Dalam studi etnografi, desa memiliki sejarah dan legenda tersendiri dengan berbagai kearifan lokal di dalamnya. Desa, kampung, dukuh, dusun, atau sebuah tempat di kabupaten atau kota di Nusantara ini memiliki latar belakang yang sarat akan kearifan. Mulai dari tradisi, budaya, bahasa, hingga nilai-nilai dalam kehidupan warga yang laik dilestarikan, bahkan digerakkan untuk menjaga keutuhan bangsa, agama, dan dunia.
Sejak era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sampai Revolusi Industri 4.0 ini, desa mulai mencari identitas. Mereka bersolek, berbenah, dan membuat branding agar memiliki keunikan, karakter, dan ciri khas untuk dijadikan kekayaan, baik benda atau tak benda. Dari dinamika ini, muncul berbagai program seperti kampung tematik, kampung ekologi, desa wisata, desa ekowisata, desa bahari, kampung bahari, dan lainnya.
Salah satu bentuknya berupa kampung toleran, sebuah desa yang mendedikasikan diri sebagai tempat toleran, damai, dan menjaga tradisi Jawa, Islam, dan berbagai agama lainnya di tengah pluralitas. Dengan desa toleran, kita tidak perlu jauh-jauh belajar toleransi di luar negeri, karena toleransi itu sangat dekat dengan kita meskipun tidak pernah kita sadari.
Toleransi dari Desa Toleran
Hampir tiga tahun ini, ketika berangkat mengajar dan pulang dari mengajar saya selalu melintas di wilayah Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung. Kecamatan ini bagi warga setempat bahkan di Jawa Tengah menjadi miniatur Indonesia karena penduduknya beragama warna-warni. Maksudnya, ada Islam, Kristen, Budha, Hindu, Khonghucu, hingga penganut aliran kepercayaan.
Rokhmat (2018) menyebut, Kaloran merupakan miniatur Indonesia. Semua pemeluk agama di sana ada, mereka toleran, tidak pernah ada gesekan apalagi perang berbau SARA meskipun dulu sempat ada pengusik dari luar beberapa tahun lalu.
Berbagai riset dan buku bermunculan dengan fokus mengkaji toleransi yang ada di Kaloran. Tak heran, jika warga membuat branding “kampung toleran” yang memang mengakar turun-temurun sejak dulu.
Selain Kecamatan Temanggung, Kandangan, Bejen, Pringsurat, Parakan, Jumo, dan Gemawang, Kaloran sangat plural dilihat dari pemeluk agama yang beragam. Data Dindukcapil Temanggung (2016) menyebut Kaloran menduduki tingkat pluralitas tinggi. Pemeluk Islam ada 37.903 orang, Kristen 2.086 orang, Katolik 304 orang, Budha 5.630 orang, Hindu 1 orang, Khongucu 1 orang, aliran kepercayaan ada 141 orang.
Sedangkan Yahya dalam Ngaji Toleransi (2017), menyebut Kaloran adalah “Indonesia Kecil” karena penduduknya beragama plural. Pemeluk Islam ada 36.563 jiwa, Budha berjumlah 7.897, Kristen Protestan ada 893 jiwa, Katolik 775 jiwa, dan lainnya. Data ini hingga 2019 berkembang dengan komposisi yang imbang.
Ada beberapa tipe dan praktik toleransi di Kaloran. Pertama, toleransi dimulai dari keluarga. Warga Kaloran, memiliki keunikan karena banyak keluarga yang komposisi atau anggota keluarga memeluk lebih dari tiga agama.
Bapak beragama Islam, ibu Kristen, kakek Hindu, nenek Khonghucu, anak Budha, kondisi seperti ini di Kaloran sangat biasa. Mereka menjalankan agama sesuai keyakinannya masing-masing tanpa gesekan apalagi mengharuskan anggota keluarga beragama sama.
Kedua, praktik keagamaan antara agama satu dengan lainnya sama-sama mendukung, menjaga, dan menghormati. Ketika pemeluk Islam ada acara tahlilan, misalnya, maka tetangga yang lain yang non-Muslim ikut membantu, menghormati, begitu pula ketika ada hari raya besar seperti Idulfitri, Natal, Waisak, Nyepi, dan lainnya.
