Sejak dahulu menyikapi perbedaan pendapat, para ulama sangat toleran. Bahkan toleransi para ulama diwujudkan dengan kode etik yang selalu diajarkan kepada murid-muridnya. Kode etik itu adalah kaedah
لا ينكر المختلف فيه وإنما ينكر المجمع عليه
“Tidak boleh mengingkari adanya perbedaan pendapat, tetapi harus mengingkari hal yang menyalahi hukum yang telah disepakati”.
Maksud dari kaidah ini adalah setiap permasalahan yang masuk dalam ranah ijtihad, maka tidak diperbolehkan untuk mengingkari adanya perbedaan pendapat di antara para ulama. Misal contoh, perbedaan hukum bacaan qunut antara Imam Syafi’I dan Imam Abu Hanifah yang berlandaskan perbedaan ijtihad keduanya. Tentu, kita harus menerima perbedaan pendapat tersebut sebagai bagian dari khazanah intelektual Islam.
Sebaliknya, setiap permasalahan yang telah disepakati para ulama lintas generasi maka kita harus mengingkari pendapat yang menyalahi hukum yang telah disepakati tersebut. Misal, wajibnya shalat lima waktu yang telah disepakati ulama akan kewajibannya. Tentu kita harus menolak pendapat yang mengingkari kewajiban shalat lima waktu.
Hukum mengucapkan salam kepada nonmuslim adalah ranah ijtihad. Tentu, kita harus menghargai adanya perbedaan pendapat di antara para ulama. Ulama yang tidak memperbolehkan memakai landasan hadis:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ لاَ تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلاَ النَّصَارَى بِالسَّلاَمِ فَإِذَا لَقِيتُمْ أَحَدَهُمْ فِى طَرِيقٍ فَاضْطَرُّوهُ إِلَى أَضْيَقِهِ.
Diceritakan dari Abu Hurairah bahwasannya Rasulullah saw bersabda “Jangan kalian memulai mengucapkan salam kepada orang Yahudi maupun orang Nashrani, apabila kalian menemui salah satu di antara mereka di jalan maka desaklah (pepetlah) mereka hingga ke pinggir jalan”. (HR. Bukhari)
Ulama yang mengharamkan menggunakan hadis ini sebagai dalil larangan memulai mengucapkan salam dan memberikan kelapangan ketika berada di jalan dengan tujuan memuliakan mereka. Meskipun begitu, tetap saja para ulama tersebut melarang kita menyakiti hati nonmuslim dalam bentuk apa pun tanpa sebab yang diperbolehkan syariat. Hal ini sebagaimana pendapat al-Qurthubi:
قال القرطبي في قوله (فَإِذَا لَقِيتُمْ أَحَدَهُمْ فِى طَرِيقٍ فَاضْطَرُّوهُ إِلَى أَضْيَقِهِ) معناه لا تتنحوا لهم عن الطريق الضيق إكراما لهم وليس المعنى إذا لقيتموهم في طريق واسع فألجئوهم إلى حرفه حتى يضيق عليهم لأن ذالك أذى لهم وقد نهينا عن أذاهم بغير سبب.
Al-Qurthubi mengatakan “Maksud dari hadis (apabila kalian menemui salah satu diantara mereka di jalan maka desaklah (pepetlah) mereka hingga ke pinggir jalan) adalah jangan kalian menyingkir dari jalan yang sempit dengan tujuan memuliakan mereka. Bukan berarti, ketika kalian bertemu dengan mereka di jalan yang lapang kemudian kalian memojokkan mereka hingga pinggir jalan. Yang tentunya hal tersebut membuat mereka merasakan diskriminasi. Hal tersebut terlarang karena termasuk menyakiti hati nonmuslim. Sedangkan, kita dilarang menyakiti nonmuslim tanpa sebab yang jelas”. (kitab Fath al-Bari syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Hajar al-Asqalani vol.11 hal.40 cetakan Dar al-Ma’rifah Beirut tahun 1955)
Sebagian ulama lainnya, menganggap larangan dalam hadis di atas terbatas ketika kita tidak memiliki kepentingan ataupun sebab apapun. Sedangkan, seandainya kita memiliki kepentingan berupa hubungan persahabatan, bertetangga, berada dalam satu perjalanan dan sejenisnya tentu diperbolehkan untuk mengucapkan salam kepada nonmuslim.
