Sedang Membaca
Bangsa yang Tidak Bisa Diredam: Narasi Perlawanan Iran dari Puisi hingga Peluru
Muhammad Iqbal
Penulis Kolom

Muhammad Iqbal. Sejarawan. Dosen Prodi Sejarah Peradaban Islam IAIN Palangka Raya. Editor Penerbit Marjin Kiri. Menulis dua buku: Tahun-tahun yang Menentukan Wajah Timur (Yogyakarta: EA Books, 2019), dan Menyulut Api di Padang Ilalang: Pidato Politik Sukarno di Amuntai, 27 Januari 1953 (Yogyakarta: Tanda Baca, 2021).

Bangsa yang Tidak Bisa Diredam: Narasi Perlawanan Iran dari Puisi hingga Peluru

iran

Iran bukan sekadar negara; ia adalah ruang antara luka dan doa, antara masa silam yang belum selesai dan masa depan yang belum ditulis. Suara azan menggema berdampingan dengan nyanyian revolusioner di jalan-jalan Teheran; di dinding-dinding kota, wajah para syahid menatap sunyi ke arah langit kelabu yang tidak menjanjikan apa pun kecuali kelangsungan hidup.

Iran adalah negeri yang berkabung dalam sunyi dan perlawanan dalam senyap. Setiap retakan trotoar di Shiraz dan tiap debu di Karbala menceritakan kisah tentang keteguhan bangsa yang ditakdirkan untuk berdiri sendiri, bahkan jika seluruh dunia memintanya tunduk.

Hal ihwal ini adalah negeri di mana puisi dan peluru lahir dari rahim yang sama. Di mana seorang ibu membaca sajak Rumi sambil menggenggam foto anaknya yang hilang di front barat. Di mana revolusi tidak hanya terjadi dalam di jalanan, tetapi juga dalam pikiran, dalam tafsir Al-Qur’an, dalam sebuah diskusi larut malam di ruang tamu yang sunyi dengan teh hangat dan cahaya remang. Iran telah lama belajar bahwa untuk bertahan hidup, ia harus menjadi tempat di mana sejarah tidak hanya dikenang, tetapi dilawan.

Di negeri ini, bahkan waktu pun tak berjalan lurus. Ia melingkar, menari, menyerupai kaligrafi Arab yang membingkai masjid-masjid tua. Yang mati tidak pernah benar-benar mati. Mereka hadir dalam poster di tembok-tembok Qom, dalam bait puisi Forough Farrokhzad yang dibisikkan oleh gadis-gadis muda di universitas sambil menyembunyikan rambutnya dari pandangan polisi moral. Di tengah semua ini, satu hal tetap: semangat untuk melawan, bukan demi kebencian, tetapi demi martabat. Iran bukanlah negeri yang tunduk. Ia adalah negeri yang bertahan dengan luka, dengan cinta, dengan marah, dengan syair.

Mitos-Mitos Kuno & Ingatan Kekaisaran

Jika sejarah adalah narasi tentang siapa yang berkuasa dan siapa yang dilupakan, maka Iran adalah pengecualian yang abadi. Ia bukan hanya bangsa, tetapi juga peradaban yang terlalu besar untuk dikubur dan terlalu keras kepala untuk dijinakkan. Di masa silam, ketika Darius dan Xerxes berdiri di tangga Persepolis, dunia dikenal sebagai tempat yang Iran kuasai bukan dengan arogansi, tetapi dengan administrasi, kesenian, dan keyakinan akan sistem hukum yang transenden. Abbas Amanat menulis, “Iran mempertahankan dirinya bukan dengan benteng, tetapi dengan puisi dan hukum suci” (Amanat, 2017).

Setelah Achaemenid datang Parthia dan kemudian Sasania, dan bahkan ketika Islam tiba membawa gelombang perubahan dari Arab, Persia tidak pernah benar-benar lenyap. Ia justru menjadikan Islam sebagai miliknya: mendirikan dinasti-dinasti besar seperti Safavid dan menyulam teologi dengan filsafat lokal, hingga yang tersisa adalah Shiisme yang bersenyawa dengan tanah, darah, dan langit Iran. Sejak itu, Iran bukan sekadar Muslim. Ia adalah Syiah, dan dari sana lahir sebuah tradisi perlawanan yang tidak akan mudah dibungkam.

