Sedang Membaca
Dhugdheran: Dari Pasar Malam hingga Arak-Arakan

Penulis tinggal di Semarang. Pendidikan terakhir di Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa UGM.

Dhugdheran: Dari Pasar Malam hingga Arak-Arakan

D5uolvduuaabygj

Setiap wilayah di nusantara pasti memiliki adat dan tradisi tertentu. Tak terkecuali di wilayah kota Semarang yang merupakan ibukota provinsi Jawa Tengah. Salah satu tradisi yang dimiliki kota Semarang yaitu upacara tradisi dhugdheran yang rutin diselenggarakan setahun sekali.

Tradisi dhugdheran diadakan untuk menyambut datangnya awal bulan Ramadan. Dhugdheran pertama kali digagas oleh Bupati R.M.T.A Purbaningrat yang diselenggarakan sejak abad 19, yakni pada tahun 1880-an. Menurut Narasumber yang saya wawancarai, Bapak Muhaimin (anggota Jamaah Peduli Dhugdhèr), kemunculan tradisi ini sengaja diciptakan oleh pemerintahan pada masa itu untuk menetapkan awal bulan Ramadan.

Dhugdhèran berasal dari kata “dhug” yaitu suara bedug yang dipukul dan “dhèr” dari suara meriam yang dibunyikan. Tradisi dhugdhèran diawali dengan pasar malam yang digelar selama satu bulan penuh sebelum awal bulan Ramadan. Puncak tradisi dhugdhèran ditandai dengan prosesi arak-arakan, prosesi pemukulan bedug disusul dengan penyulutan meriam yang dilaksanakan di hari terakhir bulan Sya’ban (penanggalan Hijriyah) atau bulan Ruwah (penanggalan Jawa) sebagai tanda dimulai bulan Ramadan keesokan harinya.

Sejarah dan Masa Lalu Dhugdheran

Sebelum dinamakan dhugdhèran, penetapan awal Ramadan di Semarang terdapat dua cara. Pertama yaitu rukyat (pengamatan terhadap posisi bulan) dan kedua yaitu hisab (perhitungan atau perkiraan). Bupati Semarang pada saat itu memutuskan untuk menengahi pendapat dari para Ulama dengan mengadakan kegiatan pengumuman awal bulan Ramadan yang diselenggarakan pada tanggal 29 Sya’ban.

Sebelum dimulainya pengumuman, Bupati mengutus petugas khusus untuk melakukan rukyat, yakni mengamati posisi bulan apakah sudah tampak seperti bulan sabit atau belum. Setelah petugas melakukan rukyat, kemudian melaporkan hasil rukyat kepada para Ulama yang telah berkumpul di Masjid Kauman (halaqah).

Susunan kegiatan halaqah (pertemuan para Ulama) yang dilaksanakan di masjid di antaranya: petugas disumpah bahwa apa yang dilihat dan dilaporkannya benar, kemudian melaporkan kepada para Ulama yang nantinya akan disetujui oleh para Ulama. Selanjutnya petugas

Baca juga:  Pesantren, Ilmu Hikmah, dan Perdukunan (2): Tradisi Ijazahan Wirid di Lingkungan Pesantren Tradisional

menyampaikan laporan kepada Bupati di Kanjengan, yang berada tak jauh dari Masjid Kauman. Kanjengan yakni tempat tinggal sekaligus kantor Kanjeng Bupati, yang pada saat itu memimpin pemerintahan.

 

Pada saat petugas melapor ke Bupati, keadaan di Masjid Kauman dibunyikan beduk yang suaranya terdengar seperti ‘dhug-dhug-dhug’, dan di Kanjengan dibunyikan suara meriam yang terdengar seperti ‘dhèr-dhèr-dhèr’. Terdapat versi lain yang tertulis juga bahwa, beduk dipukul oleh Bupati Semarang, bersamaan dengan petugas tentara Hindia Belanda (VOC) yang diminta membunyikan meriam sebanyak 3 kali.

Setelah petugas melaporkan hasil rukyat kepada Bupati, Bupati mengumumkan hasilnya di alun-alun yang terletak di depan Kanjengan. Rangkaian kegiatan tersebut pada awalnya dilaksanakan pada malam hari setelah Magrib. Bupati mengadakan kegiatan tersebut karena merasa bahwa masyarakat membutuhkan kepastian mengenai kapan datangnya awal bulan Ramadan. Melalui bunyi beduk dan meriam yang bersahut-sahutan, kegiatan pengumuman tersebut disebutlah dhugdhèr dengan ditambahi akhiran ‘–an’ menjadi dhugdhèran.

Kegiatan ini selain sebagai penanda awal bulan Ramadan juga sebagai ajang pengumpulan massa. Kegiatan tersebut cukup menyita perhatian masyarakat yang menunggu di alun-alun, sehingga banyak masyarakat akhirnya berjualan pada keramaian tersebut. Pedagang-pedagang tersebut semakin lama semakin banyak, sehingga keramaian berubah menjadi pasar malam yang pada awalnya disebut mêgêngan. Mêgêngan berasal dari kata muagêng yang bermakna tamu agêng (tamu besar). Artinya, para pedagang yang berjualan pada keramaian tersebut bersiap untuk menyambut tamu besar yang dimaksud yaitu bulan Ramadan.

Pedagang-pedagang tersebut menjual berbagai macam barang dari bahan gerabah seperti celengan dan mainan anak, dan juga menjual makanan. Salah satu barang yang khas dijual pada mêgêngan yaitu warak ngêndhog. Kegiatan mêgêngan pada awalnya berada di alun-alun, namun kemudian berpindah-pindah tempat, dan pada akhirnya bertempat di depan Masjid Kauman dan sekitarnya.

