waktu untuk merenung,” kenangnya.

Baca juga:  Izinkan Saya Bercerita Tentang Ibu Saya pada Hari Ibu

Di antara peristiwa yang banyak diliput televisi pada waktu itu, antara 2007 dan 2009, adalah penangkapan para teroris oleh pasukan Densus 88. Sesudah menyaksikan itu semua dan ingat terutama ibunya di rumah, Iin merasa mantap untuk menyerahkan diri, yang dilakukannya pada 18 November 2009. Sebelum itu, dia pulang dulu ke Poso untuk bertemu ibunya dan memohon­ restunya.

Menurut Iin, pertimbangan tentang ibu adalah faktor terkuat yang mendorongnya menyerahkan diri. Tapi keputusan Iin juga sangat dipengaruhi oleh persahabatannya­ dengan dan masukan yang diperolehnya dari tuan rumahnya, pasangan Adriany Badrah dan Maskur, dua pekerja LSM di Palu dengan pengalaman lama bekerja di Poso. Mereka, kata Iin, misalnya berpandangan bahwa konflik di Poso itu tidak murni antara Islam dan Kristen, tapi lantas berkepanjangan dan dibarengi oleh balas dendam.

Iin memerlukan waktu cukup lama untuk memutuskan me­ nyerahkan diri karena dia mempertimbangkan apa kata teman-temannya sesama jihadis nanti. Dia ingat komitmennya di Tanah Runtuh untuk tidak menyerahkan diri dan kini dia khawatir dituduh pengkhianat. Rasa bersalah ini belakangan terus menghantuinya hingga dia diyakinkan Ustad Nasir Abbas yang mengunjunginya di dalam penjara. Dukungan ini penting, karena Iin merasa ustad itu “lebih tinggi dari saya dari segi askari (militer) maupun diniyah (agama).”

Iin juga merasa bahwa kini tidak ada lagi konflik Muslim-Kristen di Poso. Dia juga menyaksikan sendiri bahwa aparat negara, termasuk Polri, tidak seburuk yang diyakininya sebelumnya.

Ketika menyerahkan diri ke Polda Palu dan diterima Kapolda, Iin didampingi Haji Adnan Arsal, tokoh Muslim Poso yang sudah disebut di atas.13 Menurut pengakuannya, ketika menyerahkan­ diri, dia diperlakukan dengan baik dan tidak disiksa, seperti­ yang pernah dia dengar terjadi pada beberapa kawan jihadis sebelumnya.

Ketika pengadilan memutuskan hukumannya 8,6 tahun penjara, Iin menerimanya dengan ikhlas meskipun dia semula menduga hukumannya akan lebih ringan dari itu. Dalam proses persidangan, dia juga sempat bertemu dengan istri mantan orang yang ikut dibunuhnya dan merasa gembira ketika mengetahui bahwa sang istri sudah sejak lama memaafkannya.

“Jalan Pulang”: Bekerja Membangun Perdamaian

Selepas keluar dari penjara pada April 2015, Iin tinggal bersama keluarganya di Bonesompe. Agak beda dari yang ditampilkan dalam Jalan Pulang, kepada saya dia menyatakan bahwa dia ti­ dak mengalami masalah reintegrasi apa pun, karena kepu­ langannya bahkan disambut dengan acara syukuran yang diha­ diri tokoh­-tokoh masyarakat. Dia juga tidak menghadapi masalah berarti­ dalam mencari pekerjaan sesudah keluar dari penjara, karena kawan-kawannya membantunya dengan memberi modal­ awal atau mengajaknya bekerja di tempat mereka. Sebelum kini aktif di Komunitas Rumah Katu yang dipimpinnya, Iin sempat bekerja di percetakan, seperti yang pernah dijalaninya sebelum­ konflik dan yang menjadi pekerjaan tokoh Ahmad dalam film.

