Sedang Membaca
Goethe, Al-Qur’an, Nabi Muhammad dan Islam

Goethe, Al-Qur’an, Nabi Muhammad dan Islam

GOETHE, AL-QURAN, NABI MUHAMMAD DAN ISLAM

Wie dumm es ist, sich selbst für etwas Besonderes zu halten

Denken Sie, dass Ihre eigenen Überzeugungen wahr sind

Wenn der Sinn des Islam darin besteht, sich Gott hinzugeben

Im Islam leben und sterben wir alle

…………..

(Alangkah pandir menganggap diri istimewa

Mengira keyakinan sendiri benar belaka

Bila makna Islam pada Tuhan berserah diri

Maka dalam Islam semua kita hidup dan mati)

…………

Sebait puisi di atas, merupakan penggalan puisi yang ditulis Johann Wolfgang von Goethe beserta terjemahannya. Puisi berjudul Hikmet Nameh, Buch Der Sprucche itu kerap dijadikan argumentasi untuk menyebut Goethe adalah seorang muslim.

Goethe bukanlah sembarang nama. Dia sebagian dari manusia luar biasa yang pernah dimiliki Jerman. Karya-karya Goethe telah menerangi alam semesta. Goethe bukan hanya seorang pujangga besar, dia juga dikenal sebagai seorang universalis dan dianggap sebagai seorang jenius universal pamungkas yang setara dengan Leonardo da Vinci. Goethe juga seorang pelukis, budayawan, filosof, penemu, politikus dan negarawan.

Goethe tak menolak ketika ada orang yang menduga dia seorang muslim. Fakta membuktikan, bahwa Goethe memang dekat dengan Islam. Di Indonesia tak banyak orang yang mengetahui kedekatan dia terhadap Islam yang mayoritas dianut bangsa ini. Bagi publik Jerman, kedekatan Goethe terhadap Islam tidak pernah dipersoalkan.

Pernyataan Goether sendiri, dia tidak pernah menolak bila disebut sebagai seorang muslim. Goethe teramat kagum dengan Islam ala kaum sufi yang tidak mementingkan formalitas dan simbol-simbol dalam beragama. Sejak kecil, Goethe telah membaca Alquran. Pada usia 18 tahun, Goethe telah berhasil menulis naskah drama dengan judul Muhammad. Dalam puisinya yang berjudul “Ich sah, mit Staunen und Vergnugen”  (“Aku memandang, takjub dan girang”), Goethe bahkan menyebut Alquran sebagai khazanah suci sang ilmu.

Di Jerman, Goethe memang dipandang sebagai seorang pahlawan kebudayaan. Ribuan buku dan desertasi tentang dia telah ditulis, mulai dari kajian dan analisis atas karyanya, sampai kepada biografi yang membicarakan secara detil atas kehidupannya. Tak sedikit pula orang yang menulis Kamus Goethe.

Di taman Beethovenplatz kota Weimar, Jerman terdapat sebuah monumen berbentuk dua kursi saling berhadapan melukiskan pertemuan batin antara dua tokoh pemikir besar dunia. Seorang pemikir besar dari Iran bernama Hafiz berjumpa dengan pemikir besar sekaligus sastrawan dari Jerman bernama Johann Wolfgang von Goethe yang kini namanya diabadikan sebagai nama lembaga kebudayaan Jerman, Goethe Institute. Goethe mengagumi karya-karya Hafiz yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman oleh Joseph von Hammer. Kemudian Goethe menulis syair-syair menghormati Islam yang dihimpun ke dalam sebuah buku berjudul West-Oestlicher Divan (Divan Barat-Timur) yang terdiri dari 12 bab. Tanpa disadari, kita menghayati karya fenomenal Goethe lewat karya-karya musikalisasi oleh Franz Schubert, Robert Schumann, Felix Mendelssohn Bartholdy, Hugo Wolf, Richard Strauss, Arnold Schonberg, Othmar Schoeck terhadap puisi-puisi yang tergabung di dalam West-Oestlicher Divan karya besar Goethe.

