Avatar
Penulis Kolom

Dosen Prodi Studi Agama-Agama Fakultas Ushluddin dan Humaniora UIN Walisongo Semarang.

Hikayat Walisongo (9): Dakwah Moderat Sunan Muria melalui Kesenian dan Kearifan Lokal

Whatsapp Image 2021 04 06 At 19.07.00

Raden Umar Said atau yang dikenal Sunan Muria merupakan salah satu anggota Walisongo yang memiliki peran penting dalam penyebaran agama Islam di utara Jawa, khususnya di daerah Kudus, Pati dan sekitarnya, terutama pedalaman pegunungan Muria. Saat itu, mayoritas penduduknya memeluk agama Hindu-Buddha sehingga dalam penyebaran ajaran Islam memiliki tantangan dan juga strategi khusus bagi sunan Muria.

Secara historis, setidaknya ada dua versi silsilah Sunan Muria. Pertama, Sunan Muria merupakan putra Sunan Kalijaga melalui pernikahannya dengan Dewi Saroh, yang merupakan putri Syaikh Maulana Ishak, seorang ulama termasyhur dari daratan Samudra Pasai Aceh. Nama kecil Sunan Muria adalah Sunan Prawoto. Selain itu, beliau juga sering dipanggil Raden Umar Said atau Raden Umar Syahid.

Menginjak dewasa, Sunan Muria menikah dengan Dewi Soejinah putri dari Raden Usman Haji (Sunan Ngudung). Sunan Ngudung merupakan putra dari Sultan di Mesir yang melakukan pengembaraan hingga ke tanah Jawa. Menurut versi ini, Sunan Muria memiliki kekerabatan dengan Ja’far Shadiq atau yang dikenal Sunan Kudus yakni saudara ipar, karena Dewi Soejinah adalah adik dari Sunan Kudus.

Versi kedua, disebutkan bahwa Sunan Muria adalah putra Sunan Ngudung dari istri yang bernama Dewi Sarifah. Putra Sunan Ngudung lainnya adalah Sunan Giri II, Sunan Kudus, dan Sunan Giri III. Menurut versi ini, Sunan Muria adalah keponakan jauh dari Sunan Kalijaga. Hal ini bisa dilihat dari silsilah Sunan Kalijaga yang merupakan putra Temunggung Wilatikta, Putra Ario Tejo II, Putra Raden Penanggungan. Sedangkan Sunan Ngudung adalah putra Dewi Maduretno, Putra Raden Baribin, Putra Raden Penanggungan.

Baca juga:  Ulama Banjar (28): KH. Juhri Sulaiman

Meneladani Metode Dakwah Moderat Sunan Muria

Dalam berdakawah, Sunan Muria lebih senang di daerah pedalaman yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Konon beliau tinggal di salah satu puncak gunung Muria yakni desa Colo, sekitar 18 KM dari pusat kota Kudus. Dari nama gunung itulah beliau dijuluki “Sunan Muria”. Selain itu, beliau juga suka menyendiri dan bergaul dengan rakyat jelata dibandingkan dengan kaum bangsawan (Maryanto, 2003).

Sosok Sunan Muria dikenal memiliki kepribadian sakti serta kuat. Beliau juga sering berperan sebagai penengah (mediator) konflik di Kesultanan Demak Bintoro (1518-1530), bahkan dikenal sebagai pribadi yang mampu menyelesaikan masalah yang rumit sekalipun. Resolusi yang diterapkannya pun selalu bisa diterima oleh pihak yang berseteru.

Tidak hanya itu, Sunan Muria juga terkenal memiliki kepiawaian dan cara berdakwah yang unik. Berikut ini beberapa metode dakwah moderat yang bisa kita teladani dalam kehidupan sehari-hari.

Pertama, Tapa Ngeli, yakni “menganyutkan diri” dalam masyarakat. Agar bisa berbaur dengan masyarakat sekitar pegunungan tersebut, Sunan Muria mengajarkan berbagai keterampilan cara bercocok tanam, berdagang hingga melaut. Dengan cara ini, Sunan Muria lebih mudah menyampaikan ajaran-ajaran Islam kepada mereka. Hikmah yang bisa dipetik, bahwa ketika ketia bergaul dengan siapa pun tanpa memandang jabatan, kepangkatan, maupun kedudukan seseorang.

Kedua, berdakwah melalui kesenian gamelan dan wayang kulit. Dengan mempertahankan alat musik seperti gamelan dan juga wayang sebagai media dakwah, beliau tidak mengubah budaya yang ada, namun memasukkan nilai dan ajaran Islam di dalamnya. Seperti mengubah karakter pewayangan dengan pesan-pesan Islam, kisah Jimat Kalimasada, Dewa Ruci, Petruk dadi Ratu, dan lain sebagainya.

