Tantri jingkrak-jingkrak. Kita mengingat Tantri-Kotak memegang mikrofon mengajak kita berteriak dan bergerak. Ia di jalur musik keras-berisik. Kita jangan ragu turut berteriak meski sulit menandingi Tantri. Ia berada di sambungan sejarah musik rock, setelah publik mengenali Nicky Astria dan Mel Shandy. Kini, pemberitaan Tantri di televisi, koran, dan majalah menampilkan perbedaan dengan masa lalu. Perempuan itu berjilbab. Orang-orang memuji keputusan Tantri. Kita anggap itu biasa saja asal Tantri tak berpikiran berdagang kerudung atau jilbab “rock islami”. Tantri jangan tergesa menjadi pendakwah dengan fasih mengucap kosakata dari bahasa Arab. Setel saja radio atau mendengar suara Tantri di gawai sambil mbengok–mbengok. Konon, berteriak menghindarkan kita dari ngelangut dan murung. Kini, Tantri berpuasa atau mengalami Ramadan tanpa ikut melantunkan lagu-lagu berpesan Islam. Di rumah, ia mungkin mendengarkan Ungu, Gigi, atau Noah.
Di majalah Pertiwi, 19 September-2 Oktober 1988, kita melihat dan membaca Nicky Astria. Di situ, kita membaca: “Bola matanya yang hitam kadang lebih ganas dibanding singa betina.” Ia itu kalem meski rocker. Ia mengakui kadang tampil urakan saat di panggung: “selaras dengan warna musik”. Predikat sebagai rocker sering mendapat kritik, terutama kostum. Nicky Astria pun ngomong: “Apa mau orang melihat saya menyanyi dengan berjilbab?” Kalimat itu terbukti saat ia menggelar konser di usia tua. Rocker dengan lagu-lagu terkenang itu mengenakan jilbab. Anggun. Pengakuan jangan terlewatkan: “Saya enggak pernah lupa shalat lho! Apalagi kalau mau mentas, pasti sembahyang dulu.”
Kita berganti tokoh. Perempuan itu bernama Melinda Susilarini. Ia pun bermazhab rock. Kaum masa 1990-an mengagumi dan memiliki nostalgia bersama lagu-lagu. Di panggung atau industri musik, perempuan itu moncer dengan nama Mel Shandy. Hal paling teringat khas: rambut. Mel Shandy tak berkerudung. Penampilan baku tentu mengenakan jaket kulit. “Penyanyi rock yang kini kondang, sekaligus rajin mengaji,” tulis di Tempo, 12 Oktober 1991. Mel Shandy rajin mengaji. Berita terpenting di peristiwa mengaji kitab suci. Penjelasan Mel Shandy saat masih berusia 20 tahun: “Kalau ngaji itu suara dari dalam dada ditarik melalui hidung, dan tidak asal menjerit. Kalau nge-rock, suara dari perut lalu dilepas begitu saja.” Pada saat ia mengajai, suara dibedakan dari teriak atau jeritan di panggung musik. Kita terlarang memfitnah Mel Shandy membaca kitab suci seperti nge-rock.
Pada suatu hari, ia pentas di Taman Ismail Marzuki. Mel Shandy mengenakan jins belel dan rambut awut-awutan. Si gadis pujaan sejuta lelaki itu mengawali pementasan dengan ucapan: “Assalamualaikum…” Ucapan itu bisa dijadikan bukti oleh para penggemar bahwa Mel Shandy adalah roker Islam. Duh, pemberian cap itu tak perlu. Di Tempo, wartawan bermata awas memberi deskripsi: “Di baju kaosnya tertulis huruf Arab pegon (gundul) berbunyi iman: Ibaratnya, kendati ada badai, iman tetap kukuh.” Ngerock itu penting, mengaji tak lupa. “Saya selalu menyempatkan mengaji, seminggu sekali.” Orang berlagak beriman tebal dan kental diharapkan tak cerewet dengan menuntut Mel Shandy wajib mengaji setiap hari atau usai shalat. Kita mengingatkan saja. Orang-orang gampang omong! Setiap bulan Ramadhan, kita pun memuji bila melihat artis-artis mulai mengenakan jilbab saat bersenandung lagu-lagu religius, berbeda penampilan dengan bulan-bulan lain. Kita jangan menuntut mereka selalu berjilbab bila Ramadan usai. Ikhlaskan mereka kembali bersenandung asmara, merasuk ke perasaan kita sedang patah hati atau dimabuk asmara. Begitu.