Melalui jalur sastra Divan Barat-Timur Goethe mempengaruhi puisi-puisi Islamiah karya Friedrich Rückert, Christian Morgenstern, dan Walter Benjamin. Pada tahun 1923, sastrawan Persia, Muhammad Iqbal menanggapi West-Oestlicher Divan Goethe dengan syair-syair Payam e Mashriq yang bermakna Pesan dari Timur sebagai salam persahabatan kebudayaan dari Timur ke Barat. Nama Goethe diabadikan secara khusus oleh Hamid Tafazoli di dalam Encyclopedia Iranica. Wajar bahwa kecenderungan Goethe berpihak ke Islam tidak disukai oleh para penyandang Islamophobia. Di Eropa, West-Oestlicher Divan tidak pernah sepopuler karya besar Goethe lainnya karena dianggap mengkhianati supremasi Kristen Eropa

Nasib serupa juga dialami Gotthold Ephraim Lessing tatkala menulis kisah Nathan der Weise memuji Saladin sebagai pemimpin yang adil dan beradab. Ada kesamaan antara Johann Wolfgang von Goethe dengan Raja Charles III sebagai dua tokoh peradaban Eropa Barat dan Kristen, yaitu dalam minat tabayyuniah untuk mempelajarai Islam yang sejak Saladin menaklukkan Jerusalem memang distigmasisasi sebagai jahat oleh sebagian masyarakat Eropa yang Kristen. Baik Goethe dan Charles tidak mau begitu saja dipaksa untuk membabi buta dan tuli membenci Islam seperti yang diyakini kaum penderita Islamophobia. Baik Goethe di masa lalu maupun Charles di masa kini sebagai Kristen berusaha memahami Islam sebelum menghakimi Islam berdasar kehendak dan selera sekadar bertumpu pada prasangka belaka. Tabayyun sesuai ajaran Jesus Kristus untuk jangan menghakimi perihal apapun sebelum memahami yang akan dihakimi. Jika para pemimpin dunia berkenan bersikap tabayyun dalam menghadapi semua hal terkait sikap dan perilaku sesama manusia maka dapat diyakini bahwa miskonimunikasi dapat dihindari demi kebersamaan menghadirkan suasana perdamaian dunia yang lebih baik.

Tak sedikit yang menganggap Goethe memang memeluk Islam. Selain dipandang sebagai salah satu perintis utama dialog Islam dan Barat. Tentu bukan oleh satu puisinya Sabda Sang Nabi tadi, melainkan oleh banyak sekali karya, seperti puisi Kitab Kedai Minuman atau Das Schenkenbuch:

Ist der Koran ewig?

Das stelle ich nicht in Frage!

Ist der Koran eine Schöpfung?

Das wusste ich nicht!

Dass es das Buch aller Bücher ist, das muss ich als Muslim glauben.

Aber dieser Wein ist wirklich ewig,

Ich habe keine Zweifel; Dass er vor den Engeln erschaffen wurde,

Vielleicht ist es auch nicht nur Poesie.

Der Trinker jedoch

Sein Gesicht zu sehen wirkt frischer und jünger.

…………………….

(Apakah Al Quran abadi?

Itu tak kupertanyakan!

Apakah Al Quran ciptaan?

Itu tak kutahu!.

Bahwa ia kitab segala kitab, sebagai muslim wajib kupercaya.

Tapi, bahwa anggur sungguh abadi,

Tiada lah ku sangsi; Bahwa ia dicipta sebelum malaikat,

mungkin juga bukan cuma puisi.

Sang peminum, bagaimanapun juga,

Memandang wajahNya lebih segar belia.)

……………………

Dalam  puisi tersebut kita menyimak ungkapan penyerahan diri kepada Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam, sekaligus juga pemujaannya terhadap anggur. Bahkan menyiratkan bahwa penikmatan sejati terhadap anggur, justru mampu membawa pada religiusitas sejati pula. Suatu sikap yang banyak ditemukan dalam tradisi sufisme Islam.

Baca juga:  Gerakan Masyarakat Sipil: Asa di Tengah Pandemi Covid-19

Islam yang dikenal, didalami dan dikagumi Goethe memang Islam yang damai, sejuk, jernih, terbuka. Bukan jenis yang diperlihatkan oleh kaum yang kaku, radikal, penuh penghakiman dan pemarah sebagaimana banyak bermunculan beberapa belas tahun belakangan ini. Islam yang indah, sikap keagamaan yang indah pula. Itulah yang tampak pada Islam dalam puisi-puisi Goethe. Misalnya lagi, pada puisi Wasiat:

Kein Lebewesen zerfällt ins Nichts!

Der Ewige hört nie auf, in allem zu wirken, in dem Einen, der existiert, halte dich glücklich!

