Pengangkatan Menteri Agama yang baru, Yaqut Cholil Qoumas atau Gus Yaqut membuat beberapa kalangan merasa kagum dengan pilihan Presiden. Pasalnya, Gus Yaqut adalah orang yang selama ini dinilai menentang keras gerakan populisme Islam. Ia menjadi wajah sekaligus pelindung bagi kelompok minoritas yang beberapa kali menjadi sasaran gerakan tersebut.
Gus Yaqut yang besar dalam tradisi Nahdlatul Ulama lebih simpati terhadap kelompok minoritas dan Islam moderat yang mengedepankan humanisme di atas elitisme agama. Bisa dibilang, Ia adalah penerus ajaran Gus Dur, tokoh yang juga telah menginspirasi dirinya untuk terus berdiri di atas nilai-nilai kemanusiaan.
Namun, jabatan Menteri Agama tentu saja bukan hanya tentang mengatur kehidupan beragama, tetapi di dalamnya ada pula kepentingan politik kekuasaan yang mengikat. Gus Yaqut dalam posisinya sekarang, tidak hanya sedang menghadapi gerakan populisme Islam, Ia juga menghadapi egoisme agama-agama di Indonesia.
Untuk memecahkan masalah ini, wajar, jika Menteri Agama juga harus seorang yang Nasionalis, dan memahami; sejarah, budaya, dan kondisi sosial masyarakat Indonesia. Kedudukan sebagai Menteri Agama merupakan bagian dari warisan sejarah untuk menjaga dan melindungi segenap warga negara Indonesia dari ancaman konflik dan disintegrasi.
Meredam Ancaman Konflik
Sudah sejak semula, Indonesia adalah negara dengan tingkat keberagaman yang sangat tinggi. Agama dan budaya adalah dua variabel yang paling penting dalam hal ini. Untuk itu, mustahil jika seseorang dipaksa hanya memiliki satu identitas, seorang warga negara Indonesia bisa memiliki dua hingga lima identitas sekaligus.
Sebagai contoh, seorang warga negara Indonesia bisa berkedudukan sebagai etnis Tionghoa, beragama Islam, berbudaya Jawa, berprofesi guru, dan berpartai. Lalu seperti apakah identitas dari warga negara tersebut? Tentu saja, hal ini tidak bisa didefinisikan secara singkat dan sempit.
Warga negara Indonesia adalah hibriditas dari berbagai macam budaya, agama, kondisi sosial, dan bahkan politik yang membentuk identitas keindonesiaan. Hal itu merupakan keniscayaan yang tidak bisa ditolak oleh siapapun.
Untuk mengedepankan pandangan tersebut, proses struktural harus dilakukan. Menteri Agama harus menginisiasi sosialisasi tentang identitas Indonesia yang luas itu. Dalam konteks ini, agama tidak lagi menjadi batasan yang mempersempit ruang gerak dan melahirkan kehampaan.
Agama adalah secercah cahaya yang ‘menerangi’ setiap pemeluknya, juga warga negara. Sehingga, agama dapat menjadi alasan untuk berdamai, bukan untuk bertengkar.
Keberagaman yang ada seringkali menjadi alasan untuk berkonflik, beberapa kali, bahkan sering, agama menjadi landasan terkuat suatu kelompok menebar sentimen dengan cara membenturkan kepentingan kelompok tertentu dengan kepentingan kekuasaan atau negara. Inilah yang disebut sebagai gerakan populisme, bukan hanya Islam, populisme tumbuh mengikuti lenggam kehidupan sosial-politik suatu masyarakat.
Misalnya di Amerika, gerakan populisme Kristen yang digelorakan oleh Presiden Donald Trump telah melahirkan babak baru sentimen anti Islam di sana. Islam dinilai sebagai agama yang berbahaya; patut dibenci dan dijauhi.
