“Kepanikan adalah separuh penyakit. Ketenangan adalah separuh obat, dan kesabaran adalah langkah awal menuju kesembuhan.” (Ibnu Sina, 980-1037 M)
Beberapa waktu lalu, di desa kami Karang Asem, sembilan orang telah meninggal dunia dalam tempo satu minggu. Apakah mereka mati karena kelaparan? Saya kira tidak. Karena mereka bukanlah orang-orang yang tidak mampu secara ekonomi. Apakah mereka penderita Covid-19? Tidak juga. Mereka meninggal karena sakit biasa, juga disalatkan dan dikuburkan sebagaimana biasa. Lalu, apakah mereka takut dengan Covid-19? Boleh jadi ketakutan itu memang ada.
Rasa takut secara psikologis, seringkali muncul karena adanya phobia atau stigma-stigma negatif. Orang yang meninggal karena Covid-19 jelas berbeda dengan orang yang meninggal karena takut akan Covid-19. Di rumah-rumah sakit, ribuan orang berhasil disembuhkan dan bangkit dari penyakit fisik seperti Covid-19. Bahkan, berhasil sembuh dari berbagai penyakit yang lebih berbahaya ketimbang sekadar Covid-19. Tetapi, penyakit yang disebabkan faktor psikis dan psikologis, nampaknya lebih sulit untuk mengalami proses penyembuhan secara medis.
Jika saya analogikan mengenai sembilan orang yang mati di desa saya, termasuk di ribuan desa di republik gemah ripah loh jinawi ini, hampir serupa dengan kisah beberapa ibu-ibu pengajian masjid Nurul Ikhlas yang meninggal dunia, hanya karena mendengar kabar burung, bahwa ransum yang mereka santap pagi itu mengandung lemak babi.
Isu dan rumor itu muncul keesokan harinya, yang dihembuskan oleh Ibu Hindun (bukan nama sebenarnya), lalu kabar burung itu diterima mentah-mentah oleh mereka, hingga kemudian sebagian mereka yang tidak kuat secara mental mengalami jatuh sakit.
Sulit untuk didiagnosa secara medis, apa yang menyebabkan ibu-ibu itu menderita mual-mual, pusing, batuk dan muntah-muntah, bahkan ada yang sakit kejang-kejang. “Waduh celaka, saya telah makan barang yang haram! Sosis babi yang ada di ransum itu telah masuk ke perut saya! Kenapa mereka tega mengirimkan ransum yang mengandung daging babi di pengajian? Barangkali dunia ini sudah mau kiamat!” Kira-kira seperti itu selentingan para ibu dengan wajah pucat karena rasa panik yang tak ketulungan.
Mereka kurang yakin ketika sebagian temannya menenangkan, bahwa barang haram yang termakan secara tak sengaja, tak bisa dipersalahkan. Bahkan, suatu dosa yang dilakukan tak disengaja, akan mudah mendapat ampunan dari Tuhan Yang Maha Pengasih. Bagi mereka, temannya itu bukan ustazah dan tidak memiliki otoritas dan kapasitas untuk mengubah keyakinan mereka.
Meskipun mereka sendiri tak pernah membuktikan kebenarannya secara pasti, apakah benar sosis yang mereka santap pagi itu adalah daging babi. Mereka hanya mendengar kata si ini, kata si itu, dan segala hal ihwal “katanya”, tetapi semua kabar itu sudah kadung menyebar luas melalui WA grup, Twitter, Instagram, ditambah dengan bumbu-bumbu penyedap sesuai seleranya masing-masing.
Amarah dan caci-maki kian menjadi-jadi. Dokter merasa kewalahan menangani puluhan ibu-ibu yang secara serempak mengalami sakit yang sama, tetapi tak bisa dibuktikan penyakitnya secara medis. Sakit apakah mereka itu? (pikir dokter). Kalaupun mereka telanjur menyantap daging babi dalam ransum yang disediakan Ibu Maryam, tentulah daging apapun sudah mengalami proses pemasakan yang baik, hingga tidak lagi mengandung cacing pita, cacing tepung, cacing gelang atau saudara-kerabat cacing lainnya.
