Sedang Membaca
Kitab As-Sanatir: Sukses Santri Dimulai dari Patah Hati
Avatar
Penulis Kolom

Kadang guru ngaji, kadang penulis, pegiat sepak bola, santri Lirboyo asal Bangkalan.

Kitab As-Sanatir: Sukses Santri Dimulai dari Patah Hati

Kitab As-Sanatir: Sukses Santri Dimulai dari Patah Hati

Menjadi sukses adalah dambaan semua insan. Darinya, saya merenung bagaimana caranya saya bisa sukses. Alih-alih membaca buku panduan seperti Kiat Menuju Sukses, Sukses di Masa Tua, dan buku-buku yang lain yang seirama, saya malah tertarik membaca kitab as-Sanatir.

Kata orang, kitab tipis gubahan santri Lirboyo itu menyuguhkan cerita-cerita inspiratif santri dalam pelbagai hal. Dan benar, renungan saya pada malam sunyi itu menjadi pecah tatkala saya memulai rangkaian lamunan.

Terdapat bab yang menurut saya apik bernuansa romantisme pesantren. Judul bab itu: “Semangat Mencari Ilmu Setelah Patah Hati”. Cerita-ceritanya menarik. Ada tiga cerita dalam bab itu. Pertama, tentang Habib Muhammad yang ditolak lamarannya yang kemudian memilih mondok. Kedua, perihal Syaikh Zakariya al-Anshari yang selalu diejek semasa mondok di Al-Azhar. Saya langsung ceritakan kisah ketiga saja. Ceritanya begini:

***“Cerita Ketiga”***

Syaikh Ibnu Ghozi dalam kitabnya pernah menceritakan ihwal Imam Ibnu ‘Arafah. Kata beliau, Ibnu ‘Arafah, semasa mondok, suhu badannya selalu panas. Sebab penyakitnya, nyawanya hampir pernah lenyap.

Suatu ketika berobat, ketua kedokteran memberikan kabar sangat pilu. Katanya organ hati Ibnu ‘Arafah sudah keluar dari selaputnya. Wajar ia sangat lemas. Hatinya lemah seperti hati bayi. Tak ada lagi obat yang bisa dikonsumsi kecuali apa yang bisa dikonsumsi oleh bayi.

Syarat dan panduan dokter waktu itu cukup aneh. Ibnu ‘Arafah jika ingin lekas sembuh dari penyakitnya harus mengkonsumsi susu lewat puting pemilik susu langsung.

Ada tiga opsi obat yang ditawarkan dokter. Pertama susu unta, kedua air susu ibu (ASI), terakhir susu kambing. Ibnu ‘Arafah menolak dua susu—susu unta dan kambing. Susu unta karena beliau ingin menghindari khilaf ulama’, susu kambing karena itu opsi terakhir. Jadilah beliau memilih susu seorang perempuan.

Baca juga:  Sabilus Salikin (88): Khalwat Tarekat Suhrawardiyah

Dokter kembali memberi arahan bahwa susu wanita yang paling ampuh menyembuhkan penyakit yang diderita adalah susu perempuan yang warna kulitnya coklat (tidak putih-putih amat dan ya gak hitam juga) arahan selanjutnya perempuan berwarna kulit coklat itu harus sering memakan daging.

Akhirnya Ibnu ‘Arafah menyewa empat perempuan tukang daging dan menyusu kepada empat perempuan itu. Kegiatan itu jelas ditolerir, walau empat wanita itu bukan mahram, namun dalam kondisi darurat seperti itu, maka praktik demikian pasti diperbolehkan.

Setelah lama beliau menderita penyakit hati tersebut. Allah angkat penyakitnya dan beliau sembuh via susu empat perempuan. Tak hanya sembuh, selepas mondok, ia menjadi Imam di Tunisia. Beliau termasuk fuqaha’ madzhab Malikiyyah.

***

Kok saya pilu membaca cerita ketiga ini. Bagaimana tidak, banyak santri -dan mungkin saya juga- yang berpura-pura sakit ketika menimba ilmu, padahal orang tua di rumah pura-pura sehat demi anak tercinta di pondok. Hati saya lemas membayangkan orang tua di rumah. Semoga saja tidak mengecewakan.