Gerakan populisme inilah yang memicu konflik antara mayoritas dan minoritas di berbagai tempat. Sekecil apapun, populisme tidak boleh dibiarkan tumbuh ‘mengakar’ di masyarakat multi budaya, juga agama. Seringkali, gerakan populis justru merugikan banyak kelompok, bahkan rakyat itu sendiri yang sudah terlalu sering dikorbankan.
Menteri Agama adalah figur yang berada di garis depan untuk memutuskan; populisme tetap eksis atau menghentikannya. Tetapi perlu dicatat, menghentikan gerakan populis dengan cara-cara yang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM), juga bagian dari pelanggaran HAM. Untuk itu, strategi paling humanis dengan mendialogkan semua kepentingan adalah jalan terbaik.
Strategi dialog ini pernah digunakan oleh Gus Dur untuk memutuskan; mengembalikan hak-hak warga negara keturunan Tionghoa dan Konghuchu untuk kembali dipeluk dan dilindungi. Pendekatan humanis ala Gus Dur terbukti berhasil untuk membuka kembali percakapan kebhinnekaan di Indonesia.
Gus Yaqut, yang juga telah mendaku diri sebagai penerus ajaran Gus Dur sudah sepantasnya melakukan hal yang sama. Melihat suatu gejolak sebagai bagian dari dinamika, yang terbaik untuk meredam ancaman konflik adalah melalui cara-cara edukatif, pendidikan keagamaan yang progresif dan moderat harus dikedepankan.
Bayang-Bayang Korupsi dan Tantangan Nasionalisme
Sepanjang sejarah Indonesia merdeka, sudah dua orang Menteri Agama yang dijerat kasus korupsi, yaitu; Suryadharma Ali dan pendahulunya Said Agil Husin Al Munawar. Ini menandakan bahwa Kementerian Agama yang bertugas mengatur kehidupan umat beragama juga berpotensi melahirkan koruptor-koruptor.
Tetapi, sekuat tenaga godaan korupsi itu menghantui, karakter diri adalah yang menentukan seseorang akan korupsi atau tidak. Ini yang membuat, puja-puji terhadap langkah kecil Gus Yaqut sebaiknya tidak melebihi batas wajar, bagaimanapun, kini Ia sudah bukan lagi Pemimpin Gerakan Pemuda Ansor lagi, Ia adalah politisi yang membidangi urusan agama, ada praktik administratif yang harus dilakukan secara transparan dan akuntabel.
Melihat penampilan awal yang mengesankan, Gus Yaqut harus tetap mewaspadai setiap gejala yang muncul di lembaga yang dipimpinnya. Kementerian Agama adalah kunci pendidikan moral dan perdamaian bagi masyarakat, apabila citra kementerian ini runtuh akibat korupsi, maka moral bangsa dan perdamaian sedang dalam ancaman.
Di sinilah seorang politisi akan diuji rasa nasionalismenya. Di era yang serba penuh regulasi, penjara tentu saja bukan tempat yang nyaman, meskipun kadangkala uang bisa ‘berbicara lebih banyak’. Untuk sekaliber tokoh agama, pemimpin gerakan Islam moderat, dan penerus ajaran Gus Dur, Gus Yaqut harus membuktikan dirinya seorang nasionalis sejati yang tidak ‘gelap mata’ karena uang.
Abrahamian dalam bukunya Islam, politics, and social movements menjelaskan bahwa politik agama mayoritas tentu saja bisa melahirkan harmonisasi dalam skala luas, tetapi itu tidak menutup kemungkinan malpraktik di dalam unsur kekuasaan; minoritas sulit bersuara terhadap ketidakadilan.
Lalu, dengan kondisi sekarang ini, apakah nasionalisme Gus Yaqut, Menteri Agama yang baru ini bisa membuka suara minoritas untuk bebas berekspresi kembali? Ataukah Ia tidak beda dengan para pendahulunya yang meredup di bawah bayang-bayang malpraktik kekuasaan? Semua akan dibuktikan empat tahun ke depan. Perjuangan menjaga Indonesia masih penuh dengan tikungan.