Keesokan harinya, empat orang dari puluhan ibu-ibu yang dirawat di rumah sakit, dinyatakan meninggal dunia. Pihak rumah sakit merasa kesulitan menjelaskan kepada pihak keluarga perihal penyakit yang diderita mereka. Akhirnya, disimpulkan saja nama penyakit yang seturut dengan pembawaan fisik masing-masing, misalnya kanker, diabetes, TBC dan lain-lain.
Pada Senin pagi, pihak Polres setempat menghadirkan Ibu Maryam pada pengajian di masjid Nurul Ikhlas yang ceramahnya disampaikan oleh Kiai Mahmudin dari Nahdlatul Ulama (NU). Pada ceramah kali ini, Kiai Mahmudin menjelaskan bahwa dalam kehidupan beragama (khususnya Islam) ada pengecualian-pengecualian yang dinamakan “rukhshah” atau “dlarurah”.
Itu artinya, kita tak mungkin menerima segala aturan baku yang ditetapkan dalam ilmu fiqih mengenai haram, wajib, makruh, sunah maupun mubah. “Sebab,” tegas Kiai Mahmudin, “segala aturan itu akan berlaku sesuai dengan konteks dan zamannya. Oleh karena itu, di dalam ushul fiqh terdapat makna-makna filosofis dari setiap aturan agama, bahwa sesuatu yang haram dikonsumsi, bisa diperbolehkan (mubah) manakala diberlakukan dalam konteks dan zaman yang berbeda. Bahkan, sesuatu yang haram bisa menjadi wajib dikonsumsi, ketika dalam posisi darurat, misalnya untuk pengobatan, penyembuhan penyakit, dan lain-lain.”
Stigma tentang daging babi yang kadung menyebar luas itu, akhirnya diklarifikasi oleh pihak katering, Ibu Maryam yang tampil di podium seusai Kiai Mahmudin menyampaikan ceramahnya. Disaksikan oleh Kapolres, para sesepuh, tokoh agama dan para bapak dan ibu pengajian, Ibu Maryam menjelaskan secara apa adanya, bahwa sosis yang disediakan dalam ransum beberapa minggu lalu adalah daging sapi, dan bukan daging babi seperti yang dihembuskan di berbagai media sosial akhir-akhir ini.
Masyarakat yang dilanda kericuhan selama beberapa minggu, akhirnya pulih dari perasaan cemas dan resah yang bersumber dari kabar burung itu. Puluhan ibu-ibu yang dirawat di rumah-sakit, satu persatu dipulangkan ke rumahnya, dan kini sedang menjalani proses penyembuhan. Hal ini mengingatkan kita pada ungkapan genuine dari Ibnu Sina (980-1037 M): “Kepanikan adalah separuh penyakit. Ketenangan adalah separuh obat, dan kesabaran adalah langkah awal menuju kesembuhan.” (Ibnu Sina, 980-1037 M).
Setelah digelandang di kantor Polres, Ibu Hindun bersama beberapa orang yang menyebarkan isu-isu miring itu, akhirnya mengakui bahwa Ibu Maryam adalah pesaing dan rival yang tak disukainya dalam usaha dan bisnis katering. Lalu, bagaimana mengenai empat ibu-ibu pengajian yang sudah meninggal, apakah mereka perlu dibangkitkan, hingga menyembul kembali ke permukaan bumi?
Apakah mereka meninggal karena Covid-19? Saya kira tidak. Apakah mereka meninggal karena makan daging babi? Juga tidak. Tapi, apakah mereka meninggal karena rasa takut atau stigma negatif? Boleh jadi. Karena ketakutan dan kepanikan adalah teror imajinasi yang paling mematikan.
Saat ini, bangsa Indonesia membutuhkan iman yang mendamaikan dan menyejukkan, bahwa karunia hidup ini begitu indah dan patut disyukuri. Bukan iman tanpa ilmu, atau sekadar doktrin-doktrin yang hanya menebar teror dan ketakutan. (*)