Dalam sejarahnya nan panjang, Iran tidak pernah sepenuhnya dijajah oleh kekuatan asing. Itu bukan karena kekuatan militer yang luar biasa, tetapi karena kekuatan narasi yang terlalu kompleks untuk dipetakan oleh Barat. Dari Timur dan Barat, kekuatan kolonial menyerbu banyak negeri di Asia, namun selalu gagal menaklukkan total identitas Persia. Dalam kata Amanat: “Iran adalah negeri yang memilih untuk menjadi modern tanpa harus menyerah pada kolonialisme” (Amanat, 2017).

Modernisasi di Iran adalah permainan keseimbangan yang ganjil antara ketertarikan terhadap teknologi Barat dan ketakutan terhadap hegemoni ideologisnya. Tatkala Reza Shah naik ke tampuk kekuasaan tahun 1925, ia membangun jalan-jalan, rel kereta, dan sekolah-sekolah sekuler, tetapi dengan tangan besi yang memukul siapa pun yang berbicara atas nama rakyat. Dia memaksakan pakaian Barat, tetapi melarang bahasa politik yang lahir dari demokrasi Eropa. Iran menginginkan kemajuan, tapi ingin menciptakan bentuknya sendiri, yang keras kepala dan khas.

Baca juga:  Tubuh yang Bergerak: Tari dan Krisis Spiritualitas Tubuh

Ervand Abrahamian mencatat bahwa “modernisasi di Iran bukan hasil kompromi, melainkan hasil pertarungan antara negara dan masyarakat, antara elit teknokrat dan rakyat beriman, antara aspirasi rakyat dan paranoia kekuasaan” (Abrahamian, 2019). Ketika dunia Barat memandang pembangunan sebagai produk pasar bebas, Iran membangunnya sebagai bagian dari proyek nasionalisme dan kontrol negara yang kaku. Tidak ada yang dilakukan setengah-setengah, baik cinta maupun represi.

Ketika Muhammad Reza Shah meluncurkan Revolusi Putih pada 1963, dengan janji reformasi agraria dan hak pilih perempuan, dia juga membangun penjara yang penuh dengan penyair, pemikir, dan ayatollah. Modernisasi menjadi medan tempur antara kemajuan teknologi dan pembusukan moral kekuasaan. Di balik pembangunan kota-kota modern seperti Isfahan dan Shiraz, terdengar erangan rakyat yang ditindas SAVAK, polisi rahasia yang menyusup hingga ke ranjang tidur warganya.

1979: Revolusi sebagai Bahasa Perlawanan

Revolusi Iran bukanlah sekadar kudeta atau transisi kekuasaan. Ia adalah letupan dari lapisan-lapisan kekecewaan, harapan, dan iman yang selama puluhan tahun direpresi. Di awal 1979, ketika Ayatollah Khomeini kembali dari pengasingan, tidak hanya suara takbir yang menggema di udara, tapi juga suara massa yang merasa menemukan artikulasi dari kesedihan kolektif mereka. “Ini bukan tentang Islam,” tulis seorang demonstran muda di atas dinding kota, “ini tentang harga diri.”

Dalam laporannya, Abrahamian menekankan bahwa revolusi ini adalah peristiwa di mana ulama, mahasiswa, buruh, dan perempuan berpadu dalam satu napas sejarah yang menolak kekuasaan absolut. Iran bukan hanya menggulingkan Shah; ia juga menggulingkan gagasan bahwa modernisasi harus datang dengan pengkhianatan terhadap akar budaya sendiri. Perihal ini adalah momen ketika suara-suara yang diredam berabad-abad, dari puisi Hafiz hingga suara ibu-ibu syuhada, bersatu dalam satu jeritan yang tidak mungkin diabaikan dunia.

Akan tetapi seperti revolusi lainnya, kemenangan cepat digantikan oleh ambiguitas. Negara Islam yang lahir dari revolusi justru perlahan menciptakan tirani baru. Harapan tentang keadilan berubah menjadi rezim teokrasi. Akan tetapi, Iran tetap tidak diam. Perlawanan pun bergeser dari jalanan ke ruang-ruang tafsir dan filsafat.

Perang Iran-Irak: Sebuah Epik Ketahanan

Tatkala Irak menyerbu Iran pada 1980 dengan restu diam-diam dari kekuatan besar, banyak yang mengira Republik Islam akan runtuh dalam hitungan bulan. Namun perang yang disebut “Pertahanan Suci” justru menjadi fondasi baru dari identitas nasional. Annie Tracy Samuel menyebutnya sebagai “ritus pendewasaan republik baru,” sebuah perang yang mengubah rakyat biasa menjadi martir dan teologi menjadi strategi militer (Samuel, 2021).

