Jika diajukan satu pertanyaan kepada umat Muslim; mengapa Islam menjadi agama wahyu terakhir yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad (sebagai utusan-Nya) melalui perantaraan Malaikat Jibril?
“Ya, karena ajaran Islam mencakup seluruh aspek kehidupan umat manusia, sebagai pelengkap atau penyempurna bagi agama-agama para nabi sebelumnya. Selain itu, menurut nash al-Qur’an, Islam merupakan agama yang diridai oleh Allah”. Mungkin, demikianlah, jawaban yang akan dilontarkannya.
Namun, berbeda dengan pandangan Zaki Naguib Mahmoud (1905-1993)–selanjutnya disebut Zaki–salah seorang cendekiawan Muslim progresif sekaligus filosof asal Mesir yang juga dikenal sebagai penganut aliran positivisme sebab, pendekatannya dalam mengkaji turâts menggunakan logika positivistik. Akibat pendekatannya yang dianggap tak lazim dipakai oleh kebanyakan para intelektual Muslim pada umumnya ketika mengkaji turâts itu, ia kemudian dilabeli sebagai ateis dan antek-antek penjajah.
Sudah mafhum diketahui, bahwa salah satu doktrin dari aliran positivisme ini adalah penolakannya terhadap “metafisika” termasuk “agama” dengan menganggapnya sebagai non-sains. Bagi aliran ini seluruh proposisi yang tak memiliki referensi-empiris dan tak dibenarkan oleh logika adalah meaningless (tak berarti). Tak heran jika logika positivisme memosisikan agama pada level terendah dalam urutan ilmu.
Kembali pada pendapat Zaki tentang penyebab Islam menjadi agama wahyu terakhir. Sebelum menelurkan argumennya, Zaki terlebih dahulu merumuskan pertanyaan, apakah karena setelah munculnya Islam kehidupan manusia tidak akan menemukan problematika yang belum tersedia solusinya di dalam Al-Quran, atau karena kehidupan mereka tidak akan melontarkan problematika baru lagi?
Menurutnya, Al-Quran di dalamnya telah memuat solusi sejumlah besar permasalahan hidup, namun solusi-solusi itu tidak akan cukup bagi manusia sepanjang masa apalagi di tengah perubahan dan kemajuan zaman, sehingga Islam memerintahkan manusia untuk tunduk kepada akalnya setiap kali dia menghadapi permasalahan baru. Dengan akal manusia dapat mengatasi problematika yang akan mereka hadapi dalam perspektif nilai-nilai yang stabil dari wahyu.
Lebih jauh, Zaki menyatakan bahwa akal dapat menjadi penguasa dan pemimpin manusia dalam mengatasi berbagai problematika mereka. Bahkan, keberadaan akal lebih penting daripada seorang pemimpin dalam membimbing manusia kepada solusi-solusi agama mereka, karena akal lebih lekat dengan manusia dalam setiap detik hidup mereka. Tak heran jika setiap Muslim meyakini bahwa Islam adalah agama untuk semua waktu dan semua tempat (al-Islam Shalih li Kulli Zaman wa Makan).
Dengan argumennya yang demikian itu, Zaki menegaskan bahwa penyebab utama Islam menjadi agama wahyu terakhir adalah karena komitmennya kepada akal. Artinya, Islam menjadikan akal, bukan tradisi, sebagai institusi pengambil keputusan. Menurut Zaki, sekiranya tradisi (nas agama) yang berwenang memutuskan, niscaya manusia akan membutuhkan rasul baru setiap kali kondisi kehidupan yang baru menuntut standar-standar yang baru.
Islam, demikian Zaki hanya mewariskan dua pegangan; Al-Quran dan Hadist, sehingga selanjutnya akallah yang memainkan peranan penting dalam menyempurnakan pemahaman, perkembangan, dan pemecahan masalah-masalah yang mungkin muncul dalam sisi-sisi kehidupan manusia yang selalu berubah dan berkembang. Namun, akal harus tetap berkomitmen kepada Islam pada setiap argumentasi rasionalnya tatkala menginginkan petunjuk dalam dunia moralitas.
Lantas pertanyaannya, kapankah akal itu dapat dipakai manusia dalam wilayah agama? Menurut Zaki, manusia dapat mendayagunakan akalnya dalam wilayah agama tatkala sebuah masalah membelitnya, sementara tidak ada keputusan dalam Al-Quran dan Hadist Nabi Muhammad saw. Lalu bagaimana jika akal bertentangan dengan kedua nas agama itu? Dalam hal ini, seperti kebanyakan para filosof Muslim, Zaki menyerukan “penyesuaian” akal dan agama.
Menurutnya, Islam telah menyuruh kita meminta keputusan kepada akal, berarti Islam tunduk terhadap kekuasaan akal. Jadi, akal harus diutamakan ketika dia bertentangan dengan dhohir nas, lalu dhohir nas itu ditakwil hingga memiliki makna yang sesuai dengannya. Zaki kemudian menyitir pendapat Imam Ghazali yang mengatakan, jika kita mendapatkan sebuah nas agama yang makna dhohir-nya tak sesuai dengan keputusan akal, berarti nas itu memiliki makna selain makna dhohir-nya, sehingga kita harus menakwilkannya agar mendapatkan makna yang rasional (bisa dikunyah akal sehat).
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Zaki menyatakan bahwa akal termasuk salah satu sumber ajaran Islam di samping Al-Quran dan Hadist. Sehingga, apabila ada seseorang yang mengabaikan akalnya (tidak mendayagunakan akal) apalagi mengecam dengan memvonis kafir, sesat dan bahkan keluar dari Islam terhadap orang yang menggunakan akalnya dalam menafsirkan teks wahyu, berarti dia telah mengabaikan salah satu sumber agamanya.
Kendati demikian, menurut Zaki, antara nas agama dan akal memiliki wilayah masing-masing atau batas-batas yang tidak boleh dilewati. Keduanya boleh saling membantu, tetapi tidak boleh saling mendistorsi. Dengan kata lain, akal hanya boleh mengelola hal-hal yang sifatnya parsial dalam kehidupan kita, sementara agama yang kukuh di dalam jiwa kita menetapkan nilai-nilai yang kekal dan abadi. Wallahu A’lam.