وقال النخعي: إذا كانت لك حاجة عند يهودي أو نصراني فابدأه بالسلام فبان بهذا أن حديث أبى هريرة (لا تبدءوهم بالسلام) إذا كان لغير سبب يدعوكم إلى أن تبدءوهم بالسلام، من قضاء ذمام أو حاجة تعرض لكم قبلهم، أو حق صحبة أو جوار أو سفر. وفعله ابن مسعود بدهقان صحبه في طريقه، قال علقمة: فقلت له يا أبا عبد الرحمن أليس يكره أن يبدءوا بالسلام ؟ ! قال: نعم، ولكن حق الصحبة.
“An-Nakha’I berkata “Ketika kamu memiliki kepentingan dengan orang yahudi ataupun orang nashrani maka mulailah mengucapkan salam kepada mereka. Maka, jelas dari hadis riwayat Abu Hurairah (Jangan kalian memulai mengucapkan salam kepada orang Yahudi maupun orang Nashrani) ditunjukkan sebagai larangan bagi orang yang tidak memiliki kepentingan untuk memulai mengucapkan salam kepada mereka (nonmuslim). Kepentingan yang dimaksud di sini seperti melunasi tanggungan ataupun kebutuhan yang ditunjukkan kepada nonmuslim, hubungan persahabatan, bertetangga, ataupun seperjalanan. Hal inilah yang dilakukan Ibnu Mas’ud dengan seorang saudagar yang menjadi sahabatnya dalam suatu perjalanan. Alqamah berkomentar “Wahai Abu Abdurrahman (julukan Ibnu Mas’ud), bukankah dimakruhkan memulai mengucapan salam kepada mereka (nonmuslim). Ibnu Mas’ud menjawab ”Benar, akan tetapi aku memiliki tanggungan hak persahabatan dengan mereka (nonmuslim)” (kitab Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an karya Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi vol.17 hal.74 cetakan Dar al-Kitab al-Mishriyyah Kairo 1964)
Sedangkan ulama yang memperbolehkan secara mutlak menganggap hadis di atas hanya ditunjukkan untuk nonmuslim yang tidak mau berakad damai dengan umat Islam. Sebaliknya, diperbolehkan bagi kita untuk mengucapkan salam kepada nonmuslim yang bersedia berakad damai dengan dasar hadis
حدثنا أسامة بن زيد أن النبي صلى الله عليه وسلم مر على مجلس فيه أخلاط من المسلمين والمشركين عبدة الأوثان واليهود فسلم عليهم النبي صلى الله عليه وسلم.
Diceritakan dari shahabat Usamah bin Zaid bahwasannya Rasulullah saw melewati sebuah majlis dimana duduk didalamnya orang-orang muslim, orang-orang musyrik penyembah berhala, serta orang-orang Yahudi maka Rasulullah saw mengucapkan salam kepada mereka. (HR. Bukhari)
وَذَهَبَتْ طَائِفَة إِلَى جَوَاز اِبْتِدَائِنَا لَهُمْ بِالسَّلَامِ،رُوِيَ ذَلِكَ عَنْ اِبْن عَبَّاس وَأَبِي أُمَامَةَ وَابْن أَبِي مُحَيْرِيز،وَهُوَ وَجْه لِبَعْضِ أَصْحَابنَا حَكَاهُ الْمَاوَرْدِيّ،وَاحْتَجَّ هَؤُلَاءِ بِعُمُومِ الْأَحَادِيث،وَبِإِفْشَاءِ السَّلَام
“Dan segolongan ulama berpendapat diperbolehkan bagi kita memulai mengucapkan salam kepada nonmuslim. Pendapat ini diutarakan oleh Ibnu Abbas, Abu Umamah, Ibnu Abi Muhairizin dan ini juga pendapat sebagian Ashabuna (murid-murid imam Syafi’I) sebagaimana yang diceritakan oleh Al-Mawardi. Mereka berlandaskan keumuman makna beberapa hadis termasuk hadis tentang anjuran menyebarkan salam” (kitab Al-Minhaj syarh Shahih Muslim karya Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi vol.14 hal.145 cetakan Dar Ihya’ at-Turats Beirut 2010)
Walhasil, perbedaan para ulama dalam menyikapi ini harusnya menjadi benih toleransi bagi kita semua. Buan berarti, kita harus menyalahkan salah satu ulama yang berbeda pendapat.