Er ist unsterblich: aufgrund der heiligen Gesetze.

Biologische Schätze schützen, während sich das Universum selbst schmückt.

Die Wahrheit wurde vor langer Zeit entdeckt. Sie hat auch edle Geister zusammengebracht. Halten Sie diese ewige Wahrheit in Ihren Händen!

Du, Sohn der Erde, danke den Weisen. Der der Erde den Weg weist, uns die Sonne zu schenken.

…………………

(Tiada makhluk runtuh jadi tiada!

Sang abadi tak henti berkarya dalam segala, pada sang Ada lestarikan diri tetap bahagia!

Abadilah ia: karena hukum-hukum suci.

Melindungi khasanah-khasanah hayati, dengan semesta menghias diri.

Kebenaran sejak lama silam ditemukan, Telah pula mempertemukan ruh-ruh mulia. Kebenaran azali itu, peganglah dalam genggaman!

Kau, putra bumi, bersyukurlah pada sang Bijaksana. Yang tunjukkan jalan bagi bumi tuk kita mentari.)

……………………….

Wasiat merupakan salah satu puisi yang cukup sulit dipahami, namun dianggap penting dan mewakili kecerdasan Goethe. Ditulis ketika di Eropa lahir pemikiran skeptis. Puisi yang mengajak pembaca memasuki segi-segi keimanan dalam diri personalnya.

Tetapi bisa jadi sebagian besar karya Goethe memang tergolong sulit, jika bicara tentang upaya alih bahasanya. Terlebih penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia, yang berbeda sama sekali akarnya dengan Bahasa Jerman.

“Karya-karya Goethe cukup sulit karena puisinya punya ciri khas metrum jadi irama tertentu dan rima akhir agak sulit. Dan kadang-kadang tidak berhasil untuk mentransfer rima khas itu dengan rima akhir yang sama ke dalam Bahasa Indonesia. Itu pekerjaan yang rumit. Proses yang cukup pelik, panjang dan perlu perjuangan untuk mengalihbahasakan karya-karya Goethe ini.”

Goethe dilahirkan di Frankfurt pada 28 Agustus 1749, meninggal dunia pada 22 Maret 1832. Anak sulung dari delapan bersaudara itu telah menulis puisi yang terkenal di usia delapan tahun. Buku puisinya yang pertama terbit pada 1767 dengan judul Anette, dia ambil dari nama seorang gadis yang jadi kekasihnya di Leipzig.

Pada kenyataannya Goethe adalah putra dari keluarga kaya, terpandang dan intelektual, dia memiliki latar belakang pendidikan yang kuat. Dia menerima pelajaran privat dalam bahasa Yunani kuno, Latin, Ibrani, Perancis, Inggris, Italia, serta dalam teologi, ilmu alam, sejarah, geografi, matematika, lukisan, dan musik. Sebagai seorang anak, dia diperkenalkan dengan dongeng Alfu Laila wa Laila atau yang lebih dikenal dengan Seribu Satu Malam oleh ibu dan neneknya.

Meskipun tidak ahli, Goethe pernah belajar hukum di universitas atas desakan ayahnya. Walau dia tidak menikmatinya tetapi lulus dari sekolah hukum dan berhak menjadi advokat. Hingga perkenalannya dengan penulis humanis terkenal, teolog dan filsuf Johann Gottfried Herder (1744-1803) selama bersekolah di Strasbourg itu justru menjadi salah satu titik balik dalam hidupnya. Herder adalah seorang peneliti yang memiliki pandangan positif tentang Islam. Dia juga menyarankan Goethe untuk membaca Alquran.

Johann Wolfgang von Goethe, adalah sosok sastrawan Jerman yang terinspirasi Timur dan memuji Islam. Goethe memang bertentangan dengan banyak penulis lainnya yang meremehkan Islam dan Nabi Muhammad dalam karya sastra mereka, sebagaimana dilansir dari Daily Sabah.

Goethe diundang ke Weimar oleh Duke Karl pada Agustus 1775. Ini merupakan tonggak kedua dalam hidupnya. Selama 57 tahun tinggal di sana, dia terlibat dalam banyak karya lain selain karya ilmiah dan sastra. Mulai dari memeriksa tambang dan saluran irigasi, hingga memilih seragam Tentara Weimar kecil sebagai penasihat khusus kedutaan.

