Risalah dakwah seringkali diartikan sebagai pendekatan konservatisme dalam beragama. Padahal senyatanya tidaklah demikian.
Dakwah sebagai seruan kebajikan dan kemaslahatan memiliki makna transformasi sosial menuju masyarakat berkeadaban.
Ketika Alquran mengatakan yad’una ilal khoir wa yamuruna bil ma’ruf, mengajak pada kebaikan dan dan menyeru pada hal-hal ma’ruf (populer, dikenal, sedang tren) maknanya sangat luas, dan wajib luas, seluas alam semesta ini. Dakwah jangan diperkecil hanya menunaikan rukun Islam yang lima itu atau teus menerus bicara rukun iman yang enam itu. Kenapa?
Jawabnya tidak lain, jika hanya seperti itu, hasilnya hanya mengecilkan Islam, tidak lebih tidak kurang.
Pada kontekslah inilah pendekatan dakwah harus lebih mampu menjawab problema kemanusiaan konkrit yang dihadapi oleh umat manusia. Ingat manusia ya, bukan sebatas Muslim. Dakwah harus diperluas konteksnya dan sasarannya, bukan hanya orang Islam ataupun bukan hanya dalam konteks norma, atau doktrin keislaman.
Jika sasaran dan penerima manfaatnya hanya orang Islam, matilah agama kita ini. Jika kebaikannya hanya untuk untuk orang Islam, berhentilah visi keislaman yang diperjuangkan Nabi Agung 15 abad lalu.
Mungkin sebagai contoh, ulama besar kita, Ibnu Sina, menghabiskan umurnya untuk eksperimentasi bidang kedokteran, bukan hanya untuk kebaikan tetangganya yang beragama Islam, tapi untuk semuanya, bahkan untuk umat di kemudaian hari, yang sama sekali belum terbayang bentuknya. Inilah yang disebut rahmatan lil alamin.
Dalam konteks itu pula, Fakultas dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, pada tanggal 4 Oktober 2017 mengadakan International Da’wah Confrence (IDACON) dengan mengambil tema: “Bridging Diversity, Enriching Humanity”.
Tema ini dipilih didasari sebagai bentuk keprihatinan mendasar atas berkecamuknya konflik identitas di tingkat lokal, nasional dan global yang makin memprihatinkan potret kemanusiaan di abad 21. Dunia yang mestinya makin bersatu untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan, justru makin terkoyak oleh politik identitas yang diakibatkan oleh hasrat dan nafsu berkuasa. Dan tentu, oleh nalar beragama yang konservatif.
Hadir di dalam IDACON 2017 ini para akademisi seperti Prof Yasukiyaki Kono dan Prof Okamoto Masaaki peneliti CSEAS Universitas Kyoto, Martin Sawyer French dari George Washington University USA dan aktivis sosial seperti Dr. Musda Mulia untuk saling bertukar gagasan, mereformulasi pendekatan dakwah baru yang inklusif dan humanis di tengah masyarakat.
Pendekatan dakwah yang dapat saling menjembatani perbedaan, baik itu yang menyangkut keimanan, madzhab keagamaan, orientasi politik dan budaya lainnya sebagai sesuatu yang saling memperkaya horizon kemanusiaan. Upaya untuk terus menurus menjembatani adanya perbedaan dapat menciptakan budaya perdamaian yang berkelanjutan di tengah masyarakat. Hanya di dalam budaya perdamaian, keanekaragaman di dalam masyarakat makin tumbuh mekar dan berarti untuk kehidupan.
Selain itu, tantangan risalah dakwah masa depan adalah bagaimana merespon tuntutan keadilan masyarakat. Ketidakadilan merupakan musuh bersama semua pemeluk agama, karena mengakibatkan kesenjangan sosial yang pada gilirannya menimbulkan diskriminasi, dominasi, eksploitasi dan berbagai bentuk kekerasan dan kekejaman lainnya.
Pada konteks inilah, risalah dakwah di semua agama harus ditujukan untuk menghilangkan ketidakadilan dan bentuk eksploitasi kemanusiaan lainnya sebagai musuh bersama semua agama. Moralitas agama haruslah menjadi kekuatan vitalitas yang menghadirkan kehidupan semakin humanis dan berkeadaban.
Dan, ini yang penting, generasi milenial membutuhkan itu semua, humanis, beradab, adil, tidak bias jender, dan melek teknologi. Inilah mungkin yang pelu kita buat, risalah dakwah milenial. Mari, kita yang termasuk generasi Baby Boomer ini, di sisa waktu hidup yang sedikit ini, kita tinggalkan warisan yang tidak habis. Apa itu?
Itu tadi nilai-nilai Islam yang terus memperbarui tatanan kehidupan yang ingklusif, bersama, adil, humanis, beradab.