Sedang Membaca
Sejarah Penting Paus Fransiskus Setelah Delapan Ratus Tahun
Yul Amrozi
Penulis Kolom

Pernah jadi periset di PIB Sjahrir, lalu membuat kantor investigasi swasta Aviyasa. Pernah juga menjadi peneliti media untuk badan rumah tangga DPR dan riset SDM di perusahaan konstruksi metal. Pernah menjadi peneliti lepas di beberapa LSM dari Pirac hingga Infid. Sekarang, analis media di Kementerian Kominfo

Sejarah Penting Paus Fransiskus Setelah Delapan Ratus Tahun

Jorge Mario Bergoglio sengaja mengambil nama Fransiskus. Nama itu ia pilih untuk menghormati seorang teladan dari Asisi (Italia) yang dikenal sebagai Santo Fransiskus.

Jorge, kelahiran Argentina, tepatnya di Flores, Buenos Aires 17 Desember 1936, yang terpilih sebagai Paus, pemimpin tertinggi umat Katolik sedunia pada tahun 2013, tentu tidak sembarang memilih nama.

Santo Fransiskus dicatat dalam sejarah sebagai pemimpin agama Katolik yang berhasil menjalin dialog dengan pemimpin agama Islam pada masa Perang Salib yang kelima.  Pada tahun 1219, Santo Fransiskus dari Asisi pergi ke kota pelabuhan Tamiat atau Dumyat yang merupakan muara Sungai Nil menuju laut Mediterania.

Saat itu adalah masa gencatan senjata. Santo Fransiskus melewati garis batas peperangan dan bertemu dengan Sultan Malik Al Kamil, yang merupakan kemenakan Salahuddin Al Ayyubi.

Sultan Al Kamil menyambut kedatangan Santo Fransiskus dengan sangat baik, hingga terjadi dialog yang saling menghargai. Santo Fransiskus beserta rombongannya bahkan tercatat menginap beberapa hari di markas Sultan Al Kamil.

Paus Fransiskus, pemimpin 1,3 miliar umat Katolik, delapan abad setelah peristiwa bersejarah itu, pada hari Minggu 3 Februari 2019, tiba di Abu Dhabi, ibukota negara Uni Emirat Arab. Peristiwa ini tentu saja bukan kebetulan. Pilihan hari, pilihan tahun, dan pilihan tempat tentu telah dipikirkan matang-matang oleh semua pihak yang terlibat. Tiga hari kunjungan di semenanjung Arabia benar-benar seperti pengulangan sejarah.

Keesokan harinya, Senin 4 Februari 2019, Paus Fransiskus bertemu Pangeran Mohammad Bin Zayed An Nahyan, putra mahkota Kerajaan Uni Emirat Arab yang mengundangnya. Bersama dengan perdana menteri Uni Emirat Arab, Syekh Mohammad bin Rasyid Al Maktum, mereka bertiga mendiskusikan hubungan baik yang telah terjalin dengan Vatikan dan berbagai persoalan penting lainnya.

Baca juga:  Ian Dallas, Seniman-Sufi yang Membangun Komunitas

Pada prinsipnya pertemuan itu melanjutkan kerjasama yang telah terjalin untuk mempromosikan toleransi, dialog, dan koeksistensi di antara umat beragama di seluruh dunia. Paus Fransiscus tak lupa pula memberikan penghargaan terhadap peran mendiang Syeh Zaid bin Sultan Al Nahyan yang telah membuat Uni Emirat Arab menjadi negara yang menghargai berbagai perbedaan kebudayaan, agama, dan peradaban.

Pertemuan yang berlangsung di istana kepresidenan berakhir dengan pemberian cendera mata yang cukup istimewa. Paus menerima sebuah kotak terbuat dari kulit yang berisi salinan dokumen sejarah yang bertanggal 22 Juni 1963 yang ditandatangani ikeh Syeh Syahbut bin Sultan Al Nahyan, yang saat itu adalah penguasa Abu Dhabi, yang memberikan kuasa atas tanah di bagian Barat Abu Dhabi untuk pembangunan gereja Katolik. Di dalamnya terdapat pula foto bersejarah Syeh Syahbut dengan Uskup Luigi Magliacani da Castel del Piano yang merupakan uskup katolik wilayah Arabia saat itu.

Sore harinya, Paus Fransiskus bertemu dengan Dr. Ahmad Al Thayib, mufti besar Al Azhar yang menjadi Ketua Dewan Tetua Muslim (Muslim Council of Elders) yang pada hari itu bersamaan melangsungkan konferensi antar umat beragama. Pertemuan itu berlangsung di Masjid Jami Syeh Zaid bin Sultan Al Nahyan, mesjid besar sekaligus makam pemimpin besar Uni Emirat Arab.