Kemudian perjalanan Goethe melintasi tanah Arab dan Persia membuatnya terpukau pada kebudayaan Timur, dan membawa Goethe pada ketertarikan kuat untuk mempelajari Islam. Hingga di tahun 1815 tercipta kumpulan puisi Diwan Barat – Timur. Salah satu karya penting dari sastrawan hebat dunia yang mempertemukan Timur dan Barat dalam suatu dialog. Sebagaimana muncul dalam puisi Mukadimah Diwan.

“Wer sich selbst kennt, ist auch ein anderer. Auch hier wird er erkennen: Ost und West drehen sich in einer Spirale. Sie sind nicht mehr zu trennen. Weisheit schwankt mit Nutzen. Zwischen zwei Welten; Ost und West reisen. Edle Weisheit erlangen.”

“Wenn das Auge nicht die Natur der Sonne hat, kann die Sonne nicht von ihm gesehen werden; wenn es keine göttliche Kraft in uns gibt, wie kann die Göttlichkeit uns dann Lust verleihen?”

……………………..

“Yang kenal diri juga sang lain. Di sini pun kan menyadari: Timur dan Barat berpilin. Tak terceraikan lagi. Arif berayun penuh manfaat. Di antara dua dunia; Melanglang timur dan barat. Mencapai hikmah mulia.”

“Andai sang mata tiada bersifat mentari, mentari tak sanggup dilihat olehnya; Andai dalam diri tiada daya Ilahi, Bagaimana keilahian sanggup birahikan kita?”

…………………….

Ketika Zaman Pencerahan (Aufklarung), yang memunculkan Revolusi Perancis, telah merusak otoritas gereja di Eropa. Sementara gereja yang sebelumnya mengontrol semua informasi tentang Islam dan Nabi Muhammad, mulai dipertanyakan di zaman itu. Rincian tentang Nabi Muhammad di bidang budaya, seni, dan sastra, diteliti sekali lagi.

Baca juga:  "Mudhammataan" dan Suspensi Kenikmatan

Anti-Islamisme di bawah kendali gereja kehilangan pengaruhnya. Namun, kebencian mengambil bentuk yang berbeda kali ini. Misalnya, Voltaire, seorang penulis era pencerahan Perancis terkemuka, mendorong semua ide humanisnya ke dalam latar belakang dan menargetkan Nabi Muhammad. Dia menyiapkan drama panggung yang meremehkan yang menampilkan imputasi yang menjadi dasar bagi banyak drama sekuler radikal.

Terlepas dari semua publikasi yang memicu kebencian di Eropa, ada juga yang memuji dan membela Nabi Muhammad. Ya, inilah yang dilakukan Johann Wolfgang von Goethe, salah satu penulis sastra dunia yang paling terkemuka dari Jerman.

Dia menunjukkan bagaimana orang-orang Arab melindungi iman dan budaya mereka melalui bahasa ajaib Alquran dan maknanya terdalam yang dikandungnya sebagai contoh baginya. Dia juga menyarankan, agar Jerman yang mendominasi Eropa, memiliki buku klasik dalam bahasa mereka sendiri, karena bahasa Latin tidak akan mendominasi bahasa Jerman.

Untuk itu, Goethe selalu cermat mempersiapkan karyanya untuk berkontribusi pada bahasa Jerman. Memang, pada tahun 1774, novel pertamanya, “Die Leiden des jungen Werthers” (“Kesedihan Werther Muda”), memiliki dampak yang luas. Mencerminkan perasaan, pikiran, dan psikologi masa muda. Buku ini memperoleh reputasi besar di seluruh dunia dan sejauh ini telah diterjemahkan ke dalam 64 bahasa.

Selain itu Goethe juga membutuhkan waktu 60 tahun untuk menulis karya monumental dan fenomenalnya, “Faust,” sebuah buku klasik dunia yang dia sebut “karya hidup saya.” Bagian kedua dari buku itu diterbitkan secara anumerta.

Tidak diragukan lagi, seseorang akan menulis halaman tentang kehidupan Goethe dan setiap karyanya. Salah satu karya besar terpenting yang membedakannya dari orang-orang sezamannya adalah buku puisi berjudul “West–Ostlicher Divan” (“Diwan Barat dan Timur”).

Dalam tradisi sastra timur, “diwan” adalah kumpulan puisi karya seorang pengarang yang menyusun puisi menurut jenisnya dan huruf terakhir dari pantunnya. Goethe menulis buku puisi ini sebagai nazire, yakni puisi paralel dalam meteran yang sama dan berima dengan puisi penyair lain, kepada penyair Persia Hafiz.

