Salah satu misi pesantren adalh membekali para santri dengan pemahaman agama yang benar (tafaqquh fid din) dan aplikatif. Memahami saja tanpa dipraktekkan tiada guna. Memiliki ghiroh/semangat beragama, dengan pemahaman yang dangkal pun juga berbahaya.
Maka di pesantren, para santri ditempa untuk menjadi insan yang ilmiah amaliah dan amaliah ilmiah. Berilmu dan diamalkan, mengamalkan dengan mengetahui ilmunya.
Guna mewujudkan santri yang faqih, diperlukan proses panjang dan bertahun-tahun. Mulai dari pelajaran yang paling dasar hingga mempelajari perbandingan pendapat-pendapat (muqoronatul madzahib) dalam kajian hukum Islam. Sejak jenjang pendidikan dasar, para santri diupayakan memahami ajaran agama dengan baik. Salah satu caranya adalah meghafal apa yang mereka pelajari.
Bagi sebagian kalangan, menghafal merupakan hal yang kurang efektif. Mereka meyakini bahwa yang penting adalah memahami inti persoalan, kemampuan berdiskusi dan daya analisi yang mumpuni.
Menghafal dalam kegiatan belajar ilmu agama, tetap merupakan hal yang penting dan perlu. Hal ini bertujuan agar dalam membahas persoalan agama, seseorang tidak berdasar hanya pada akal dan argumentasinya semata, namun juga harus berlandaskan dalil.
Hafalan yang kuat juga bisa meningkatkan pemahaman dan penghayatan. Sebagaimana di era orde baru, butir-butir Pancasila P4 pun wajib untuk dihafal para murid tingkat SD. Butir-butir yang merupakan penjabaran dari Pancasila itu dibaca berulang-ulang hingga hafal, saat berbaris hendak memasuki kelas di pagi hari. Nama menteri kabinet juga dihafal.
Tiap pesantren memiberikan beban pada para santrinya untuk menghafal. Yang paling spesifik adalah pesantren tahfidz Alquran. Dengan adanya program tahfidz ini, Kitab suci unat Islam masih terjaga kemurniannya tanpa perubahan hingga sekarang. Karena dihafal dalam kalbu jutaan pemeluknya.
Selain pesantren hafalan Alquran, terdapat pula pesantren yang menerapkan metode one day one ayat maupun one day one hadis. Tiap hari para santri diwajibkan menghafal satu ayat Alquran ataupun menghafal satu hadis. Bila diterapkan dengan disiplin, tidak mustahil para santri mampu menghafal semisal isi hadis yang terdapat dalam kitab hadis Arba’in Nawawi yang berjumlah 42 hadis. Ataupun memiliki tabungan beberapa juz Alquran yang dihafal.
Selain itu terdapat pesantren yang mewajibkan santrinya menghafal surat tertentu dari Alquran. Biasanya surat yang sering dibaca di pesantren, karena memiliki fadhilah atau keutamaan tertentu. Seperti menghafal juz ‘amma, ataupun menghafal surat yasin, Waqi’ah, al-Mulk dan ar-Rohman.
Terdapat pula pesantren yang mewajibkan santrinya menghafal bat-bait nazam. Nazam yang terkait ilmu tauhid semisal Aqidatul Awwam, mutlak dihafal para santri di tahun pertama mereka mondok. Nazam Imrithi yang berjumlah kisaran 250an bait maupun Alfiyah ibni Malik yang berjumlah 1002 bait, menjadi pegangan para santri untuk dihafal. Sebagai kaidah memahami susunan gramatika/tata bahasa arab.
Dalam kajian fikih, nazam Zubad ataupun tanwirul hija biasa dihafalkan para santri. Dalam ilmu shorof, al-amtsilatut tashrifiyah karya kiai maksum Seblak, menantu Kiai Hasyim Asy’ari, menjadi pedoman awal para santri. Seteleh itu dilanjutkan dengan menghafal nadlom maqshud.
Pada jenjang kelas selanjutnya, para santri menghafal nadlom al-faroidul bahiyah, yang merupakan bentuk nadlom dari ulasan kitab al-asybah wan nadzo’ir karya as-Suyuthi tentang kaidah fiqh. Terdapat pula beberapa pesantren yang mengharuskan santrinya menghafal nadloman ilmu faroid/kewarisan Islam, Balaghoh (badi’, ma’ani, bayan/sastra Arab) maupun nadloman ushul fiqh.
