Sedang Membaca
Siapa Pemilik Pengetahuan?

Peneliti di Research Center for Biology, Indonesian Institute of Scienties

Siapa Pemilik Pengetahuan?

Baitul Hikmah

Sudah lazim dalam pengetahuan kita bahwa bangsa Barat-satu sebutan yang merujuk pada bangsa Eropa, Amerika, dan Australia sekarang ini-sebagai penemu dan pemilik pengetahuan. Anggapan tersebut memang ada benarnya, karena ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat di negara-negara tersebut. Tapi, jika ditelusuri lebih dalam, anggapan tersebut akan terlihat “cacat”nya.

Dalam hal sains, terutama ilmu hayati, sejatinya yang dilakukan oleh orang-orang barat (Eropa saat itu) adalah koleksi pengetahuan yang dimiliki oleh bangsa-bangsa dunia ketiga, termasuk Indonesia.

Pengetahuan tersebut kemudian “disantifikasi” melalui berbagai macam eksperimen penelitian. Standar dan cara kerja eksperimen tersebut pun, dibuat standarisasi oleh mereka sendiri. Dampaknya, apa yang dihasilkan oleh ilmuwan adalah ilmu pengetahuan sedangkan the origin of knowledge itu sendiri masih dianggap dengan sebelah mata.

Pada abad pertengahan, banyak ilmuwan-ilmuwan dunia justru “mendapatkan” pengetahuan dari orang lokal yang ditemui dan mendampingi selama penelitian. Namun sayangnya, peran orang-orang yang mendampingi tidak terlihat, apalagi orang setempat yang memberikan informasi. Persepektif lokal hampir tidak ada sama sekali.

Misalnya, dalam debat teori evolusi. Selama ini, ketika bicara teori evolusi, maka langsung tertuju pada Charles Darwin. Ia dianggap sebagai pencetus teori tersebut. Kita jarang melihat bagaimana teori tersebut bisa muncul?

Baca juga:  Analogi Gerakan Salat dalam Manuskrip Samarkandi

Kaum sejarawan lama berdebat mengenai teori ini. Ada yang menganggap Darwin mengambil inspirasi dari Albert R Wallace, seorang ilmuwan dan penjelajah, yang banyak menghabiskan waktu di Pulau-Pulau Nusantara. Sebagian membela Darwin dengan mengatakan bahwa Darwin tidak ada hubungannya dengan Wallace.

Titik temu dari perdebatan tersebut adalah Darwin dianggap mentor dari Wallace. Surat-surat Wallace yang bingung terhadap fenomena alam pada Darwin dianggap sebagai “konsultasi” ilmuwan penjelajah pada ilmuwan teoreris. Selama berada di Ternate, Wallace banyak kirim surat kepada Darwin, mengenai fenomena alam yang dijumpainya.

Lalu, bagaimana Wallace memperoleh pengetahuan tersebut? Hanya melalui pengamatan semata kah?

Dugaan kuat tentu saja tidak, ada orang Indoensia yang menemani Wallace, Ali namanya. Ia yang menjadi pintu akses Wallace tidak saja pada sumber daya hayati,melainkan juga pada ilmu pengetahuan mengenai alam yang ada di masyarakat Nusantara yang dijumpainya.

Melalui Ali, Wallace bisa berhubungan dengan orang-orang di Ternate, Tidore, Bacan dan sekitarnya.

Tapi sayangnya, Ali tidak pernah disebut dalam debat teori evolusi, apalagi masyarakatnya.

Bicara teori Evolusi, Darwin bukanlah yang pertama. Jauh sebelumnya, seorang ahli Al-Jahiz (Lahir di Basrah 776 M) sudah mengulas hal ihwal perikehidupan binatang melalui karyanya “Al-Hayawaan”.

Dalam karyanya tersebut, Al-Jahiz sudah mengatakan bahwa binatang-binatang harus berjuang untuk bisa bertahan hidup, proses spesiasi atau proses binatang menjadi spesies, dan cara binatang-binatang mengatasi faktor lingkungan. Ketiga hal tersebut adalah bagian dari teori evolusi yang disuarakan Darwin.

Baca juga:  Menelisik Wahabi (10): Konflik Ulama Banyuwangi dengan Golongan Anti Mazhab

Apakah Darwin sudah mengakses karya Al-Jahiz kemudian diperkuat oleh laporan pengamatan Wallace di Nusantara? Atau hasil diskusi Wallace dengan ulama-ulama yang ada di Ternate mengenai kehidupan yang ditemui dan disandingkan dengan wawasan ulama Ternate saat itu? Belum ada penelitian lebih lanjut mengenai hal tersebut.

Demikian juga Rumphius, ilmuwan Jerman yang bekerja untuk kolonial Belanda. Ia lebih dulu menjelajahi Nusantara daripada Wallace. Karya-karyanya sampai sekarang masih dikaji, terutama mengenai pemanfaatan kehati untuk pengobatan. Bahkan, ada salah satu karyanya yang hilang, karena memuat informasi berharga. Laporannya mengenai gempa Maluku dianggap sebagai laporan “pertama’ tentang gempa di Nusantara pada masa modern.

Darimana Rumphius mengetahui berbagai macam pengetahuan pemanfaatan? Tentu saja dari masyarakat setempat. Mereka adalah sumber pengetahuan bagi Rumphius. Pengetahuan tersebut dicatat, dilaporkan, dan menjadi teori. Dalam proses terakhir tersebut, masyarakat setempat “sudah hilang”, yang ada hanya ilmuwan.

Apakah pada masa yang lebih modern pun ada hal serupa? Tentu saja masih ada, di bidang keanekaragaman hayati, ada yang namanya Idjang. Ia adalah teknisi laboratorium milik Belanda sampai Indonesia mereka.

Pada tahun-tahun 1930an, jika ada ilmuwan dari negara lain datang ke Indonesia (Kebun Raya Bogor), maka Idjang akan menemani, semacam tour guide. Waktu penelitian lapangan yang tidak banyak dan kendala lainnya, maka pengetahuan Idjang sangat penting.

Baca juga:  Energi Nuklir dan Perang

Para ilmuwan datang untuk ekspolasi keanekaragaman hayati, lalu Idjang akan menjelaskan nama ilmiah, habitat, dan tentu saja kegunaannya. Ia menjadi semacam perpustakaan yang berjalan dan berbicara.

Sepulangnya, apakah nama Idjang ada? Hampir dipastikan nama tersebut hilang, yang ada hanya nama ilmuwannya.

Pada masa sekarang pun, praktek seperti itu masih ada. Orang-orang Barat datang ke Indonesia, mengajak penelitian bersama dengan standar yang mereka buat sendiri. Beruntung, untuk sekarang masih bisa menjadi penulis kedua atau ketiga. Tetapi ada yang tetap hilang, yakni perspektif atau ukuran setempat, bukan ukuran atau perspektif barat yang dipaksakan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top