Goethe mengenal “Divan of Hafiz” melalui sejarawan Joseph von Hammer-Purgstall (1774-1856), yang tentangnya dia berkata: “Saya menemukan puisi Hafiz, dengan terjemahan Hammer, tahun terakhir 1814. … Kumpulan puisinya dibuat Kesan yang luar biasa pada diri saya, agar saya menyadari bahwa saya juga harus produktif dalam menghadapi dia. Kalau tidak, saya tidak akan bisa berdiri di depan kepribadian yang kuat ini.”

Perkenalannya dengan karya-karya Islam, terutama Alquran, meningkatkan minatnya pada Nabi Muhammad. Dia membaca Alquran beberapa kali dan bahkan menulis beberapa surat dalam bahasa Arab.

Dia mengumpulkan esai ulasan ini dengan nama “Koran-Auszüge” (“Ringkasan Alquran”). Teks ini, yang tampaknya mempelajari setidaknya dua pertiga dari Alquran, yang saat ini ada di Museum Goethe di Düsseldorf.

Pada tahun 1799, sesuatu yang sangat tidak diinginkan oleh Goethe terjadi. Sang Duke memintanya untuk menterjemahkan permainan Voltaire. Ketika akhirnya dia menterjemahkannya pada tahun 1800, dia menyampaikan ketidaknyamanannya dalam suratnya kepada sang Duke yang isinya: “Keinginan pangeran memaksa saya untuk menterjemahkan drama Voltaire ‘Mahomet,’ yang akan sangat aneh bagi beberapa orang. Aku sangat berhutang padanya.”

Itu aneh baginya untuk menterjemahkan permainan Voltaire, dan dia tidak mau karena rasa hormat dan kekagumannya pada Nabi Muhammad SAW. Apalagi dia telah menulis puisi terpuji yang disebut “Mahomets Gesang” (“Lagu Muhammad”) ketika dia baru berusia 23 tahun.

Puisinya dimulai dengan; “Melihat mata air berbatu – Jelas sebagai kegembiraan” mengacu pada Nabi Muhammad. Dia melambangkan Nabi Muhammad sebagai sungai kegembiraan yang mengambil sumbernya dari keabadian dan dia mengatakan dalam puisi itu bahwa rintangan apa pun bisa menghalangi dia di kemudian hari.

Dia menulis “Gesang Mahomets” sebagai persiapan untuk sebuah drama berjudul “Mahomet,” yang memuji Nabi Muhammad tetapi ini bertentangan dengan Voltaire. Namun, drama “Gesang Mahomets” ini tidak pernah diterbitkan dan tetap hanya menjadi draf. Kemungkinan besar dia mengetahui bahwa tidak pantas untuk menggambarkan Nabi Muhammad Saw seperti kemauan Voltaire, lalu menghentikannya sebagai rasa hormat.

“Gesang Mahomet” pertama kali diterbitkan tanpa nama pada tahun 1774 di surat kabar sastra Göttinger Musenalmanach, dengan judul yang berbeda. Guru Goethe, Herder, dalam sebuah surat kepada seorang temannya, memuji puisi ini dengan mengatakan: “Dalam “Göttinger Musenalmanach”, ada dua puisi karya Goethe yang harus anda baca. Itu sangat berharga untuk seluruh jurnal ini.”

Salah satu ulasan puisi yang paling rinci adalah oleh filsuf Jerman Georg Wilhelm Friedrich Hegel. Dalam analisisnya di mata kuliah estetika, dia memaparkan puisi tersebut, dengan menyebut, “Jadi, kebangkitan Muhammad yang gagah berani, penyebaran agamanya yang cepat dan berkumpulnya semua orang di bawah satu agama telah berhasil digambarkan melalui simbol sungai yang kuat.”

Setelah membaca puisi itu, penyair Jerman Karl Wilhelm Friedrich Schlegel, salah satu dalang aliran Romantisisme, menyampaikan, “Puisi Goethe adalah fajar keindahan murni dan seni sejati.”

Goethe telah menuliskan ribuan puisi. Sejak masa remaja, produktifitasnya sebagai seorang penyair tak pernah berhenti. “Pada karya Goethe kita hanya menemukan puisi bermetrum dan berirama teratur, namun juga puisi-puisi bermetrum bebas. Nyatalah, bahwa Goethe adalah alam atau ilmu alam, filsafat serta manusia yang tak terpisahkan dari puisi.