Perubahan pada Dhugdheran

Terdapat perubahan pada pelaksanaan dhugdhèran dalam beberapa periode. Perubahan tersebut diperkirakan mendapat pengaruh politik dari pemerintah yang berkuasa. Pasca kemerdekaan, prosesi rukyat yang seharusnya dilaksanakan oleh petugas menjadi ditiadakan. Hal tersebut ditiadakan karena menunggu hasil sidang isbat yang disampaikan oleh Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama), karena yang berhak menetapkan awal masuknya bulan Ramadan adalah pemerintah pusat.

Baca juga:  Harlah Lesbumi ke-56: Kebudayaan Pesantren dan Fungsi Politisnya

Sekitar tahun 1960 terdapat agenda penataan wilayah, yakni Semarang yang awalnya kabupaten berubah menjadi kotamadya, sehingga Kanjengan dirobohkan. Lantaran Kanjengan ditiadakan, pusat pemerintahan berpindah di Balai Kota yang terletak 2 kilometer ke arah barat daya dari Kanjengan semula. Dengan berpindahnya pusat pemerintahan, berpindah pula tempat pelaksanaan upacara tradisi dhugdhèran menjadi di Balai Kota dan berlangsung selama 30 tahun di sana.

Pasar malam dhugdhèran (mêgêngan) juga berpindah tidak lagi di Alun-alun dan di sekitar Masjid Kauman, namun bertempat di depan Pasar Johar. Pada periode tahun 1960-1981 pembunyian meriam diganti menjadi bom udara, kemudian pada tahun 1982 bom udara dirasa berbahaya dan diganti dengan sirene.

Pada tahun 1983, kegiatan dhugdhèran yang pada awalnya hanya pasar malam dan prosesi pengumuman, ditambah dengan agenda arak-arakan. Kegiatan arak-arakan dilaksanakan sore hari dengan mengarak warak ngêndhog yang biasa dijual di mêgêngan dengan ukuran besar. Pada prosesi arak-arakan dhugdhèran, Wali Kota yang sedang menjabat diarak dengan berperan sebagai R.M.T.A. Purbaningrat. Ihwal tersebut memungkinkan bahwa masyarakat dan pemerintah tetap ingin mengingat Aryo Purbaningrat sebagai sosok yang mencetuskan kegiatan dhugdhèran, dan diharapkan kegiatan tersebut dapat dilaksanakan terus menerus. Arak-arakan diikuti oleh perwakilan dari siswa-siswi dari TK hingga SMA, serta perwakilan tiap kecamatan.

Pada tahun 1995 bertepatan dengan pencanangan Tahun Kunjungan Wisata Indonesia yang bertema ulang tahun emas (50 tahun) Peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia, agenda dhugdhèran ditambah dengan Festival Warak Ngêndhok pada pagi hari sebelum sorenya diadakan arak-arakan.

Kegiatan dhugdhèran terus berlangsung hingga pada tahun 2004 atas inisiatif Jamaah Peduli Dhugdhèr, kegiatan dhugdhèran kembali bertempat di Masjid Kauman baik pada perhelatan pasar malamnya maupun arak-arakan. Tahun 2006, atas prakarsa dari Gubernur Mardiyanto (yang menjabat pada saat itu) prosesi arak-arakan diperluas hingga ke Masjid Agung Jawa Tengah. Tak lupa prosesi halaqah, pengumuman, dan penyulutan beduk serta meriam dilaksanakan di sana.

Baca juga:  Penetapan 267 Warisan Budaya: Meneguhkan Kenusantaraan

Karena masyarakat lebih tertarik dhugdhèran dilaksanakan di Masjid Agung, maka dibuatlah acara tambahan yakni pembagian Air suci Alqur’an mulai tahun 2007. Pada tahun 2010 ditambah dengan acara pembagian Roti Ganjel Rel. Acara ‘Andum Ganjel Rel’ itu menurut Muhaimin berasal dari Kerata Basa. Yang artinya adalah “ojo ngganjel, tapi rela”. Apabila kita mulai

memasuki bulan Ramadan, dalam hati jangan ada yang mengganjal, tetapi harus rela. Rela yang berarti ridho, legawa, jangan sampai ada yang menganggu pikiran dan hati, karena sebentar lagi berpuasa.

Dhugdheran: Kini dan Nanti

Sejak awal kemunculannya hingga tahun 2019, dhugdhèran rutin diselenggarakan untuk menandai masuknya awal bulan Ramadan. Mengutip Radcliffe Brown, bahwa fungsi dari kegiatan yang selalu berulang seperti sebuah acara keagamaan merupakan bagian dari proses kehidupan sosial sebagai sumbangan bagi kerekatan sosial. Hal tersebut menunjukkan bahwa dhugdhèran yang dilakukan secara berulang akan menjadi suatu kebiasaan, adat tradisi, dan secara tidak langsung menjadi perekat dalam kehidupan masyarakat.

Dhugdhèran menjadi salah satu peristiwa budaya pada kota lain juga identik dengan peristiwa budaya tertentu, seperti di yang secara tidak langsung menautkan pada ciri khas kota Semarang, di mana Surakarta dan Yogyakarta yang memiliki tradisi Sêkaten. Pada Sekaten terdapat kegiatan upacara yang bersifat sakral, tetapi juga ada rangkaian pasar malam yang bersifat sekuler dan hiburan. Mirip halnya dengan dhugdhèran yang memiliki pasar malam yang bersifat hiburan, namun juga terdapat prosesi dhugdhèran yang bersifat suci karena terkait pada penandaan awal puasa Ramadan yang ditunggu-tunggu oleh umat Islam di kota Semarang.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top