Sedang Membaca
Sejarah Umat Islam: Wabah Semakin Parah Setelah Berkumpul untuk Doa Bersama
Ulin Nuha
Penulis Kolom

Santri Pesantren Durotu Aswaja, Sekaran, Gungungpati, Kota Semarang. instagram: @ulinnuha_1

Sejarah Umat Islam: Wabah Semakin Parah Setelah Berkumpul untuk Doa Bersama

1 A Masjid

Penyakit wabah dunia atau pandemi yang terjadi saat ini bukanlah sesuatu yang baru dalam sejarah di dunia, tak terkecuali sejarah peradaban masyarakat Islam. Apa yang harus dilakukan ketika terjadi wabah? 

Rasulullah saw telah menjawab dengan terang, dalam sebuah hadis riwayat Imam al-Bukhori,

إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَدْخُلُوهَا، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا 

“Apabila kalian mendengar wabah tha’un melanda suatu negeri. Maka, janganlah kalian memasuki negeri tadi. Dan apabila terjadi wabah tadi di suatu daerah dan kalian sedang berada dalam daerah tersebut, maka janganlah kalian keluar dari daerah tersebut”.

Apa yang diperintahkan oleh Rasulullah saw tersebut menunjukkan bahwa selain berdoa, seorang muslim juga disuruh untuk berikhtiar dengan menjauhi tempat yang terinfeksi suatu wabah penyakit. Dalam konteks sekarang, sabda Rasulullah saw tersebut merupakan perintah bagi umat islam dan masyarakat secara luas untuk melakukan social distancing (pembatasan sosial atau menjaga jarak).

Sudah sepantasnya bagi seorang muslim untuk mengikuti saran para medis dalam masalah yang berkaitan dengan kesehatan, yang mereka menyarankan agar masyarakat melakukan social distancing, karena dalam konteks kesehatan yang menjadi ahlinya adalah para medis, bukan ustaz atau kiai.

Dalam sejarahnya, umat Islam pernah mengalami yang namanya wabah penyakit. Dalam kitab Badzlul Ma’un Fi Fadhlit Tha’un karangan al-Imam al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H) halaman 328. Disebutkan dalam kitab tersebut bahwa dahulu pernah terjadi wabah tha’un yang besar yang menyerang kota Damaskus pada tahun 794 H. Agar wabah tersebut hilang, para umat Islam melakukan doa bersama di tempat terbuka.

Baca juga:  Manuskrip Surat Pangeran Abu Hayat untuk Sultan Ternate

وخرج الناس الى الصخراء ومعظم واكابر البلد فدعوا واستغاثوا فعظم الطاعون بعد ذلك وكثر وكان قبل دعاءهم أخف

“Dan kemudian orang-orang keluar menuju lapangan terbuka beserta pembesar-pembesarnya negeri (Damaskus), lalu mereka berdoa dan meminta (kepada Allah Swt). (Akan tetapi) setelah kejadian tersebut, wabah tha’un malah menjadi besar dan menjadi banyak, sedangkan sebelum mereka berkumpul untuk doa bersama, wabah tersebut masih dalam skala kecil.”

Kejadian serupa juga pernah terjadi pada tanggal 27 Rabiul Akhir tahun 833 H di kota Kairo, Mesir. Masyarakat di kota tersebut melakukan inisiatif doa bersama agar wabah penyakit hilang dari negeri tersebut, akan tetapi wabah tersebut menjadi parah setelah mereka berkumpul bersama.

فكان عدد من يموت  بها دون الأربعين. فخرجوا إلى الصخراء في الرابع من جمادى الأولى بعد أن نودي فيهم بصيام ثلاثة أيام, كما في الصلاة الا ستسقاء ودعوا  وأقاموا ساعة ثم رجعوا. فما انسلخ الشهر حتى صار عدد من يموت في كل يوم بالقاهرة فوق الألف ثم تزايد

“Jumlah orang yang meninggal sebab wabah penyakit tersebut di bawah 40 orang. Kemudian orang-orang keluar menuju lapangan terbuka pada tanggal 4 Jumadil Ula, setelah mereka diminta untuk berpuasa tiga hari terlebih dahulu seperti ketika akan salat Istisqa dan mereka berdoa dan melaksanakan salat, kemudian kembali ke rumah. Ketika belum sampai satu bulan terlewati (sejak berkumpul bersama), jumlah orang yang meninggal dalam satu hari mencapai seribu di kota Kairo, kemudian tambah lebih banyak lagi.” 

Baca juga:  Riwayat dan Kenangan Kiai Moenawir Krapyak

Apa yang telah diceritakan oleh al-Imam al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani tentunya harus menjadi pelajaran bagi kita semua. Bahwa ketika terjadi wabah penyakit yang menular, kita harus mengurung diri dan jangan mendekati tempat keberadaan wabah tersebut seperti sabda Rasulullaah saw di atas, sekalipun untuk berdoa bersama.

Berdoa bersama merupakan suatua amalan yang baik, akan tetapi dalam keadaan wabah penyakit menular yang liar tentu akan lebih banyak mafsadat (kerugian) yang akan didapatkan. Karena dalam ilmu qawaid fiqih terdapat kaidah dar’ul mafasidi muqoddamun ala jalbil masholihi (mencegah kerusakan/kerugian diutamakan daripada mendatangkan keuntungan/kebaikan)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
2
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top