Kemarin, tepatnya 8 Juni entah kita mengetahui atupun tidak ternyata diperingati sebagai Hari Laut Dunia. Hari yang sejatinya penting bagi bangsa kita yang besar ini. Sebab secara geografis dan kebudayaan ternyata kita sudah mengingkarinya sebagai jatidiri dan memilih—Ignorant– sebagai bangsa agraris, tanpa maksud membuat segregasi.
Padahal kredo agraris nyata hanya reproduksi politis di zaman kerajaan Mataram sebab mereka tak punya armada berikut pasukan militer laut yang kuat. Pada akhirnya elit politiknya menciptakan delusi tokoh fiksional nan superpower seperti Nyi Roro Kidul praktis selama beberapa abad kemaritiman bangsa ini dikendalikan penjajah. (Toer, 2010)
Periode sebelumnya mudah kita ketahui bahwa kerajaan Nusantara bisa besar sebab kedekatan secara kebudayaan mereka dengan laut. Oleh karenanya tak heran jika memiliki armada, pelabuhan berikut militer kelautan yang kuat. Sebut saja kerajaan Sriwijaya dan Majapahit juga kerajaan-kerajaan islam di Maluku dan Sulawesi setelahnya.
Jatidiri kelautan atau kemaritiman ini amat lama terkubur dalam alam bawah sadar manusia Indonesia alih-alih menyadarinya sebagai potensi ekonomi-politik. Hal ini kian diperparah pada masa orde baru yang didominasi kebijakan bahwa hanya daratan sebagai orientasi pembangunan dan laut hanya obyek eksploitasi ugal-ugalan, itupun dikerjakan perusahaan asing. Hingga sesampainya ketika Gus Dur menjabat presiden.
Gus Dur kala itu menerbitkan beberapa kebijakan yang menjadi pijakan pembangunan kemaritiman Indonesia yang sudah sekian lama tak disadari. Salah satunya adalah keluarnya Kepres No. 355/M tahun 1999 yang berisi pembentukan Departemen Eksplorasi Laut yang pada akhirnya menjadi Kementrian Kelautan seperti yang kita ketahui hari ini. (Kepresidenan, 2018)
Dalam perspektif kebudayaan paling tidak kebijakan Gus Dur menjadi legitimasi masyarakat kala itu kembali menengok laut sebagai sebuah horison yang hidup dan bernilai. artinya, rantai kesadaran maritim kembali tersambung. Lebih dari itu bahwa kemudian kebijakan Gus Dur ini tidak hanya pada pemanfaatan pengelolaan laut namun juga mendorong penguatan nelayan yang jelas menjadi figur mustadh’afin selain figur petani di negeri kita.
Sebagai figur yang tak hentinya ditafsirkan tak pelak reaktualisasi berikut kontekstualisasi dari pemikiran dan kebijakan Gus Dur menjadi niscaya. Bagaimana mungkin sosok yang menjadi bidan pemikiran kritis justru dimonumenkan bahkan didogmakan elan vitalnya. Lebih sering disebut-sebut dalam forum sebagai bapak bangsa namun nihil reproduksi tafsir atasnya dalam tingkah kongkrit.
Lalu bagaimana sebaiknya kita melanjutkan pemikiran Gus Dur menyoal kemaritiman bangsa ini? Paling tidak, kita harus beranjak dari kredo kebanggaan atas figur besarnya menuju pembacaan baru kemudian mengkontekstualisasikan dengan realitas kita hari ini, dan mungkin di sini lah letak kesulitannya.
Lagi-lagi jauh panggang dari api, ternyata ada problematika yang kian mengemuka sebab kesadaran tersebut ternyata terlambat datangnya. Nampak laut dalam dasawarsa ini, yang sudah mulai kita sadari, ternyata mulai terancam dengan kerusakan-kerusakan ekstreem yang berarti juga mengancam kehidupan kita.
fenomena ini lahir dari akumulasi model pembangunan kita yang mengarus kapitalisme pasar sehingga bumi (termasuk laut) hanyalah obyek dari pembangunan atau dalam dalam bahasa fred Magdoff sebagai aspek “yang tak terkalkulasi” dalam rantai akumulasi keuntungan kapital dan politik pertumbuhan ekonomi. (Fred Magdoff, 2018)
Efek dari pilihan ekonomi politik inilah yang menjadi penyebab laut kita sebagai muara limbah industri, tambang, dan juga sampah plastik. Bahkan jika dikalkulasi maka setiap penduduk Indonesia bertanggungjawab atas 17.2 kg sampah yang ada di lautan. (Putri, 2021)
Hari ini kita lihat pesisir utara pulau Jawa sering terjadi banjir rob, pendapatan nelayan yang berkurang drastis, air laut mengandung paracetamol, petani garam merugi, tambak-tambak jebol, lahan pertanian terendam, dlsb. Singkatnya, krisis laut ini memiskinkan dan menyengsarakan kehidupan.
Krisis inilah yang mengindikasikan perlunya reproduksi tafsir-tafsir pemikiran politik, kebudayaan, atau kebangsaannya. Gus Dur niscaya harus dilihat lebih holistik bukan hanya dalam dimensi kebangsaan untuk pluralisme saja, misal. Atau hanya sebagai cendekiawan muslim yang kritis namun getol membela tradisi, lebih dari itu tafsir pilihan politiknya harus juga direproduksi dalam iklim intelektual kaum muda Nahdliyyin hari ini.
Apa Sebab? Di satu sisi agar pemikiran berikut kiprah Gus Dur tidak membeku sebagai prasasti yang hanya di elu-elukan tanpa transmisi kongkrit dalam gerakan. Dan di sisi lain ketika nilai yang diwariskan Gus Dur diimplementasikan dalam gerakan kongkrit, Gus Dur tidak lagi menjadi aspirasi abstrak khas politikus culas yang hanya menjadikannya untuk mendulang suara.
Sumber bacaan:
Fred Magdoff, J. B. (2018). Lingkungan Hidup Dan Kapitalisme. Tangerang Selatan: Marjin Kiri.
Kepresidenan, M. (2018, September 09). Abdurrahman Wahid dan Kejayaan Maritim. Retrieved from kebudayaan.kemdikbud: http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/muspres/abdurrahman-wahid-dan-kejayaan-maritim/
Putri, N. (2021, 06 28). Kerusakan Ekosistem Laut di Indonesia: Siapa yang Dirugikan? Retrieved from Kumparan: https://kumparan.com/nanda-putri-indra-rizkya/kerusakan-ekosistem-laut-di-indonesia-siapa-yang-dirugikan-1w1odXTVfTD
Toer, P. A. (2010, 08 28). Maaf Atas Nama Pengalaman. Retrieved from Arusbawah20: https://arusbawah20.wordpress.com/