Imam as-Suyuti (911H) adalah salah satu tokoh Islam yang multidisiplin. Terlebih pengusaan terhadap hadisnya menjadikannya di barisan nomor satu di antara para punggawa hadis di masanya. Para pegiat dan pengkaji hadis pasti memiliki guru ratusan, terlebih dalam ilmu hadis jika daerah sendiri tidak cukup untuk diambil hadisnya dan ia tidak kelana maka hal tersebut adalah aib intelektual. Khazanah ini kerap menjadikan Imam Suyuti diasumsikan bahwa ia adalah ulama kelana lintas daerah (kalau sekarang lintas negara). Namun benarkah demikian?
Dalam beberapa cetakan kitab husnul muhadharah karya as-Suyuti, salah satunya Maktabah Taufiqiyah Kairo, disebutkan bahwa sang Imam melakukan kunjungan lintas kota (kalau sekarang lintas negara, sebab dulu apa yang sekarang menjadi negara adalah provinsi dalam wilayah kekhilafahan) seperti ke Syam (kemudian pecah menjadi beberapa negara; Syiria, Lebanon, Jordan dan Palestina.
Namun kalau sekarang jika disebut Syam maka maksudnya adalah Syiria saja), Maghrib (kemudian pecah menjadi banyak negara seperti Maroko, Tunisia dan al-Jazair, namun jika sekarang diucapkan Maghrib maka maksudnya hanya Maroko saja), Yaman, India dan negeri lainnya sebagaimana tradisi para ulama pada umumnya yang tidak mencukupkan pada daerah, negeri atau negaranya saja.
Dalam Husnul Muhadharah cetakan Taufiqiyah disebutkan sebagai berikut:
))وسافرت بحمد لله تعالى إلى بلاد الشام والحجاز واليمن والهند والمغرب والتكرور. ولما حججت شربت من ماء زمزم …….((
“Alhamdulillah, saya (atau kitab-kitab saya) sudah pergi( atau masuk) ke Syam, Hijaz, Yaman, India, Maghrib dan Takrur (Takrur adalah berbagai negara pojok selatan Maghrib). Saat saya haji saya minum air zam zam zam ……. ”
Meski di terbitan ini tidak berharakat, apakah huruf ta’ pada kalimat pertama, yaitu kalimat “saafar” berharakat dhamah (kalau dhamah berarti bermakna “saya” ) atau sukun (kalau sukun berarti ia menjadi ta’ ta’nits sakinah yang merujuk fail muannats dan itu berarti yang pergi di sini bukan Imam as-Suyuti, melainkan kutub bentuk prulal dari kitab)?
Jika kita perhatikan dari narasi sebelum dan sesudahnya menunjukkan bahwa ta’ disitu seolah berharakat dhamah yang berarti bahwa Imam Suyuti yang menunaikan kunjungan lintas daerah atau negara tersebut, bukan yang lain.
Akan tetapi jika kita kaji lebih lanjut, faktanya berkata lain. Berikut beberapa indakatornya:
Pertama, jika kita membaca dengan seksama kitab at-Tahadduts bi ni’matillah yang mana ia ditulis setelah Husnul Muhadharah maka kita tidak akan menemukan walau hanya isyarat bahwa Imam Suyutilah yang berkunjung lintas daerah tersebut sebagaimana petunjuk narasi Arab di atas. Padahal dalam buku autobiografinya tersebut beliau banyak menceriterakan lawatannya saat berangkat haji dan dan ke beberapa daerah dalam Mesir yang semuanya beliau abadikan dalam sebuah kitab khusus.
Kedua, buku-buku yang menulis biografi Imam as-Suyuti yang kredibel juga tidak menyebutkan kunjungan tersebut baik eksplisit maupun implisit, seperti Bada’iuz Zuhur karya Ibnu Iyas, Bahjatul Abidin karya as-Syadzili, Thabaqat Shughra karya Imam Sya’rani, ad-Dhaul Lami’ karya as-Syakhawi. Keempatnya semasa dengan Imam as-Suyuti, dan tiga nama pertama adalah murid Imam as-Suyuti yang lebih tahu gurunya.
Begitu juga para ulama yang menulis profil Imam as-Suyuti yang datang setelah beliau seperti an-Najm al-Ghaza dalam al-Kawakib as-Sairah, Ibnul ‘Imad dalam Syadzaratu-dz-dzahab, as-Syaukani dalam al-Badru at-Thali’, al-‘Idusi dalam an-Nuru-s-Safir, Shidiq Hasan Khan dalam at-Taj al-Mukallal, al-Katati dalam Fahrasul Faharis wal Atsbat, dan banyak lagi.