Kemusliman Goethe terungkap melalui penelitian mendalam dari ulama Eropa masa kini, Sheikh Abdul Qadir as Sufi (lahir dengan nama Ian Dallas asal Skotlandia), bersama salah satu muridnya asal Jerman, Abu Bakr Rieger, kini Presiden Uni Muslim Eropa dan Sekjen Asosiasi Pengacara Muslim Eropa. Mereka berdua, pada 1995, menerbitkan sebuah dokumen  “Fatwa on The Acceptance of Goethe as Being Muslim” (Fatwa über die Anerkennung Goethes als Muslim), yang dicetak dan disebarluaskan oleh Weimar Institute, Jerman (19 Desember 1995).  Kemusliman seorang Goethe, khususnya dalam konteks Eropa, memiliki implikasi yang sangat penting, terutama  saat gejala islamophobia di dunia Barat terus  dibesar-besarkan, seperti yang terjadi akhir-akhir ini.

Baca juga:  Ketika Sejarah tak Diindahkan Penguasa dan Politisi

Dengan  kemahiran menulis dan membaca bahasa Arab Goethe mulai mengkopi doa-doa pendek berbahasa Arab, dan mengatakan, ”Tidak ada dalam spirit bahasa lain, kata dan huruf mampu ditampung sedemikian orisinalnya.” Keyakinan Goethe terhadap kebenaran Islam, dia tuangkan dalam buku  syairnya West-östliche Divan, yang juga dia beri judul dalam bahasa  Arab; Al-Diwan Al-Syarqiyyu li Al-Muallifi Al-Gharbiyyi.  Sedangkan tentang Al-Qur’an, Goethe  menulis: ”Tak bakal seorang pun ragu tentang kebesaran efisiensi Kitab ini. Itu sebabnya Al-Quran dinyatakan sebagai bukan sebuah ciptaan oleh para pendukungnya…Kitab ini akan abadi dan ampuh selamanya.” Pada usia 70  tahun dia menulis tentang lailatul qadar secara afektif, dia “ingin memperingati dengan takzim malam ketika Rasul dianugerahi Al-Qur’an secara lengkap dari atas langit.”

Suatu ketika Goethe membacakan dengan keras terjemahan sejumlah ayat Al-Qur’an dalam bahasa Jerman di hadapan keluarga dan para tamu bangsawan (Duke) di Weimar. Tetapi dia merasa tak pernah puas dengan segala bentuk terjemahan (dia memahami bahasa Latin, Inggris, Jerman dan Perancis), dan selalu mencari terjemahan baru. Dalam suatu surat dia berkata tentang Al-Qur’an:

“Ist der Koran ewig? Ich zweifle nicht daran!… Er ist das Buch aller Bücher. Ich glaube, dass es die Pflicht eines Muslims ist.”

(“Apakah Al-Quran abadi? Saya tidak meragukannya!… Ini adalah kitab dari segala kitab. Saya percaya ini adalah kewajiban seorang Muslim.”)

Sebuah tulisan dalam surat yang dikirim kepada anak tunggalnya August, 17 Januari 1814, Goethe mengatakan; “Einige Religionen haben uns getäuscht, bis der Koran in unsere Bibliothek kam.” (”Beberapa agama telah mengecoh kita sampai kemudian datang Al-Quran ke perpustakaan kita.”)

Satu kalimat yang juga ditunjukkan oleh Sheikh Abdul Qadir as Sufi dalam keputusannya mengatakan,  indikasi dari Goethe sendiri bahwa dia adalah seorang muslim.  Pada 24 Februari 1816 dia mempublikasikan sebuah pernyataan: “Sang Penyair [Goethe]… tidak menolak kecurigaan bahwa dia sendiri adalah seorang Muslim.”  Dan dalam salah satu syairnya yang lain, dalam Divan, Goethe berkata: “Sungguh bodoh setiap orang, dalam setiap urusan. Memuja-muji pendapatnya sendiri! Bila Islam bermakna kepatuhan kepada Tuhan. Kita semua hidup dan mati dalam Islam.”