Selama delapan tahun, Iran bertahan tanpa dukungan besar dari luar, melawan senjata kimia, embargo ekonomi, dan serangan udara brutal. Kota Khorramshahr menjadi legenda, simbol kegigihan yang membuat nama Iran kembali diperhitungkan sebagai bangsa yang menolak tunduk.

Yang menarik adalah peran Garda Revolusi (IRGC), bukan hanya sebagai kekuatan militer, tapi juga sebagai penulis narasi sejarah itu sendiri. IRGC membangun museum, menulis buku, dan menciptakan arsip tentang perang yang membingkai konflik bukan hanya sebagai tragedi, tapi sebagai kemenangan spiritual. Bagi rakyat Iran, setiap bom yang jatuh bukan hanya tanda kehancuran, tapi juga panggilan untuk tetap melawan dan hidup dengan cara yang lebih bermakna (Jahanbegloo, 2013).

Baca juga:  Ketika Sejarah tak Diindahkan Penguasa dan Politisi

Post-Islamisme

Revolusi 1979 tidak berhenti di tahun 1979. Ia terus bergulir, berubah wujud, dan berhadapan dengan dirinya sendiri. Dalam dekade-dekade pasca perang, muncul generasi baru pemikir Iran yang mulai mengkritik fondasi ideologis Republik Islam, bukan dari luar, tetapi dari dalam. Mereka adalah anak-anak revolusi yang menolak menjadi budak dari dogma-dogma yang telah membatu. Mereka tidak ingin menggulingkan Islam, tetapi menafsirkan ulangnya.

Yadullah Shahibzadeh menyebut fenomena ini sebagai “post-Islamisme,” suatu upaya untuk merekonstruksi iman dalam kerangka kebebasan dan demokrasi, untuk membebaskan Islam dari genggaman negara dan menjadikannya alat refleksi moral yang otentik dan kontekstual. Dalam pemikiran Abdulkarim Soroush, misalnya, wahyu bukanlah paket instruksi politik yang beku, melainkan pengalaman eksistensial yang terbuka bagi tafsir sejarah dan nalar manusia. “Tidak ada pemahaman keagamaan yang mutlak,” tegasnya. “Yang mutlak hanyalah pengalaman spiritual itu sendiri” (Shahibzadeh, 2016).

Post-Islamisme di Iran bukan sekadar wacana akademik. Ia adalah perlawanan intelektual terhadap dominasi satu suara, satu ideologi. Ini adalah bentuk baru dari jihad (jihad nalar dan jihad makna). Di tengah tekanan sensor, intimidasi, dan larangan, para pemikir post-Islamis terus menulis, berbicara, dan mengajar. Mereka tahu bahwa sebuah bangsa tidak bisa dibangun dengan ketakutan; ia hanya bisa tumbuh dengan keberanian untuk berpikir berbeda (Pargoo, 2021).

Perempuan, Puisi, Politik Tubuh

Tidak ada arena perlawanan yang lebih sunyi namun lebih kuat di Iran selain tubuh perempuan. Sejak hari pertama Republik Islam berdiri, tubuh perempuan menjadi medan pertarungan antara negara dan rakyat. Ia dibungkus, dikontrol, dipantau, tetapi juga dijadikan simbol oleh banyak perempuan sendiri, bukan untuk patuh, tetapi untuk menggugat.

Di jalanan Teheran, ribuan perempuan mengenakan jilbab dengan gaya mereka sendiri: sebagian longgar, sebagian artistik, sebagian bahkan dengan protes diam. Mereka tidak melawan dengan senjata, tetapi dengan estetika. Mereka menolak direduksi menjadi simbol. “Tubuhku adalah tanah airku,” tulis seorang seniman perempuan di atas mural tersembunyi di Loram Street.

Puisi menjadi bahasa rahasia mereka. Forough Farrokhzad, yang puisinya dibungkam negara namun dibisikkan di universitas, menulis:

“Aku berdosa, ya…”

“Aku berdosa dalam pelukan yang hangat dan gelap.”

Kata-katanya menjadi manifesto bagi perempuan yang menuntut kebebasan bukan karena ingin menjadi Barat, tapi karena ingin menjadi manusia. Dalam gerakan “Zan, Zendegi, Azadi” (Perempuan, Kehidupan, Kebebasan), tubuh tidak lagi menjadi beban, melainkan ruang suci yang penuh arti. Setiap langkah, setiap senyuman, dan setiap helai rambut yang terlihat adalah deklarasi: bahwa perempuan Iran tidak akan diam (Ghoreishi, 2021; Haeri, 2021).