Sumber mengatakan, Paus Fransiskus datang setelah pukul 5 sore dengan pengawalan ketat belasan mobil polisi dan tentara di area sekitar masjid lengkap dengan tiga helikopter yang berpatroli. Paus Fransiskus yang datang dengan mobil Kia Soul kesayangannya segera bertemu dengan para wakil tetua muslim yang telah menunggu di ruang pertemuan tertutup.

Baca juga:  Nasib Buku Berjilid-jilid, dari Ensiklopedia hingga Tafsir Al-Misbah

Dr. Quraish Shihab, cendekiawan dan ulama Indonesia adalah seorang yang ikut menyambut Paus Fransiskus dalam pertemuan itu.

Setelah Magrib, Paus Fransiskus melanjutkan kunjungannya ke acara konferensi antar umat beragama yang berlangsung di Founder’s Memorial. Konferensi dua hari yang diperkirakan dihadiri oleh 700 peserta dari seluruh dunia telah berlangsung sejak hari minggu. Belasan pemimpin agama wakil dari Muslim, Kristen, Yahudi, Hindu, Sikh, Buddha, Jain dan lainnya berbicara di dalam forum yang sebelumnya dibuka oleh Menteri Toleransi Uni Emirat Arab, Syeh Nahyan bin Mubarak.

Salah seorang peserta konferensi dari Arab American Insitute, James J Zogby menulis kesan mendalamnya tentang konferensi dan kunjungan Paus saat itu. Tulisan yang dimuat di situs Jordantime ini  http://www.jordantimes.com/opinion/james-j-zogby/why-events-surrounding-pope-francis-uae-visit-were-so-important  menjelaskan makna penting peristiwa yang sangat bersejarah.

Pertama, kunjungan Paus ke semenanjung Arabia, ke negara muslim yang berpaham Wahabi, kemudian menyelenggarakan acara misa bersama 35 ribu pengunjung di dalam stadion dan lebih dari 100 ribu orang di luar stadion, adalah peristiwa yang terlalu besar dan terlalu bersejarah untuk dilewatkan. Peristiwa ini sangat besar karena bagi umat katolik di Uni Emirat Arab yang berjumlah kurang lebih satu juta orang,  peristiwa ini mengesahkan keberadaan dan keberagamaan mereka.

Peristiwa ini adalah bentuk penghormatan dari penguasa Uni Emirat Arab yang dalam sejarah juga telah ditunjukkan oleh pendirinya Syeh Zaid pada tahun 60-an. Saat ini tercatat terdapat 40 gereja di UEA termasuk di dalamnya bagi protestan, kristen ortodoks, dan evangelis.

Baca juga:  Habib Salim Putra Habib Umar bin Hafiz: Saya Bukan Habib!

Kedua, penandatanganan Deklarasi Abu Dhabi yang berjudul Document on Human Fraternity adalah peristiwa resmi yang menyatakan pendapat para pemimpin agama di dunia untuk menghentikan penggunaan agama bagi ujaran kebencian, kekerasan, fanatisme, dan ekstrimisme. Suatu kaum seringkali menggunakan dalih atas nama tuhan untuk membenarkan aksi pembunuhan, penindasan, pengusiran, dan terorisme.

Salah satu statemen penting dari mufti Al Azhar adalah anjuran untuk memperlakukan umat kristiani di seluruh dunia sebagai saudara sepersekutuan. Umat kristiani tidak boleh dilihat sebagai minoritas tetapi harus dilihat sebagai warga negara yang setara. Hal ini juga dikuatkan oleh pernyataan Paus Fransiskus tentang masyarakat yang menempatkan berbagai agama dan kepercayaan untuk mendapatkan hak yang sama sebagai warga negara.

Deklarasi Abu Dhabi lebih jauh mengafirmasi tentang konsep kewarganegaraan yang berbasis pada persemaan hak dan kewajiban yang didalamnya terkandung keadilan. Sangat penting untuk menciptakan konsep kewarganegaraan sepenuhnya yang menolak penggunaan istilah minoritas yang diskriminatif yang memunculkan perasaan isolasi dan inferioritas.

Sebagai penutup, Dr. Quraish Shihab di akhir pidatonya menegaskan berbagai perkembangan positif dari pengakuan Gereja tentang ajaran Islam yang sejalan dengan ajaran Kristen. Sikap ini jauh berbeda dengan sikap-sikap sebelumnya yang pernah menjadi ajang mengail ikan di air keruh.

Selain hal-hal positif itu, lebih jauh ditekankan oleh Dr. Quraish Shihab, bahwa kita juga menemukan pengasan-penegasan dari sejumlah negara dan pemerintahan, terutama negara Emirat Arab, tentang perlunya berusaha tiada henti untuk mengukuhkan toleransi, kerjasama, dan karya membangun. Semua itu demi terwujudnya persaudaraan kemanusaian yang dapat dinikmati oleh semua manusia.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top