Tapi selain dari kisahnya sendiri, Jalan Pulang memang juga didasarkan atas kisah kawan-kawannya yang lain. Dalam film dia merasa perlu memasukkan kisah-kisah ini. Katanya, Masyarakat perlu tahu lebih dalam tentang kehidupan para mantan napiter. Ada tantangan baru setelah mereka melewati masa hukuman di dalam penjara. Ada yang berhadapan de­ ngan sulitnya mendapatkan pekerjaan. Ada yang berhadapan dengan­ tetangga atau masyarakat yang masih belum menerima keberadaan mereka dan ada yang berhadapan dengan konflik batin antara kembali bergabung dengan komunitas lamanya atau “berpisah” dan bergaul dengan komunitas baru. Atau merasa dikucilkan oleh teman-teman komunitas lamanya kalau mereka bergaul dengan komunitas baru.

Kehidupan Iin pasca penjara mengalami perubahan cukup besar ketika, pada pertengahan 2016, dia dan kawan-kawannya­ ditawari Kolonel Marinir Werijon, yang waktu itu bertugas memimpin pasukan marinir dalam Operasi Tinombala,14 untuk membuka taman laut di Poso. Sesudah melakukan observasi, Iin dan kawan-kawannya berhasil membangun taman laut itu, yang mereka beri nama “Rumah Katu Marine Park” (Taman Laut Rumah Katu), terletak di Pantai Madale, sekitar sepuluh kilometer dari pusat kota Poso. Di taman laut itu, mereka menyediakan permainan outbond seperti banana boat dan flying fox. Wisatawan pada umumnya juga datang ke situ untuk menyelam, memancing, snorkeling, atau sekadar untuk beristirahat bersama keluarga.

Pada 19-20 Agustus 2016, Iin dan Rumah Katu Marine Park menggelar apa yang mereka anggap sebagai salah satu festival laut terbesar di Poso, disebut Festival Rumah Katu. Festival ini, yang cukup luas diliput media massa, menampilkan musik, tarian,­ puisi, pameran seni dan foto yang menggambarkan budaya Poso.

Ketika mengerjakan proyek-proyek ini, Iin selalu mengajak kawan-kawannya yang lama, termasuk mantan napiter. Se­bagian mereka bersedia dan bahkan antusias ikut, sedang sebagian lainnya tidak, antara lain karena merasa wilayah itu “bukan bidang saya.” Ketika menyelenggarakan Festival Rumah Katu, Iin juga mengontak kawan-kawannya mantan jihadis untuk memastikan bahwa semua rencana akan berlangsung aman dan tanpa gangguan.

Baca juga:  Di Bawah Bayang-Bayang Paradoks Bonjol (3): Gerhana Sosial Politik Bumi Khatulistiwa 

Sayangnya, Taman Laut Rumah Katu tidak bisa bertahan lama karena Iin dan kawan-kawannya gagal memperoleh jalur khusus masuknya kendaraan ke lokasi taman. Karena itu, mereka­ lalu fokus pada pengembangan kelembagaan organisasi, dengan memperkuat Komunitas Rumah Katu. Komunitas ini terdiri dari orang-orang yang pernah menjadi korban konflik Poso, baik dari kalangan Islam maupun Kristen. Iin menjabat sebagai ketua di sini, sedang jabatan sekretaris dipegang Fery Djamorante, aktivis Kristen asal Tentena. Adriany Badrah atau Adi, yang pada 2007 bersama suaminya ikut menyembunyikan Iin di rumah mereka di Palu dan kini menjabat sebagai direktur Celebes Institute yang punya jaringan luas, giat mendampingi mereka di belakang layar.

Melalui berbagai kegiatan kreatif, komunitas itu ingin mendorong perdamaian di Poso. Salah satu aktivitas mereka yang paling belakangan adalah ikut menyiapkan dan mendampingi grup band kenamaan Slank dalam konser mereka, bertajuk “Konser Piss Poso”, di tepi Danau Poso, Tentena, pada Senin, 6 November 2017.