Ketiga, banyaknya jumlah masjid, wihara, gereja, pura, masih lestari dan dijaga oleh warga tanpa pandang agama. Baik secara fisik, atau ketika ada momentum dan isu terorisme atau SARA.
Keempat, adanya tempat musyawarah antartokoh agama. Tujuannya, agar para pemuka agama mendiskusikan berbagai hal dengan tujuan menjaga toleransi.
Kelima, praktik mendoakan leluhur atau keluarga yang sudah meninggal sesuai keyakinan agamanya. Hal itu terlaksana turun-temurun dengan tujuan toleransi, karena di sana toleransi adalah harga mati dan nomor wahid dalam kehidupan sehari-hari.
Masih banyak praktik keagamaan yang sarat akan nilai-nilai toleransi yang berasal dari akar rumput di Kaloran. Mereka hidup berdampingan, bahkan satu atap, satu kasur, satu rumah, dengan agama berbeda namun tetap Indonesia dan menjunjungtinggi toleransi.
Selain Kaloran, di tempat kelahiran saya di wilayah Dukuhseti, Pati, juga banyak desa toleran. Seperti Desa Puncel, Tegalombo, Banyutowo, Alasdowo sampai Tayu.
Desa-desa yang letaknya berdekatan dengan laut ini, memiliki karakter keagamaan berbeda dengan Kaloran. Di Banyutowo misalnya, desa tetangga saya ini sangat plural, toleran, dan mengutamakan kerukunan daripada sekadar mengutamakan ajaran agamanya.
Ada beberapa pengalaman yang saya alami sejak kecil. Pertama, saat Idulfitri, orang Kristen dan Katolik di Banyutowo turut badan, atau meminta maaf kepada suadara, tetangga yang beragama Islam. Sebaliknya, saat Natal dan tahun baru, umat Islam di Banyutowo juga bersilaturahmi untuk meminta maaf, dan menyambung seduluran (persaudaraan) dengan batas-batas agama masing-masing.
Kedua, selain tradisi badan, saat ada Takbir Keliling, umat Kristen dan Katolik pun turut membantu umat Islam menyukseskannya. Ketiga, ketika ada sedekah laut, umat Islam, Kristen, dan Katolik di Banyutowo sangat menjunjungtinggi gotong-royong, bahu-membahu menyukseskan tradisi tersebut. Mereka juga berdoa sesuai kepercayaannya masing-masing.
Mengglobalkan Desa
Beberapa desa di atas, tidak sekadar berbudaya, beragama, namun mereka menjunjungtinggi kemanusiaan. Sebab, tujuan agama salah satunya adalah menciptakan kerukunan, perdamaian, persatuan dengan satu tarikan napas nasionalisme religius sesuai kepercayaan masing-masing. Hal ini tentu harus dipromosikan, digerakkan, bahkan diglobalkan agar menjadi kekayaan yang mahal.
Diktum think globally, act locally (berpikir global, bertindak lokal) hakikatnya bisa disesuaikan dengan konteks desa toleran di Nusantara ini. Bisa jadi, think locally act globally, karena lokalitas, kearifan lokal jauh lebih tinggi nilai-nilai kemanusiaannya daripada konsep atau teori barat. Kita harus akui, bahwa ilmu modern kita menenggelamkan kehebatan Nusantara dan utamanya Jawa.
Jika dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan ada Yunani Kuno, Arab atau Mesir Kuno, Cina Kuno, lalu mengapa tidak ada Nusantara Kuno atau Jawa Kuno?
Dominasi ilmu pengetahuan kita tampaknya memang sengaja menenggelamkan kearifan lokal, harta budaya, dan emas toleransi yang jauh lebih prolifik daripada konsep barat yang kini diagungkan.
Sudah saatnya kita mengglobalkan desa dari aspek apa saja. Utamanya, toleransi yang kini mahal dan mulai diusik oleh pengganggu Nusantara. Artinya, think globally atau think locally, bukan sekadar soal menjaga tradisi, lebih dari itu, justru desa menjadi sumber pengetahuan, kearifan, dan budaya adiluhung yang harus diglobalkan. Jika tidak sekarang, lalu kapan lagi kita mengglobalkan desa? Bukankah adanya kota, negara, dan dunia berawal dari desa?