Ideologi apa pun, ia akan hidup terus. Sekalipun sudah usang, aus, tetap hidup sebagai ide. Dari yang kanan sampai yang kiri mentok suatu ideologi di dalamnya terdapat pelajaran. Pelajaran yang dimaksud tentu tidak selalu dalam mode “untuk diikuti”, namun bisa dalam mode “untuk dihindari” atau “untuk dikritisi”. Mode-mode tersebut yang ditekankan oleh Pak Fahruddin Faiz dalam pengantar buku barunya MJS Press, berjudul Ideologi-Politik dan Ketuhanan (2021).
Buku ini berasal dari proyek penggarapan tema Ngaji Filsafat. Para penulisnya merupakan para senior santri ngaji yang tergabung dalam komunitas literasi masjid MJS Project. Tentunya tulisan dibawakan oleh cara pandang, sudut pengambilan dan mengembangan, serta penyajian tema menurut yang dapat dan bisa dari masing-masing penulisnya.
Dalam sajian tulisan pertama, menghadirkan seorang dengan narcissistic personality disorder, sebuah penyimpangan kepribadian karena menghargai diri sendiri atau kelompoknya secara berlebihan dan membabi buta. Ia adalah si pemilik kumis khas, Adolf Hitler (1889-1945). Dari mula salah asuhlah, Hitler kecil meyakini bahwa dirinya lemah dan cengeng, tumbuh besar sebagai antitesis dari sosok ayahnya yang kasar, kejam, otoriter.
Sajian tulisan kedua tentang liberalisme. Liberal bukan asal bebas, dan ada beda antara freedom (bebas dari) dengan liberty (bebas untuk). Cilakanya kadang istilah-istilah keduanya ini sudah kadung menjadi santapan umum orang yang sebetulnya asal njeplak bahwa yang dimaksud liberal adalah bebas sepenuhnya. Luput juga merunut cara pandang liberal yang muncul sejak gelombang revolusi yang terjadi di Barat sebagai konteks, dan tuntutan keadilan yang diperjuangkan.
Tilikan pada pemikiran ketatanegaraan dari seorang pemikir Islam pengarang karya al-Ahkam al-Sulthaniyyah, tersaji sebagai tulisan ketiga. Al-Mawardi mengetengahkan dalam karyanya tersebut racikan ketatanegaraan dalam sebuah pemerintahan negara. Tujuannya agar antara pemerintah dan rakyat akan bisa saling mengayomi demi terciptanya keadilan yang diharapkan.
Sajian tulisan keempat ini yakni mengulas perdebatan panjang tentang sosialisme; beberapa salah pengertian; asal mula sosialisme; sampai sosialisme di Indonesia. Kata Soekarno, sosialisme itu maksudnya “kolektif”. Ulasan panjang ini pada dasarnya akan melihat keadilan pada setiap zamannya, dan perjuangan untuk meraihnya.
Sajian tulisan kelima mengulas gambaran ideologi politik dalam rupa monster gubahan Hobbes: Leviathan, yang berdaulat mutlak. Filosof kelahiran Westport pada 1588 dan meninggal pada 1679 di Inggris ini, mendasarkan pada “ketakutan” yang memainkan peran penting dalam Leviathan, monster gubahannya itu. Bagi Hobbes, ketakutan merupakan salah satu dimensi pada diri manusia dan berkuasa sebagai salah satu dimensi manusia juga.
Sajian tulisan terakhir tentang agnotisisme dan ateisme. Dua isme yang tidak persis ini, mengemukakan pandangan mengenai sesuatu yang diyakini, dipuja, dan disembah oleh manusia sebagai yang Mahakuasa adalah suatu yang tidak diketahui atau tidak dapat diketahui; dan satunya lagi babarblas (sama sekali) tidak mengakui adanya yang Mahakuasa. Perspektif dan jenis agnotisisme ada sendiri-sendiri. Ateisme pun ada yang praktis dan teoretis. Sampai “para pembunuh Tuhan” turut dihadirkan serta dalam tulisan terakhir.
Demikian kiranya sekilas gambaran dari buku Ideologi-Politik dan Ketuhanan. Sudah pandang para penulis yang dihadirkan dalam buku ini kembali lagi pada ketiga mode di awal tulisan. Kuncinya, pahami terlebih dahulu.
Judul: Ideologi-Politik dan Ketuhanan
Penulis: Halimah, dkk
Penerbit: MJS Press
Cet: Pertama (Juni 2021)
Tebal: x + 170 halaman
ISBN: 978-623-91890-7-5