Indikator ketiga adalah Imam Suyuti tidak meninggalkan jejak rihlah sama sekali di kitab-kitabnya yang padahal ia tidak pernah melakukan lawatan ke sebuah daerah kecuali beliau tulis dalam satu risalah khusus atau minimal menceriterakan dalam kitab yang lain.
Misal saat perjalanan haji beliau menulis kitab “an-Nahlah az-Zakkiyah fir Rihlah al-Makkiyah”, “An-Nafhah al-Miskiyah wat Tuhfah al-Makkiyah”. Keduanya karya tersebut belum ringkasan beliau atas alfiyah versi nazam yang di akhir baitnya menjelaskan bahwa ia diselesaikan saat di atas laut Qulzum (atau dikenal dengan laut Merah) dalam perjalanan haji.
Sepulang haji beliau juga menjalankan rihlah ke luar daerah Dalam Mesir yaitu di Dimyath, Iskandariyah, Fayyum dan Mahallah selama tiga bulan sejak bulan Rajab hingga Syawal. Dalam perjalanan ini ia mengumpulkan banyak faedah dalam satu kitab yang berjudul “al-Ightibath fir Rihlah ilal Iskandariyah wa Dimyath”.
As-Suyuti tokoh yang dikenal luas sangat produktif dalam menulis, bukan hanya dalam lingkup akademik, dan khazanah keislaman saja, tapi juga terkait gejala sosial dan perjalanan dunia. Tidak mungkin jika beliau melakukan perjalanan ke Syam, Maghrib, Yaman dan India (sebagaimana tertulis dalam teks husnul muhadharah cetakan Taufiqiyah di atas) dan beliau tidak menuliskan perjalanannya seperti yang terjadi saat beliau ke Hijaz juga saat ke Dimyâth dan Iskandariyah. Atau minimal menyinggungnya sebagaimana kebiasaan beliau.
Keempat, pernyataan Orientalis Rusia Ignaty Krachkovsky dalam bukunya yang berjudul “Tarikhu-l-Adab al-Jughrafi”:
“Jika kita mengecualikan perjalanan haji, maka as-Suyuthi tidak pernah meninggalkan Mesir sama sekali. Hidupnya dihabiskan di Kairo.”
Keempat, Mohamed Yosef As-Surbaji menemukan manuskrip di Perpusatakaan Nasional di Tunisia dan Mesir, juga Perpustakaan Asadiyah Damaskus dan ketiganya dengan redaksi “dakhalat” bukan “safaarat”. Terlebih dalam Thabaqatul Mufassirin terbitan Leiden dengan jelas menyebut “dakhalat” dengan “lam” berharakat fathah dan “ta” berharakat sukun yang berarti ia menjadi ta’ ta’nits sakinah.
Kelima, boleh jadi ada tahrif atau tashhif yang asalnya “saara” menjadi “saafara” jika “saara” maka dengan pasti mengarah ke kutub. Atau katakanlah redaksinya benar menunggunakan “saafar” akan tetapi ta’ di akhirnya dibaca sukun dengan menjadi ta’ ta’nits sakinah.
Keenam, jika redaksi “saafar” sampai kata “wat takrur” dalam terbitan Tafuqiyah di atas tidak satu paragrap dengan “wa lamma hajajttu”, melainkan diikutkan dengan paragrap sebelumnya yang membahas soal penulisan kitab dan jumlah karya-karyanya yang saat itu berjumlah 300 judul maka akan jelas bahwa yang yang safar, tepatnya beredar, itu buku-bukunya bukan penulisnya.
Dari fakta ini barangkali kita boleh menyimpulkan jika Imam Suyuti memang tidak pernah ke luar Mesir kecuali saat menunaikan Haji, maka yang pergi dalam redaksi saafar di teks husnul muhadharah, lebih tepatnya menyebar, adalah karya-karyanya sebagaimana beliau jelaskan detail dalam autobiografinya yang berjudul at-tahadduts bi ni’matillah.
Tidak kelana jauh dalam menunaikan proses akademik tidak mengurangi level intelektual Imam Suyuti. Ulama kita juga banyak yang tidak mengenyam pendidikan di Timur Tengah kendatipun demikian penguasaan ilmunya level yang tidak bisa dipandang sepele. Sebut saja salah satunya Mbah Fadol Senori Tuban. Ulama ensiklopedik yang khumul dan karyanya kian tersebar setelah mangkat ke haribaan Allah. Demikian.