Dalam percakapan saya dengan Rendra di padepokan Bengkel Teater Rendra di Cipayung Jaya, Depok pada belasan tahun silam, Rendra memuji pesantren sebagai lembaga pendidikan di negeri ini.
Ini bukan obrolan basa-basi di luang waktu. Rendra tak hanya melihat visi pesantren dalam pendidikan. Penyair kritik sosial ini pun menyaksikan produk-produk pesantren yang menggerakkan negeri ini melalui cara-caranya sendiri.
Ihwal pesantren, Rendra tak hanya mempercakapkannya dengan saya di senggang waktu. Di esainya yang terkenal, “Rakyat Belum Merdeka”, penyair kelahiran Solo 1935 itu menuliskan:
“Di kalangan pesantren banyak kepeloporan… Ulama-ulama seperti mereka, dengan “kentongan kebudayaan”-nya yang bernama pesantren bisa menjadi ujung tombak dari perjuangan memberdayakan warga negara.”
Pengalaman pendidikan dasar Rendra di sekolah bercorak Jawa dan Belanda di Solo, kemudian dia menempuh pendidikan tinggi di universitas di Yogyakarta dan Amerika Serikat. Rendra bukan orang pesantren dan dia mengamati pesantren dari dekat.
Rendra bergaul dengan banyak orang pesantren—Gus Dur dan Gus Mus adalah sahabat-sahabat Rendra. Kelompok teater yang dipimpinnya permah menggarap pementasan teater berjudul Kasidah Barzanji—bersumberkan teks kitab berbahasa Arab yang sangat akrab di lingkungan pesantren.
Rendra Katholik sejak lahir dan menganut Islam pada 1967. Rendra pernah singgah di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang untuk ceramah dan membaca puisi—saya menerima informasi ini dari salah seorang putra pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Gus Reza.
Dalam sebuah forum saya mendengar Emha Ainun Najib berkisah dia mengantarkan dan menemani Rendra menyaksikan kehidupan di pesantren yang lain di Jombang misalnya Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso. Kemudian mereka bergerak ke Surabaya dan menjalankan salat Jumat di sebuah masjid di kota pahlawan itu.
Dengan atau tanpa pujian Rendra, tak akan mengubah fakta bahwa pesantren merupakan jalan tradisi pendidikan yang dibangun dan digerakkan oleh warga. Sejak sebelum hadir sekolah dan madrasah, pesantren adalah obor penerang di pelosok-pelosok yang tak terjamah kebijakan pendidikan pemerintah Hindia Belanda maupun pemerintah Republik Indonesia.
Pada masa-masa perjuangan melawan penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang, banyak tokoh dari pesantren berjuang dan menggalang warga berperang untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan.
Sebelum era Soekarno yang membangun gedung-gedung sekolah pada 1950-an, yang disebut menuntut ilmu identik dengan belajar di pondok pesantren. Pesantren bertahan dan terus berkembang hingga masa sekarang. Pengelola pesantren pun telah mampu mendirikan madrasah dan sekolah. Daya adaptasi ini merupakan cerminan pesantren tak menampik kebutuhan dan perubahan zaman.
Pesantren tak hanya mengajarkan pengetahuan. Trasisi pesantren pada masa lalu, para santrinya bekerja di luar jam-jam mengaji. Mereka bergiat di kebun, ladang dan sawah milik warga di sekitar pesantren. Atau mereka berbakti membantu kegiatan kiai mereka tanpa berharap upah. Pengalaman kemandirian merupakan aspek yang terbentuk oleh tradisi pesantren, tak semata tempaan pengetahuan.
Di desa-desa, hingga 1980-an, langgar (surau) seperti “pesantren mini” dan merupakan pusat kegiatan anak-anak selepas kegiatan di sekolah atau madrasah. Di surau mereka belajar agama Islam, belajar membaca dan menulis aksara dan bahasa Arab kepada para ustaz. Belajar bahasa asing, bahasa Arab, merupakan wujud sikap kosmopolitan di desa.
Surau dibangun secara swadaya oleh warga dan operasional surau sehari-hari salah satunya dari iuran anak-anak yang rutin mengaji. Dalam sejarahnya, surau merupakan cikal-bakal banyak pesantren besar. Pesantren merupakan produk kemandirian warga, produk warga untuk memberdayakan sesama warga melalui pendidikan berbasiskan tradisi dan pembentukan karakter yang mandiri.
Pada 1967, Rendra dalam “Sajak Sebatang Lisong” membincang dunia pendidikan di tanah air yang secara substansial menurutnya macet. Kegelisahannya, tersirat dalam sebagian sajak itu: Diktat-diktat hanya boleh memberi metoda/tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaaan./Kita mesti keluar ke jalan raya, keluar ke desa-desa/mencatat sendiri semua gejala’/dan menghayati persoalan nyata”.