Kehadiran buku berjudul Santapan Selera (2016) lahir dari pemikiran perempuan. Perempuan itu bernama Qibtiyatul Maisaroh. Tulisan-tulisan di buku Santapan Selera merupakan bentuk dokumentasi sinau esai yang pernah terjadi di Solo.
Tulisan-tulisan itu juga pernah tampil di beberapa media cetak seperti: Solopos, Republika, Radar Banyuwangi, dan Lampung Pos. Sejak kuliah di IAIN Surakarta, Qibti aktif diskusi di masjid Al-Bukhori (masjid kampus), pengajian (nulis) selasa siang, dan Bilik Literasi. Keaktifan tadarus buku setiap kamis, membaca koran, dan menulis, menghasilkan catatan-catatan penting tentang buku, ekologi, persoalan bahasa, film India, dan toleransi agama.
Tema-tema inilah yang berhasil Qibti tuliskan di buku-buku sebagai kerja keaksaraan. Di buku Santapan Selera (2016) misalnya, Qibti mengajak kita untuk memikirkan ekologi: sungai, hewan, tumbuhan, dan, hutan. Sejak sistem kapitalisme berkuasa di Indonesia, orang-orang sering melupakan kerusakan alam akibat krisis kesadaran sosial terhadap lingkungan. Kaum oligarki dan masyarakat kelas menengah sering menimbulkan persoalan lingkungan seperti pembukaan lahan hutan, melimpahnya limbah pabrik dan limbah domestik yang terbuang sembarangan. Persoalan itu mengakibatkan pencemaran lingkungan dengan menumpuknya sampah dan limbah di sungai.
Selain menjelaskan kerusakan alam, tulisan Qibti juga turut mengajak pembaca untuk memikirkan fenomena-fenomena sosial yang berkembang. Selain menulis esai mempermasalahkan isu lingkungan, Qibti juga konsen dalam memberikan penjelasan tentang kaitan buku dan hewan. Esai berjudul Buku adalah Kebun Binatang ingin memahamkan kepada para pembaca bahwa keluarga Indonesia kini mulai tidak mengenal binatang dengan cara berbuku. Masyarakat seakan kehilangan kepercayaan bahwa buku juga dapat merepresentasi imajinasi binatang pada anak sebagai bahan pembelajaran. Namun, orang-orang lebih memilih untuk mengunjungi langsung di kebun binatang sembari liburan ketimbang mempelajari hewan lewat buku-buku anak terlebih dahulu.
Qibti tekun mengumpulkan beberapa buku bacaan anak di masa Orde Baru untuk menerangkan bahwa buku anak juga kebun binatang. Buku Kuda dan Kerbau gubahan Marcus A.S (1977), Upah Kejahatan gubahan Anton Adwijoyo (1976), dan Kami Keluarga Burung (1984) gubahan Abdul Ghofur menjadi bukti dan referensi. Bahwa buku anak di masa Orde Baru tidak sekedar menampilkan gambar tapi juga menjelaskan beragam kegunaan-kegunaan hewan dalam hal pertanian dan pendidikan. Tugas membajak sawah dengan kerbau di masa lalu menjadi hal yang lumrah dilakukan petani untuk menggarap sawahnya.
Di masa Orde Baru buku anak juga banyak menampilkan tokoh hewan untuk mengajarkan pendidikan moral. Hewan-hewan sering memiliki karakter ketokohan yang berbeda-beda untuk menjelaskan perilaku dan pesan moral. Sikap dan perilaku hewan dalam dialog memiliki karakter antagonis maupun protagonis sebagai penggambaran alur cerita yang ingin dibangun. Cerita-cerita ini, Qibti hadirkan sebagai bahan pengetahuan untuk mengajarkan pada keluarga Indonesia pentingnya mempelajari buku anak supaya tidak hanya sekedar mempelajari binatang dengan liburan ke kebun binatang!
Menyoalkan Bahasa
Tulisan Qibti tidak hanya berkaitan tentang lingkungan, anak, dan hewan. Ia juga pernah mempermasalahkan fenomena bahasa Indonesia yang digunakan generasi millenials namun tidak sesuai dengan tata bahasa baku bahasa Indonesia. Di buku Penimba Bahasa (2018) merupakan buku kumpulan tulisan Qibtiyatul Maisaroh dkk dari hasil lomba bulan bahasa 2018 di Universitas Sebelas Maret Solo. Qibti menulis Rumah Kata Indonesia: Ruang Publik Baru dan Forum Kamus Indonesia Raya.
“Bahasa Indonesia mengalami inflasi di internet, kata sebagian orang. Tiap kali ada aplikasi baru, atau laman media sosial baru, kamera digital baru, dan seterusnya dan seterusnya selalu saja ada dan berkerumun istilah-istilah baru. Tak ada pakar bahasa yang bisa cepat memberikan solusi adaptif terhadap kata-kata baru ini. Malah, warga dunia maya dengan cepat mengambil atau menciptakan sendiri istilah mereka. Penggunaan bahasa Indonesia yang sesuai dengan kaidah kebahasaan dianggap tidak relevan, terlalu lama, dan lagian ngapain juga harus membuat otoritas bahasa di media sosial.”