Dari tiga cerita kitab asSanatir itu saya menarik kesimpulan bahwa tidak ada orang sukses yang tidak pernah sakit hati, bahwa derajat tinggi dilewati dengan susah payah bukan bersantai-santai. Seketika terngiang pameo “santri itu hina saat mencari, mulia saat dicari”.

Baca juga:  Sabilus Salikin (116): Zikir dan Doa Tarekat Alawiyah

Rasanya sejarah memang selalu diulang-ulang. Tiga cerita di dalam kitab as-Sanatir diam-diam terekam pada ratusan atau malah ribuan tahun setelahnya. Memang kita ini adalah pengalihan sejarah, hanya beda konteks, posisi, dan porsi saja, ceritanya pasti tidak jauh berbeda.

Di Lirboyo sendiri, konon pendirian Madrasah Hidayatul Mubtadiin tidak luput dari ejekan. Salah satu ejekan adalah ketika guru madrasah akan berangkat mengajar, santri-santri akan menggelarkan sajadah mereka dan tertunduk rapi seraya bersiap mencium tangan para pengajar madrasah sambil berkata, “nyuwun barokah, Yai.”

Ini bukanlah pujian, melainkan ejekan dan sindiran tersendiri yang dilontarkan oleh para santri. Mereka memang berkata ‘nyuwun barokah, Yai’ dan mencium tangan, tetapi itu bukan karena hormat yang tulus. Melainkan sindiran—sebuah parodi simbolik terhadap guru-guru madrasah yang waktu itu dipandang sebelah mata.

Aka tetapi para pendiri madrasah sangat bermental baja. Mereka tidak terbawa dalam pujian ataupun jatuh dalam celaan. Selain itu, mereka juga disupport dan disemangati oleh para dzurriyah dengan menjelaskan manfaat besar yang akan diperoleh dengan mendirikan madrasah.

Pemangku Lirboyo juga tidak bersantai-santai dalam menuntun ilmu, konon Mbah Yai Manab -nama kecil K.H. Abdul Karim- merendam diri karena hanya mempunyai satu pakaian saja sembari ngelalar Alfiyyah Ibnu Malik. Beliau juga pernah pingsan di tengah-tengah pembelajaran di pondok, Bangkalan. Beliau tidak terlepas dari kesahajaan dan kekurangan dalam menuntut ilmu.

Baca juga:  Inikah Manuskrip Pegon Tertua di Dunia?

Namun apa yang terjadi di berbagai cerita santri. Santri memang selalu sederhana, namun santri pada akhirnya menjadi sukses. Tidak bisa dibayangkan jika Yai Manab tidak bersahaja ketika mondok. Mungkin Lirboyo tidak akan seramai ini pondoknya. Tidak bisa dibayangkan Syaikh Zakaria al-Anshori jika tidak dapat cercaan, Mungkin Asna al-Matholib tidak mungkin tercipta. Dan tidak bisa dibayangkan jika kita tidak pernah susah payah di pondok, apa jadinya kita ketika berhenti mondok?.

Sebelumnya, ini ada dua bait untuk kita semua:

تمنيت ان تمسي فقيها مناظرا * بغير عناء والجنون فنون

وليس اكتساب المال دون مشقة * تحملها فالعلم كيف يكون

Engkau mengharap diri menjadi ahli fikih namun tidak ingin bersusah payah. Orang gila itu banyak macamnya, kawan. Tidaklah mencari harta itu kesulitan. Lantas ilmu apalagi.”

Saya kok tiba-tiba ingat ayat al-Qur’an yang berbunyi:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ

“Kami (Allah) pasti akan mengujimu dengan sedikit ketakutan dan kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Sampaikanlah (wahai Nabi Muhammad,) kabar gembira kepada orang-orang sabar.”

Ketika mengitari teman-teman dan bercengkerama, sungguh saya mendapatkan banyak sekali curhatan bahwa di antara mereka ada yang belum makan, sandalnya hilang, belum dapat kiriman, ekonomi rumah jatuh, keluarga pergi untuk selamanya, ditinggal mahbubah, dan kehilangan kartu kos makan. Sembari mendengarkan curhatan para santri yang patah hati, saya selalu berdoa: semoga kita semua sama-sama sukses, ya kawan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top