Sedang Membaca
Pemetik Puisi (13): Persembahan Kuntowijoyo, Makrifat Daun, Daun Makrifat
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Pemetik Puisi (13): Persembahan Kuntowijoyo, Makrifat Daun, Daun Makrifat

Warisan masih terbaca dari Kuntowijoyo berupa novel, buku puisi, buku agama, buku cerpen, buku sejarah, dan buku drama. Orang-orang masih membaca, mengulas, dan mengobrolkan. Sekian buku cetak ulang dengan tampilan berbeda. Penerbit pun bisa berbeda dari penerbit edisi awal. Kuntowijoyo memiliki kedudukan penting dalam kesusastraan di Indonesia. Ia fasih mengungkap religiositas, kejawaan, protes sosial, kesejarahan, dan lain-lain. Buku berpengaruh dalam arus kesusastraan religius persembahan Kuntowijoyo berjudul Makrifat Daun, Daun Makrifat. Buku puisi bernomor, mengantar pembaca pelan-pelan sampai makna terjauh.

Di pengantar buku, kita diberi pesan: “Sajak-sajak ini adalah serbuan dari langit. Akan tetapi, ia tidak menjadikan sastra terpencil. Lihatlah, ia juga berbicara tentang pemogokan, kalau yang dimaksud dengan kenyataan ialah penderitaan. Sajak-sajak ini adalah sebuah pemberontakan, pemberontakan metafisik terhadap materialisme. Pemberontakan dari jenis yang paling sederhana. Tidak melahirkan syuhada. Tidak bersuara, tapi menyeluruh. Beradab dan mulia.” Pengantar kadang menuntun kita membaca secara benar. Pembaca kadang melewati tanpa merasa ada kewajiban paham pengantar.

Kita bergerak dengan petikan: Duka itu doa/ Doa itu iman/ Iman itu kebenaran/ Kebenaran itu sayap awan/ yang mengabarkan kebun bunga/ selagi engkau menunggu hari yang membeku/ seolah tidak ada tangan gaib/ Yang jari-jemarinya selalu merangkaimu/ Dan tak pernah melepaskan tanggung jawab/ Percayalah. Tema dalam bait (terlalu) besar. Kita mengawali dengan empat pengertian. Penggunaan “itu” dalam pengertian memberi kadar seruan dari Kuntowijoyo. Berseru untuk orang-orang sudah mengerti, enggan mengerti, atau belum mengerti. Seruan bergerak dengan lambang-lambang. Si penggubah puisi mengerti tasawuf, peka situasi abad XX atas posisi manusia dalam beragama.

Baca juga:  Setengah Abad Definisi Pesantren ala Zamakhsyari Dhofier, Sebuah Refleksi

Kalangan kota atau kaum mengecap modern memiliki kerinduan religius. Mereka mendapat segala hal, menikmati kebaruan-kebaruan, menjadikan kemanjaan adalah utama. Capaian-capaian abad XX justru memberi peringatan atas “pelupaan” dan kehilangan. Di kalangan pemikir dan sufi, kondisi itu lazim terbahasakan sebagai kenestapaan, keterpencilan, keterasingan, keterpurukan, dan lain-lain. Modernitas mengganas tapi memberi kejatuhan bagi manusia. Hal-hal baru menjadi perlambang saat orang-orang merindu khazanah lambang lawasan. Ahli waris lambang mungkin menjadikan masa lalu “menetap” dalam mengungkap religiositas ketimbang lambang-lambang baru: ringkih, sekejap, dan pudar.

Kita mengutip lagi: Di sini/ kata akhir daun yang gugur/ tidak lagi mendapat pengesahan/ dan pergi bagai bayang samar/ Kecuali engkau/ karena ruhmu telah disucikan dengan nafas-Nya// Tidak akan/ tidak akan. Di situ, terbaca “pengembalian” perkara dan peristiwa telah diakui tradisi dalam laku-religius. Pembahasan mengenai kasat mata dan batin bergantian memiliki tanda-pembatasan. Kuntowijoyo seperti sedang “menurunkan” pengajaran-pengajaran sufistik. Kita membaca dalam ketersediaan lambang, tak kurang atau berlebihan. Beriman terpengaruhi penerimaan dan penafsiran lambang-lambang.

Kuntowijoyo tak ngotot menuliskan ungkapan-ungkapan keislaman dalam puisi. Pembaca maklum bahwa beriman dengan sodoran ungkapan berterima umum mungkin memberi keterbukaan memasuki tafsir-tafsir beragam. Pintu tak satu. Kita simak: Menyambut pagi/ adalah kerja mulia bagi pemabuk/ yang cinta kepada sepi/ yang memandang dunia/ dengan mata malaikat/ Dan tak pernah lupa/ menafsirkan tanda-tanda/ Kadang-kadang sebutir kebijaksanaan/ puncak pengetahuan/ keluar dari rahimnya/ menghiasi matahari. Pembaca diminta menghindar dari pemberian ketetapan-ketetapan mutlak. Sekian hal bisa diragukan atau diterima bila ketakjuban. Di tatapan mata, orang lazim dimengerti “buruk” justru berhak tampil dalam kebijaksanaan.

Baca juga:  Moderasi Beragama yang Pincang

Kesabaran membaca puisi-puisi tersaji bernomor mengartikan berjalan pelan-pelan. Puisi itu kadang penjelasan tapi kita telah menerima di alur kebijaksanaan. Kita membaca puisi sambil mendaftar “kecuali-kecuali” dari kebiasaan telah lama termiliki meski bisa “mrucut”. Kita membaca dalam “menatap” dan”merasakan” demi sampai pengertian-pengertian mengacu iman. Begitu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top