Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta KH Nasaruddin Umar menyatakan bahwa saat-saat krisis di tengah pandemi Covid-19 seperti sekarang ini merupakan lahan subur untuk menanam benih-benih surga. Caranya, dengan berbagi atau bersedekah kepada orang-orang yang sangat terdampak.
“Berbagi di saat normal, pahalanya tidak seberapa tetapi berbagi di saat krisis itu pahalanya berlipat-lipat ganda. Karena itu, berbagi meskipun sedikit artinya buat kita, tetapi besar artinya buat saudara kita, tentu besar juga artinya di mata Allah,” tutur Kiai Nasar dalam acara Istighatsah dan Doa Bersama yang digelar PT Telkomsel dan Majelis Telkomsel Taqwa (MTT), pada Jumat (6/8/2021) pekan lalu.
Dalam menghadapi pandemi Covid-19 yang berdampak pada kesehatan dan ekonomi, Kiai Nasar menekankan umat Islam agar meningkatkan level dari syukur ke syakur. Ia lantas menjelaskan perbedaan keduanya.
Menurutnya, syukur itu berarti menerima nikmat yang telah Allah berikan. Sementara syakur adalah menerima apa pun yang datang dari Allah, termasuk musibah. Sebab musibah itu juga datang dari Allah.
“Ini (syakur) berat, maka Allah mengatakan wa qalilun min ibadiyassyakur (artinya) hanya sedikit di antara hamba-Ku yang sampai ke tingkat syakur. Jadi dalam era musibah ini kita harus bersyakur. Karena kalau syukur itu, normal. Tetapi menerima apa pun yang datang dari Allah Yang Mahabaik itu sangat langka dilakukan,” terang Kiai Nasar.
Menerima musibah dengan lapang dada dan hati yang tenang itu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki makrifat atau kearifan yang tinggi. Ilmu makrifat sendiri tidak bisa dipelajari di buku-buku, di bangku kuliah, atau melalui ceramah keagamaan. Cara untuk mendapatkannya melalui kontemplasi, meditasi, khusyuk, tafakkur, dan tadzakkur.
“Karena pengetahuan itu ada dua macam. Pertama, pengetahuan yang diperoleh dari olah nalar yang disebut ilmun. Kedua, pengetahuan yang diperoleh melalui olah batin, itu disebut makrifat. Nah yang kita perlukan dalam suasana krisis ini adalah kearifan,” terangnya.
Ditegaskan, semua orang pasti terdampak akibat pandemi Covid-19 yang berkepanjangan ini. Namun jika menengok ke bawah, terdapat banyak orang yang merasakan dampak lebih atau sangat parah hingga menjual berbagai harta untuk ditukarkan dengan uang.
“Ada yang menjual televisinya, ada yang menjual handphone-nya, ada yang menjual sepedanya, dan yang paling memilukan ada yang menjual kompor gasnya. Dia akhirnya cari kayu bakar. Apa pun yang bisa bernilai uang di rumahnya, dia jual. Sementara kontrakan ruamahnya belum dibayar,” ucap Kiai Nasar.
Itulah ujian yang diberikan oleh Allah. Menurut Kiai Nasar, siapa orang yang ingin lulus dari ujian yang berat ini maka caranya harus berbagi kepada saudara-saudara yang lebih membutuhkan atau sangat terdampak secara ekonomi akibat pandemi Covid-19.
“Bagi kita yang sudah terinfeksi Covid-19, syukurilah karena itu pemberian Allah. Satu hari kita dilanda penyakit demam, Allah akan mengampuni dosa kita selama satu tahun. Kata Rasulullah, tidak datang kepada seseorang sebuah musibah kecuali dosanya akan diampuni di masa lampau,” terangnya.
Kiai Nasar pun mengajak umat Islam untuk bisa menjadikan musibah berupa pandemi Covid-19 ini sebagai sebuah proses pembelajaran. Menurutnya, jika seseorang tidak taubat dan masih langgeng dalam menjalankan dosa di era pandemi ini tetapi masih saja diberi nikmat oleh Allah, maka dikhawatirkan itu adalah istidraj.
“Istidraj itu, orang yang menikmati kemewahan dari Allah, tetapi tidak pernah dijewer oleh Allah dan pada saat bersamaan dia melaksanakan maksiat, itu istidraj. Hati-hati. Orang ini akan diseret oleh Allah dengan sangat menyedihkan. Naudzubillahi min dzalik. Jangan sampai kita termasuk orang yang istidraj,” katanya.
“Seandainya kita tahu apa arti di balik musibah, mungkin kita akan bersyukur pada saat ada musibah itu terjadi. Jadi, musibah itu jangan dimusuhi karena akan semakin menjadi-jadi, semakin sakit,” tambah Kiai Nasar.
Ia menyebutkan sebuah penelitian yang dilakukan di beberapa rumah sakit di Amerika. Menurut penelitian tersebut, orang yang beragama secara aktif ketika ditimpa sebuah penyakit hanya akan merasakan sakit sebesar 60 persen.
“Tetapi orang yang tidak beragama, tidak ada ajaran agama yang melekat, bisa dia rasakan 180 persen penyakit itu. Jadi ini pentingnya beragama untuk mengurangi sakit, kecewa, dan penderitaan,” pungkas Kiai Nasar.