Sedang Membaca
Fikih Tanah-Air Indonesia (5): Tanah Hibah
M. Ishom el-Saha
Penulis Kolom

Dosen di Unusia, Jakarta. Menyelesaikan Alquran di Pesantren Krapyak Jogjakarta dan S3 di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Fikih Tanah-Air Indonesia (5): Tanah Hibah

Whatsapp Image 2020 03 17 At 8.13.38 Pm

Rasa senang, cinta, dan hormat seringkali mendorong seseorang untuk membagi miliknya secara cuma-cuma kepada pihak lain. Perbuatan ini secara umum disebut pemberian atau hibah. Secara hukum, hibah merupakan pemberian suatu benda (bergerak maupun tidak bergerak) untuk dimiliki secara cuma-cuma dari pihak penghibah kepada anak keturunannya maupun orang lain.

Dalam studi fiqh, ketentuan hibah berkaitan erat dengan pemberian di masa hidup penghibah. Sedangkan dalam hukum positif, hibah ada kalanya ditunaikan sesudah kematian penghibah, yang disebut wasiat hibah. Dari sudut ini ada sedikit perbedaan antara hukum fiqh dengan hukum positif yang patut dimengerti umat Islam pada khususnya. Karena dalam hukum fiqh, wasiat hibah cukup disebut wasiat saja.

Secara umum, umat Islam perlu memahami ketentuan hibah yang berlaku di Indonesia sebab ada perbedaan mendasar antara aturan fiqh dengan hukum yang diterapkan. Misalnya dalam fiqh tidak dibahas perbedaan antara hibah benda bergerak dengan benda tidak bergerak, dan ketentuan-ketentuan khusus penerima hibah. Sementara menurut hukum yang berlaku ada ketentuan yang membedakan antara benda bergerak dengan tidak bergerak, penerima hibah kategori keluarga dengan kategori orang lain.

Dalam kajian fiqh, harta hibah yang dikuasai dan dikelola oleh penerima hibah secara otomatis menjadi miliknya. Sekalipun ada pengecualian bahwa harta hibah yang telah dikuasai anak (selaku penerima hibah) masih boleh ditarik kembali orang tuanya (sebagai penghibah). Sementara dalam hukum yang berlaku di Indonesia, harta hibah terutama yang berwujud harta tak bergerak seperti tanah sebelum diserahankan dan dikuasai penerima hibah harus terlebih dahulu dicatatkan ke pihak notaris. Ketentuan hukum ini tentu berimbas pada masalah penarikan kembali harta hibah yang berbeda dengan ketentuan fiqh.

Baca juga:  Anak-Anak Kita: Perundungan, Kesenangan Semu, hingga Sogokan di Sekolah

Dalam fiqh, penarikan harta hibah dari seorang anak masih memungkinkan karena pertimbangan orang tua merasa kurang adil terhadap anak-anaknya yang lain. Sedangkan hukum di Indonesia hanya membolehkan penarikan kembali harta hibah dengan alasan khusus. Yaitu: (1) penerima hibah tidak memenuhi syarat-syarat dari penghibah; (2) penerima hibah melakukan atau membantu melakukan kejahatan yang mengancam nyawa penghibah; (3) penerima hibah tidak menyantuni penghibah yang jatuh miskin.

Problemnya ialah ketika pihak-pihak yang berkepentingan dengan harta hibah berpikir parsial. Dengan alasan telah lama menempati lahan pemberian orang tuanya, namun tidak ada surat autentiknya, sang anak menganggap harta hibah tidak dapat diotak-atik secara hukum negara. Begitu pun sebaliknya, orang tua atau saudara-saudaranya anak yang menerima hibah mengungkit dan menggugat tanah hibah yang telah dicatatkan notaris, dengan alasan menurut fiqh orang tua masih berhak menarik hibah.

Betapa penting kita pahami, bahwa substansi ketentuan kepemilikan tanah hibah adalah mempertahankan tanah sebagai aset yang eksklusif. Baik dalam ketentuan fiqh yang membolehkan orang tua menarik tanah yang sudah dihibahkan kepada anaknya maupun dalam hukum positif yang membolehkan penghibah menarik benda hibah dengan alasan khusus: Prinsipnya ialah pengelolaan tanah hibah harus difungsikan sebagaimana tujuan penghibah berikut keluarganya. Orang yang menghibahkan maupun yang menerima hibah tidak serta merta berkuasa penuh atas tanah hibah yang dipunyainya.

Baca juga:  Jika Musik Haram, Kata al-Ghazali, Maka Suara Burung Haram Pula

Dengan alasan itulah, dalam hukum Islam yang berlaku di Indonesia terdapat ketentuan batas maksimal hibah yang tak boleh melebihi 1/3 dari keseluruhan harta penghibah. Selain itu ada ketentuan bahwa hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan.

Pembatasan hibah maksimal 1/3 adalah produk hukum Islam khas Nusantara yang bertujuan untuk melindungi hak-hak ahli waris pada saat pembagian warisan. Apalagi dengan ketentuan hibah kepada anak yang dapat diperhitungkan sebagai warisan, tentunya hukum ini sejalan dengan upaya ekslusi tanah warisan untuk kepentingan mereka yang betul-betul berhak. Wallahu a’lam

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top