Sedang Membaca
Kopi dan Lebaran
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Kopi dan Lebaran

Kopi Kapal Api, Tempo, 6 Mei 1989

Tengoklah dapur! Gula dan kopi masih ada? Berbahagialah menikmati Lebaran dengan minum kopi. Pesan itu disampaikan oleh Indocafe dan Kapal Api. Hari-hari menjelang Lebaran, usahakanlah memiliki persediaan kopi. Duit habis, tak mampu membeli, berdoalah ada teman atau tetangga mengirimi kopi. Pada masa lalu, kopi itu penting dalam Lebaran. Orang-orang mungkin mengingat Lebaran itu minum teh dan sirup. Kopi pernah diusulkan menjadi minuman Lebaran lho.

Di Tempo, 29 April 1989, foto tatanan makanan dan minuman di meja. Foto diambil dari atas. Tampaklah secangkir kopi panas ditemani kue dan telur. Piring dan cangkir tampak apik. Edisi perabot mahal! Iklan dari Indocafe itu mengesankan peminum kopi adalah orang-orang mapan, anggap saja kelas menengah. Perhatikan: “Indocafe 100% biji kopi murni pilihan dari daerah pegunungan yang diolah khusus. Disajikan dalam gaya internasional. Instant.” Oh, orang desa belum bertaraf internasional mungkin ragu-ragu meniru cara minum kopi oleh kelas menengah. Minum kopi saja sudah berimajinasi “internasional”. Pesan terpenting: “Lebaran ini, sajikan kenikmatan yang berbeda, khas Indocafe.” Minum kopi saat Lebaran itu mungkin membuat pikiran dan perasaan menjadi hangat. Janganlah minum kopi sambil memikirkan utang. Kopi bakal semakin pahit. Hidup pun pahit banget.

Baca juga:  Mengubah Malas Jadi Peluang Emas

Nah, kita masih mendapat pesan untuk minum kopi. Pesan diberikan oleh Deddy Mizwar. Sekian tahun, kita mengenali beliau adalah “pencari” Tuhan selama Ramadan. Pada saat mencari Tuhan, cerita di televisi itu mendapatkan pelbagai iklan. Dulu, Deddy Mizwar tampil dalam iklan Kapal Api, belum ada edisi mau mengajak penonton televisi menjadi pencari Tuhan. “Penghargaan ternikmat di hari raya,” kalimat dalam iklan dimuat di Tempo, 6 Mei 1989. Iklan kopi tapi adegan bukan minum kopi. Lihatlah, bapak-ibu-anak itu berdiri saja! Deddy Mizwar masih muda, belum keranjingan memberi petuah.

Kita menikmati kata-kata: “Alhamdulillah, sebulan telah berlalu, menahan diri dan mempertebal iman. Alhamdulillah, ada penghargaan ternikmat setelah sebulan berpuasa. Secangkir Kopi Kapal Api, rasa dan aromanya mantap.” Kita malah melihat gambar secangkir kopi ditemani ketupat. Oh, dulu ada kebiasaan orang minum kopi sambil makan ketupat. Cara termudah: ketupat dicelupkan ke kopi. Makanlah! Ketupat dilumuri kopi mungkin lezat. Imajinasi itu bisa keliru. Kita belum pernah mendapat iklan atau cerita tentang ketupat celup. Dulu, gambar ketupat mungkin menggantikan roti, gorengan, atau rokok.

Dua iklan mengenai Lebaran dan kopi teringat saat kita masih saja di rumah. Kita bisa membuat rencana dengan minum kopi tiga kali: pagi, sore jelang magrib, dan malam. Orang boleh minum kopi pahit atau kopi manis. Pada saat minum kopi mendingan di serambi, ruang tamu, atau kamar. Minum kopi sambil meratapi nasib. Minum kopi sambil memandangi orang-orang di rumah dalam diam. Detik demi detik, kopi itu tentu semakin pahit. Sekian orang memilih minum kopi dan merokok. Lelaki di pinggiran Solo setiap pagi memiliki kebiasaan minum kopi sambil membaca majalah-majalah lawas.

Baca juga:  Nasionalisme Santri Milenial

Orang pintar atau puitis mungkin memilih minum kopi saat Lebaran sambil membuka halaman-halaman buku berjudul Surat Kopi gubahan Joko Pinurbo. Adegan bakal semakin lengkap dengan membaca pula Perjamuan Khong Guan. Joko Pinurbo menulis: Lima menit menjelang minum kopi,/ aku ingat pesanmu: “Kurang atau lebih,/ setiap rezeki perlu dirayakan dengan secangkir kopi.”// Mungkin karena itu empat cangkir kopi sehari/ bisa menjauhkan kepala dari bunuh diri.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top