Sanksi, Sunyi, Seni

Ketika dunia memberlakukan sanksi ekonomi atas Iran, dampaknya bukan hanya terlihat di pasar mata uang atau di pelabuhan minyak, tetapi juga dalam dapur-dapur rakyat biasa, di mana ibu-ibu harus mengurangi satu butir telur dari piring makan malam anaknya. Namun dari keterbatasan itu, lahir keteguhan yang tak bisa diukur dalam grafik ekonomi.

Seni, di masa-masa itu, menjadi satu-satunya ruang kebebasan. Film Iran meraih penghargaan dunia bukan karena anggaran besar atau efek visual, tetapi karena keberaniannya menceritakan kebenaran dalam metafora. Abbas Kiarostami membuat film tentang keheningan, dan dalam keheningan itu, dunia mendengar jeritan bangsa yang dikepung dari segala arah. Di balik pintu teater dan ruang galeri bawah tanah, generasi muda menciptakan puisi, instalasi, dan video art sebagai bentuk perlawanan diam.

Baca juga:  Pemetik Puisi (21): Salam Disingkat

Sanksi memang melumpuhkan ekonomi, tetapi ia juga memaksa rakyat untuk meredefinisi makna hidup. “Kami tidak hidup untuk membeli barang impor,” kata seorang seniman muda di Esfahan. “Kami hidup untuk menciptakan, untuk tetap menyala, untuk tetap bermakna.” Sunyi menjadi sahabat, bukan musuh. Ketika dunia memblokir, Iran membalikkan rasa terkepung menjadi kontemplasi. Dalam kontemplasi itu, lahirlah kekuatan spiritual anyar.

Iran yang Tak Pernah Menyerah

Di abad ke-21, Iran tetap menjadi duri dalam daging bagi tatanan dunia yang diatur oleh modal, militer, dan mesin propaganda. Ia menolak ikut dalam pawai globalisasi yang melumatkan identitas. Di tengah tekanan dari Amerika, Israel, dan Arab Saudi, Iran tetap mempertahankan otonomi strategisnya, kadang dengan diplomasi, kadang dengan milisi, dan kadang hanya dengan diam membisu, laksana gunung.

Walakin perlawanan Iran bukan tanpa celah. Banyak warga mulai mempertanyakan: sampai kapan harus menderita demi ideologi? Sampai kapan rakyat harus membayar harga dari ambisi geopolitik elit? Dalam ruang-ruang daring yang diawasi ketat, diskusi tentang demokrasi, kebebasan berpendapat, dan rekonsiliasi dengan dunia luar mulai muncul. Namun bahkan di tengah kritik itu, satu hal tetap: rakyat Iran tetap tidak mau ditentukan oleh Washington, Riyadh, atau Tel Aviv.

Di balik wajah tegas IRGC dan pidato-pidato pejabat tinggi, ada rakyat yang mencintai puisi, menanam pohon di halaman rumahnya, dan bermimpi tentang dunia di mana Iran dihargai bukan karena takut, tapi karena dihormati. Dan justru dalam kompleksitas inilah Iran berdiri: sebagai bangsa yang terlalu lembut untuk jadi diktator, tapi terlalu keras untuk jadi korban.

Sejarah Iran bukanlah garis lurus yang menuju cahaya. Ia lebih menyerupai karpet Persia: rumit, berliku, dengan pola yang hanya bisa dipahami dari kejauhan. Dalam tiap simpulnya, ada penderitaan. Dalam tiap warnanya, ada harapan. Iran telah menjadi saksi dari kekaisaran yang runtuh, revolusi yang memakan anaknya sendiri, perang yang membakar masa depan, dan embargo yang mencekik napas kehidupan. Namun satu hal tak pernah hilang: semangat untuk tetap berdiri.

Iran adalah negeri yang selalu tampak seperti akan runtuh, tapi justru menjadi lebih kuat. Ia adalah puisi yang ditulis dengan darah, dicetak dengan air mata, dan dibacakan dengan kepala tegak. Di antara serpihan sejarah dan gejolak masa depan, bangsa ini tetap bernyanyi tentang luka, tentang cinta, dan tentang martabat.

Kalakian, di ujung waktu, mungkin sejarah akan menilai Iran dengan bias, menyorot dosa dan kesalahannya. Tapi rakyat Iran tahu: mereka adalah bagian dari narasi yang lebih besar: narasi perihal perlawanan terhadap penghapusan, tentang keinginan untuk menentukan nasib sendiri. Dalam dunia yang makin dikendalikan oleh algoritma dan kapital, mungkin kita butuh Iran. Bukan sebagai teladan, tapi sebagai pengingat bahwa tidak semua bangsa bisa dibeli, dan tak semua kebenaran bisa diredam.

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top