Perubahan berbahasa ini pernah terjadi pada 1980-an. Qibti membagi tipologi perkembangan bahasa dengan memaknainya bahasa kultur dan non kultur. Ia mengutip tulisan Untung Yuwono yang sedang melakukan penelitian tentang bahasa slang. “Bahasa slang berasal dari kata yang diubah dari bentuk aslinya. Perubahan ini biasanya digunakan untuk memberikan penekanan pada kata yang diucapkan. Tapi dalam arti masih menggunakan arti bentuk kata aslinya. Misalnya, kata ‘banget’ diubah menjadi bingit, beud, atau binggo (hlm. 120).”
Pada 1980-an bahasa slang identik dengan bahasa prokem (bahasa preman), namun sejak 1990-an bahasa ini identik dengan bahasa kalangan anak muda dan sebagian identik dengan bahasa binan (bahasa kalangan banci).
Qibti mencermati bahasa-bahasa yang lahir dari media sosial. Ia seakan marah pada orang-orang (warganet) yang tidak mempertimbangkan berbahasa Indonesia secara lumrah dari kamus bahasa Indonesia. Perubahan penggunaan kata-kata di media sosial menjadi tulisan yang cukup serius demi memberikan kritik sosial secara akademis. Tulisan ini merupakan upaya Qibti turut memikirkan bahasa Indonesia agar tidak mengalami absurditas meski dunia mengalami perkembangan teknologi digital. Selain itu, tulisan ini barangkali bisa menjadi ajakan sekaligus rujukan para pakar linguistik, dosen, mahasiswa, masyarakat Indonesia untuk memikirkan nasib bahasa Indonesia. Supaya bahasa Indonesia tidak mengalami berbagai dikotomi makna di media sosial secara komunal.
Toleransi Agama
Sejak kuliah di program studi agama dan lintas budaya (CRCS) Universitas Gajah Mada 2018, Qibti mulai mempelajari studi agama. Mempelajari studi lintas agama juga membuat Qibti pernah ikut sebagai tim penulis buku Semaian Iman Sebaran Pengabdian: 1oo Tahun Kongregasi Suster-suster Cinta Kasih St. Carolus Borromeus di Indonesia (2018) yang dieditori Bandung Mawardi. Buku itu memuat seabad kisah-kisah heroik suster-suster yang menyebarkan cinta kasih di Indonesia. Buku ini mengajak dialog iman antara penulis dan pembaca untuk senantiasa mengajarkan toleransi beragama di Indonesia. Mafhum, buku ini digarap oleh penulis-penulis Muslim. Inilah yang menjadi hal yang penting dalam dokumentasi sejarah di buku tersebut.
Kita dapat menyimak Sindhunata dalam kata pengantarnya “Bilik literasi Solo terbuka untuk siapa saja. Sampai sekarang, hampir semua anggota mereka adalah teman-teman muda Muslim. Dan justru di sinilah letak keunikan penggarapan buku 100 tahun CB di Indonesia ini. Suster-suster CB menyerahkan proses pengerjaan buku mereka kepada teman-teman Muslim ini. Tentu alasannya pertama-tama adalah bahwa mereka itu penulis yang kiranya dianggap bisa membantu penulisan buku. Namun, biar bagaimana pun, di pihak suster-suster CB, langkah ini adalah sebuah keberanian dengan rela dan tanpa banyak perhitungan mau menerima, bahwa latar belakang para penulis yang Muslim itu tentu akan mempengaruhi sejarah mereka (hlm.6).”
Sindhunata mengatakan dalam buku ini merupakan karya penulisan sejarah yang unik. Hal ini disebabkan penulisan sejarah tentang suster di Indonesia melibatkan penulis Muslim untuk menunjukan eksistensi dialog antar agama. Tentu hasil kepenulisan ini tidak menjadi masalah, bahkan Bandung Mawardi dkk menuliskannya cukup objektif dan bersandarkan pada data-data sejarah yang ada. Data-data itu menjelaskan sejarah pengabdian suster terhadap kesehatan, pendidikan, dan kemanusiaan memang pernah mereka lakukan sebagai kerja pengabdian.
Di antara berbagai tema itu, Qibti memilih menulis tema-tema tentang kesehatan. Dalam esai berjudul Kesehatan Perempuan, Qibti memberikan catatan “kepedulian suster pada kesehatan perempuan adalah bagian dari misi keimanan. Mereka harus melanjutkan iman Katolik keluarga Indonesia yang sejahtera dan sesuai dengan ideologi pemerintah. Meskipun mereka harus berdamai dengan sekian peristiwa yang tidak memiliki tautan biografis dengannya. Misi ini memang tampak menyulitkan. Para suster mesti meyakinkan perempuan di pelbagai desa untuk mendengar petuah keluarga, kehamilan, kesehatan reproduksi dari mereka.
Kesehatan perempuan krusial penting untuk diabaikan diperhatikan.”
Qibti mengisahkan sejarah kesehatan masa lalu sebagai bentuk penghormatan, menghargai atas kerja-kerja suster-suster CB yang sudah dilakukan selama 100 tahun di Indonesia. Tugas mulia itu perlu didokumentasikan sebagai bentuk kerja keaksaraan untuk warisan di masa mendatang.
Pada 20 September 2019 lalu, Qibti pamit bertemu Tuhan. Keteladanan dalam hal kepenulisan yang Qibti hasilkan akan menjadi rangkaian doa dan amal perjalanan hidupnya. Ia berhasil mengumpulkan kata-kata dan meninggalkan cerita-cerita tentang buku, toleransi, bahasa,ekologi, film India, untuk kita semua. Selamat jalan, kak Qib!