Putusan penerimaan Goethe sebagai Muslim diawali dengan kutipan pernyataan Goethe dalam percakapannya dengan  sahabat, penyairnya J.P Eckermann,  11 Maret 1832, bahwa  “banyak omong kosong dalam doktrin gereja [Kristen].”  Dalam Divan,  Goethe menolak pandangan Kristen tentang Jesus di satu sisi dan mengkonfirmasi keesaan Allah SWT di sisi lain: “Jesus merasa murni dan dengan lembut berpikir. Hanya Satu Tuhan. Siapa yang menjadikannya sebagai Tuhan. Menghina kehendak sucinya. Dan karenanya kebenaran harus  memancar. Apa yang juga telah dicapai oleh Muhammad; Hanya dengan kata ”Yang Satu.” Dia menguasai seluruh dunia. Di bagian lain Goethe menyatakan bahwa Jesus, Isa Alaihisalam, hanyalah seorang Rasul, seperti halnya Nabi Ibrahim, Musa, dan Daud, sebagai ”perwakilan dari Keesaan Tuhan.”

Selain pernyataan  Goethe yang  menunjukkan pengakuannya tentang Allah SWT ini, sebagai syahadat pertama,  Sheikh Abdul Qadir mengemukakan sejumlah bukti lain. Goethe juga berkata:

“Keimanan tentang satu Tuhan selalu membawa dampak memperbaiki ruhani sebab ini mengindikasikan pada seseorang ketauhidan dalam dirinya sendiri.” goethe juga dikenal menolak konsep kebetulan, dengan kata lain dia meyakini adanya qadha dan takdir. Pada 12 agustus 1827, dia menulis, : ”kalau Allah menghendaki aku menjadi seekor cacing; maka Allah akan menciptakan aku sebagai seekor cacing.”

Bagaimana dengan pengakuannya akan Kerasulan Muhammad SAW, sebagai pernyataan syahadat kedua?

Goethe banyak menulis tentang Nabi Muhammad SAW dalam syair-syairnya, salah satunya “Mohamets Gesang.” Tentang kerasulannya  dia berkata: “Dia adalah seorang rasul dan bukan  penyair dan karenanya Al-Qur’an yang dibawanya adalah hukum ilahi dan bukan buku karya manusia, yang dibuat untuk mendidik atau menghibur.”  Salah satu bait Gesang berbunyi: ”Juga kalian, mari. Dan kini lebih ajaib dia membesar-meluas. Seluruh ras menyanjung pangeran ini.” Dalam manuskrip tulisan tangannya, dalam naskah  Paralipomena III, 31 dalam Divan,  Goethe menulis,  27 Januari 1816: “Imam segala makhluk ciptaan (Muhammad)”. Goethe juga mengkonfirmasi penolakan Rasulullah SAW atas tantangan kaum kafirin untuk mempertontonkan mukjizat, dengan mengatakan: “Keajaiban tak dapat kuperbuat kata sang Rasul, Mukjizat terbesar inilah aku.”

Dengan berbagai bukti yang ada, dari sebagian telah dikutip dalam tulisan ini, Sheikh Abdul Qadir dan Abu Bakr Rieger, menyatakan, sehingga dapat disimpulkan dengan meyakinkan dan tanpa keraguan, bahwa Johann Wolfgang von Goethe adalah seorang muslim. Meski dia hidup di tengah negeri non-Muslim, Goethe dengan sepenuh hati menyatakan dan memegang teguh dua kalimah syahadat, dan mengkonfirmasi Tiada Tuhan  Selain Allah, yang Tunggal, dan bahwa Rasul terakhir adalah  Muhammad, Salallahualaihi Wassalam.

Dan meski tidak  pernah mendapatkan pengajaran sholat, zakat, puasa, dan haji, dia bangga dan dengan penuh emosi menghadiri sholat jum’at. ini menunjukkan sikap Goethe memperlihatkan bahwa Islam adalah dien yang dianutnya. Karena itu, Sheikh Abdul Qadir as Sufi menegaskan bahwa pujangga kebesaran eropa ini dapat diterima sebagai  muslim pertama eropa modern, yang menghidupkan hati masyarakat eropa untuk mempelajari tauhid dan Muhammad saw, sebagai utusan-nya.

Sheikh Abdul Qadir menutup putusannya dengan pernyataan: ”Dengan pengakuannya yang menakjubkan atas kerasulan, Salallahualaihi Wassalam,  dia selayaknya kita kenal di kalangan Muslim  sebagai  Muhammad Johann Wolfgang Goethe”.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top