Mewakili Komunitas Rumah Katu ini pulalah Iin mengirimkan karyanya, video berdurasi tiga menit berjudul 2/3 Malam, tentang hidup sehari-hari seorang mantan napiter, ke Tempo Institute­ di Jakarta. Kala itu, sekitar Oktober 2017, Tempo Institute­ sedang mengadakan kompetisi video pendek bertema “Karena Kita Indonesia”, yang informasi mengenainya diketahui Adi. Karena video yang diproduksi Komunitas Rumah Katu di atas menarik perhatian juri dan terpilih sebagai pemenang pertama kompetisi, Iin diundang ke Jakarta, bersama sekitar 20 orang lainnya dari seluruh Indonesia, untuk mengikuti lokakarya pembuatan film.

Ringkasnya, video 2/3 Malam itulah yang menjadi awal dari terus berkembangnya kreativitas Iin dan Komunitas Rumah Katu sehingga belakangan mereka bisa menghasilkan Jalan Pulang. Dari segi substansi, tema yang diangkat Iin dalam Jalan Pulang adalah tema yang sama dengan yang diangkatnya dalam 2/3 Malam, atau perluasan darinya. Berkat hubungannya dengan­ Adi dan Tempo Institute, juga beberapa lembaga lainnya, Iin dan kawan-kawannya bukan saja memperoleh peningkatan kapasitas dan perluasan jaringan terkait pembuatan film, tapi juga kepercayaan diri dalam berkarya.

Bekal di atas pulalah yang membuat Iin dan Adi berani me­ngontak Rival Himran untuk menulis theme song film di atas dan belakangan mengisi suaranya. Ketika dikontak Adi pertama kali untuk keperluan ini, Rival sempat ragu karena yang dia ketahui di Jakarta tentang Poso adalah konflik dan terorisme. Dalam perjalanan dari Palu ke Poso, perasaan Rival tambah tak menentu begitu Adi memberitahunya bahwa sutradara film ini, Iin Brur, adalah seorang mantan napiter! Tapi semua kekhawatiran awal Rival ini pudar ketika dia berjumpa dan tinggal sekamar dengan Iin selama seminggu pembuatan film. Rival akhirnya bukan saja menulis dan menyanyikan theme song, tapi juga ikut bermain dalam Jalan Pulang.

Saya tidak kredibel untuk menilai kuat atau tidaknya Jalan Pulang secara sinematografis, karena saya bukan ahli dalam bidang itu. Tapi dari segi substansi dan dari kaca mata penonton awam, saya misalnya kurang sreg melihat adegan di mana Ahmad menyebutkan satu hadis untuk menegaskan pendapatnya, karena hal itu terasa terlalu mengajari dan kurang natural. Di segi lain, saya suka dengan adegan di mana Ahmad yang sedang mencari kerja “ditolak” bukan saja oleh seorang penjaga toko berwajah Tionghoa, tapi juga oleh seorang penjaga toko perempuan berjilbab. Ini menandakan bahwa Iin peka dalam melihat hubungan di antara kelompok agama dan ras yang beragam di Indonesia. Yang saya rasakan penting tapi sama sekali tidak ada dalam film itu adalah bagaimana Iin, atau Ahmad, mengalami swaderadikalisasi seperti sudah saya bahas di atas.

Di luar itu semua, saya bisa menangkap makna penting apa yang mau dikatakan Iin lewat film ini: bahwa mantan napiter juga adalah korban konflik dan bisa, bahkan sudah, berubah; bahwa perang membawa banyak korban dan trauma yang diakibatkannya terus menghantui banyak korban; bahwa pemerintah harus berbuat lebih banyak untuk ikut mengatasi tantangan yang dihadapi para mantan napiter; dan bahwa upaya untuk menarik kembali para napiter ke organisasi dan gerakan lama masih ada. Sebagiannya disampaikan tersurat dalam Jalan Pulang sedang sebagian lainnya hanya tersirat.

 

Dinukil dari tulisan Ihsan Ali Fauzi berjudul “Jalan Pulang” menurut Mantan Teroris Jihadis: Kekerasan dan Binadamai di Poso, Sulawesi Tengah yang dimuat dalam buku Keluar dari Ekstremisme terbitan Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta, 2018. bekerja sama dengan UNDP-PPIM UIN Jakarta.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top