Kota Ponorogo merupakan salah satu Kabupaten di Jawa Timur yang secara geografis diapit dua gunung, yaitu pada sisi barat ada Gunung Lawu dan sisi timur Gunung Wilis. Pada masa kerajaan Majapahit masih eksis, kota Ponorogo masuk dalam wilayah Wengker. Wengker berasal dari kata wewengkon kang anggker (tempat yang angker). Sesuai namanya, tempat ini dulu diyakini sebagai tempat yang sangat anggker, pada masa Wengker ini tari fenomenal Reog diciptakan dan menjadi ikon kota Ponorogo sampai sekarang ini.
Selain menjadi ikon sebagai Kota Reog, Ponorogo juga merupakan “Kota Santri”. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana tradisi masyarakatnya mencintai junjunganya, yaitu kanjeng Nabi Muhammad Saw. Tiap kultur mempunyai cara yang berbeda demi memulikan Nabi. Alquran memberikan pernyataan yang terang ihwal perintah bagi umat Islam untuk berselawat. Ulama pun hampir sepakat bahwa mengakui dan mengagungkan kanjeng Nabi adalah wajib. Masyarakat Ponorogo mengimplementasikan hal itu melalui sebuah tradisi yang sangat unik yaitu Selawat Zamzani.
Selawat Zamzani berisikan pujian atau selawat kepada kanjeng Nabi Muhammad SAW. Tradisi selawat ini dilantunkan oleh beberapa orang dan diiringi oleh musik berupa rebana besar dan gendang. Pelantunan selawat ini sangat khas, suaranya saling bersaut-sautan, terkadang pelan terkadang kencang.
Syair Arab yang dilantunkan nyaris tidak bisa dikenali sebagai bahasa Arab (tidak fashih) karena cengkok pelafalannya mendayu mirip gending jawa. Walau demikian, Selawat Zamzani tetap dapat menciptakan dzauq (cita rasa) bagi yang melantunkan maupun yang mendengarkan.
Selawat ini konon diciptakan oleh Kiai Zamzani, beliau masih keturunan Kiai Ageng Muhammad Hasan Besari, ulama masyhur pendiri Pondok Pesantren Gebang Tinatar Tegalsari Ponorogo sekira abad 18-19, salah satu pesantren tertua di Jawa yang melahirkan tokoh-tokoh penting sekaligis guru bangsa, seperti pujangga tanah Jawa yang masyhur Raden Ngabehi Ronggowarsito alias Bagus Burhan, tokoh pergerakan Nasional H.O.S. Cokro aminoto, Paku Buwana II atau Sunan Kumbul, penguasa Kerajaan Kartasura, adalah deretan alumni Pesantren Gebang Tinatar Tegalsari.
Dari Gebang Tinatar inilah, dulu Selawat Zamzani menyebar ke seluruh Ponorogo baik di pelosok perdesaan maupun keramaian kota, dan mengakar menjadi sebuah tradisi yang apik di masyarakat Ponorogo. Acara tujuh bulanan bayi (mitoni), akikah, acar pernikahan, tujuh bulanan mengandung (tingkepan), dan memperingati hari besar Islam, semisal maulid Nabi, tahun baru hijrah dan hari-hari besar lain belum afdal kalau belum dilantunkan Selawat Zamzani.
Akan tetapi, saat ini dengan perkembangan teknologi komunikasi semakin cangging, tradisi melantunkan Selawat Zamzani semakin luntur dan kurang diminati oleh masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini disebabkan karena banyaknya alternatif tawaran hiburan dan informasi beragam, yang mungkin lebih menarik jika dibandingkan dengan Selawat Zamzani.
Memang bagi generasi muda yang belum menguasai budayanya sendiri, sementara sudah harus berhadapan dengan pengaruh berbagai budaya asing sebagai dampak dari canggihnya teknologi informasi, maka mereka akan mengalami kebingungan. Akibatnya, dengan mudah seseorang (utamanya generasi muda) akan mengalami peristiwa ketercerabutan budaya sehingga mereka tidak meminati budayanya sendiri.
Di balik semakin redupnya Selawat Zamzani di tengah-tengah masyarakat Ponorogo, semoga masih ada segelintir masyarakat yang melanggengkan untuk memunculkan cita rasa Selawat Zamzani sekaligus menjadi alternatif sebagai washilah (perantara) mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.