Baca juga:  Mengenang Mooryati Soedibyo dan Joko Pinurbo: Rumah dan Kecantikan

Ketiga, melalui tembang Jawa. Karya yang termasyhur dari Sunan Muria adalah tembang macapat, Sinom dan Kinanthi. Melalui tembang, masyarakat lebih mudah menerima serta mampu mengingat ajaran Islam yang terkandung di dalamnya untuk bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Keempat, akulturasi budaya. Sunan Muria dalam proses dakwah menggunakan metode dakwah bil hikmah, yakni dengan cara arif bijakasana dan tidak memaksa. Artinya, meskipun dakwah beliau diterima dengan baik oleh masayarakat, tentu dalam proses dakwah beliau juga mendapati tantangan dan hambatan. Hal itu dikarenakan masyarakat pegunungan Muria kala itu masih menganut kepercayaan yang sulit diubah.

Dalam menyikapi hal itu, Sunan Muria mengikuti jejak langkah sang Ayah dengan gaya moderat (tengah-tengah), yang tidak mengharamkan tradisi peringatan telung dino (tiga hari) hingga sewu dino (seribu hari) untuk memperingati hari kemtian anggota keluarga. Hal ini yang bisa kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari, yakni berislam secara moderat dan tidak kaku (rigid).

Kelima, rawat bumi. Berbekal ilmu pengetahuan yang luas dan mumpuni, Sunan Muria dalam mendakwahkan ajaran Islam tidak hanya persoalan ibadah saja, tetapi juga mengajarkan bagaimana cara merawat bumi. Beliau menekankan bahwa manusia diciptakan di bumi ini sebagai pemimpin di muka bumi (khalifatul fil ardhi), yang di anntaranya adalah mengelola alam, maka dimaknai juga sebagai ibadah. Perlu dipahami, khalifah di sini berarti pemimpin, bukan penguasa. Artinya, tugas manusia adalah mengelola alam secara arif dan bijaksana, bukan mengeksploitasi secara serampangan.

Sunan Muria mencontohkan masyarakat sekitar bahwa ketika bercocok tanam, bertani harus mengedepankan sisi humanis (kemanusiaan), sehingga tidak serakah dengan memusnahkan kehidupan makhluk hidup lainnya. Selain itu, mitos tumbuhan Pakis Haji yang dipercaya mampu mengusir hama tikus, secara spiritual-mistik yang bernuansa teologis-kosmologis, sebagai bukti karamah yang diberikan Allah kepada Sunan Muria.

Baca juga:  Ulama Banjar (68): KH. Dja’far Saberan

Keenam, mitos Parijoto. Buah Parijoto nama latin Medinila Speciosa, buah yang banyak ditemukan di daerah gunung Muria Kudus Jawa Tengah. Buah ini sangat terkenal di kalangan masyarakat Kudus dan sekitarnya karena dipercaya dapat meningkatkan kesuburan hormonal pada wanita sampai menjaga fisik janin di dalam kandungan. Buah ini menyimpan kiasan makna atas apa yang disebutkan oleh Nabi Muhammad SAW berupa jintan hitam dan madu lebah (QS. An-Nahl: 68-89). Bagi Sunan Muria, Parijoto memiliki kemiripan dengan keduanya dalam hal kandungan gizi dan kesehatan. Di antara ketiganya tidak sekedar perintah intifa’ (konsumtif), tetapi sarat juga anjuran untuk melestarikannya.

Ketujuh, pagar mangkuk. Selum pandemi Covid-19 menyerang Indonesia pada awal Maret tahun 2020, konsep jogo tonggo (menjaga tetangga) yang diterapkan oleh pemerintah Jawa Tengah, sebenarnya terlebih dahulu mengakar sebagai budaya laku yang diajarkan oleh Sunan Muria. Filosofi ajaran Sunan Muria, “Pagarono Omahmu Kanti Mangkuk” (Pagarilah Rumahmu dengan Mangkuk). Maksudnya adalah masyarakat pegunungan Muria sejak dulu telah diajarkan agar ringan tangan dalam membantu siapa pun, terutama tetangga terdekat.

Ajaran ini tidak hanya bisa menguatkan solidaritas secara lahiriah tetapi juga batiniah. Dikarenakan laku pagar mangkuk ini memberikan nilai positif agar masyarakat bisa hidup rukun dan tepa selira (tenggang rasa) tanpa terkecuali. Wallahua’alam..

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top