Bait-bait yang berisi petuah ataupun pitutur berbahasa Arab juga banyak dihafal para santri. Seperti dalam kitab Alalaa, yang berisi pedoman tentang akhlak yang disadur dari kitab Ta’limul Muta’allim. Ataupun menghafal 100 mahfudzat/petuah bijak, sebagaimana di pesantren Gontor.
Suasana pesantren dibuat kondusif guna para santri menghafal, di tengah padatnya jadwal kegiatan pesantren. Salah satu keuntungan adanya beban menghafal ini adalah para santri menghabiskan waktunya untuik hal yang positif. Hampir tidak ada waktu luang untuk melakukan hal yang negatif. Waktu luang yang ada terkadang digunakan untuk bermain sepakbola sekedar melepas penat, ataupun mencuci dan menyeterika baju.
Ada pula yang menggunakan waktunya untuk menulis kitab. Di beberapa pesantren, kitab yang dipegang para santri, haruslah tulisan tangannya sendiri. Bukan kitab cetakan. Guna membiasakan para santri melihat, membaca dan menuliskan isi kitab yang akan dikaji.
Beban menghafal memang berat bagi sebagian santri. Oleh karena itu, di pesantren biasanya diadakan muhafadzah/menghafal bersama. Terkait menghafal Alquran, dikenal dengan istilah muroja’ah muhafadzah yang biasa dikenal dengan istilah lalaran, biasanya dilaksanakan sebelum guru memasuki kelas, menjelang takror/syawir (mengulang dan mendiskusikan) di malam hari, maupun saat malam Jumat.
Pesantren dengan beban menghafal yang ketat bahkan mengadakan karantina selama bulan Ramadan, guna memfokuskan santri menghafal kitab Alfiyah ibni Malik. Yang diharuskan menghafalnya mulai bait ke 1 hingga ke 1002, tanpa dibagi atau mencicil tiap semester.
Begitu bersyukurnya kalangan pesantren atas purnanya para santri menghafal kitab Alfiyah, hingga diadakan haflatut tasyakkur ala ikhtitami alfiyatibni malik, sebagaimana diadakan di pesantren Ploso Kediri.
Kiai Nasrullah Tambakberas semasa hidupnya, selalu dengan sepontan memberikan uang tunai dari sakunya, dan diberikan kepada santri seusai menyelesaikan muhafadzah alfiyah di SP/madrasah ‘idadiyah Tambakberas. Siswa-siswi madrasah Ibtidaiyah Tambakberas pun juga sudah dibiasakan menghafal.
Bahkan kisaran umur 12 tahun sudah mulai menghafal nazam Alfiyah. Perayaan khotmul imrithi yang meriah di pesantren Darul Huda, Mayak Ponorogo, juga menunjukkan betapa tradisi menghafal merupakan fundamen menuju pemahaman ilmu Agama di Pesantren. Semuanya bisa dilihat di You Tube masing-masing pesantren.
Tradisi menghafal pun juga dilaksanakan dengan menghafal kitab. Ada santri yang menghafal isi kitab Jurumiyah, bahkan terdapat pula santri yang menghafal isi kitab Fathul Qorib dan Fathul Mu’in, keduanya adalah literatur fikih mazhab Syafi’i.
Menghafal tanpa dibarengi dengan pemahaman memang kurang berguna. Akan lebih baik bila setelah menghafal, para santri menjaga hafalannya agar jangan sampai hilang. Caranya adalah dengan selalu mengulang hafalan yang telah dimiliki.
Aktifitas menghafal haruslah dipertahankan di era budaya instan seperti sekarang, di mana orang lebih memilih berselancar mencari informasi di dunia maya, yang pemahamannya terlalu tematik dan parsial.
Kalangan santri hendaknya tetap berusaha mengkhatamkan kajian kitab lafaz demi lafaz. Serta menghafal bait demi bait. Sehingga diperoleh pemahaman yang komprehensif tentang agama, utuh dan menyeluruh.
Pemahaman tanpa hafalan juga mengakibatkan lemahnya argumentasi. Menghafal disertai pemahaman, mampu mengantarkan santri menjadi insan yang mutabahhir fil ilmi. Seseorang yang ilmunya meluas dan mendalam bak samudera.