Adagium “Bagai minum air laut” mungkin cocok untuk menggambarkan perbincangan relasi antara Islam dan masyarakat Banjar. Islam bagi suku mayoritas bertempat tinggal di Kalimantan Selatan sudah melekat atau mendarah daging.
Jika kita membicarakan religiusitas masyarakat Banjar atau lebih populer dengan “urang Banjar”, maka tidak akan bisa mengesampingkan Islam sebagai faktor utama yang mewarnainya. Islam dan urang Banjar sudah menjadi dua sisi mata uang.
Hairus Salim menuliskan dengan diksi “Banjar ya Islam, Islam ya Banjar” untuk menggambarkan bagaimana relasi dua entitas tersebut yang begitu dekat. Bejibun artikel, esai, cerita, puisi dan lain-lain telah dituliskan, namun gambaran relasi tersebut seakan tak pernah habis untuk dituliskan. Islam hadir di hampir di seluruh lini kehidupan masyarakat Banjar.
Jika kita menelisik paparan fakta dari Alfani Daud soal masyarakat Banjar sudah dikenal sebagai orang-orang yang relatif taat melaksanakan agamanya. Beberapa fakta didedahkan Alfani untuk mendukung opini tersebut, dari menjalankan ritual dengan kepatuhan yang tinggi, seperti disiplin menjaga salat, zakat hingga melaksanakan Haji, hingga “gemar” mendirikan langgar atau masjid.
Secara gamblang, Daud juga menegaskan soal kepercayaan masyarakat Banjar yang dipilahnya menjadi tiga kategori.
1. Kepercayaan yang bersumber dari ajaran Islam.
Isi kepercayaan ini disandarkan pada “rukun Iman” yang enam, namun beberapa kepercayaan mendapatkan pendalaman tersendiri. Kepercayaan terhadap malaikat sebagai makhluk Allah memiliki peran dan fungsi masing-masing, selain itu juga dikenal beberapa malaikat di luar 10 nama yang sudah familiar dalam ajaran Islam, seperti Malaikat Hafazah.
Kelompok Jin dipercaya memiliki dua kelompok karena turut menjadi objek dalam dakwah Islam, sehingga dalam kepercayaan masyarakat Banjar ada pembagian antara Jin Islam dan Jin Kafir. Selain itu juga, konsep “alam gaib” di masyarakat Banjar juga memiliki pandangan tersendiri, yaitu alam yang tidak kelihatan dengan mata.
2. Kepercayaan yang terkait dengan struktur masyarakat Banjar di masa lalu, atau setidaknya pada masa sultan-sultan dan sebelumnya.
Hal ini terkait dengan kehidupan orang Banjar pada waktu itu hidup dalam lingkungan keluarga luas, yang sering pula hidup dalam lingkungan yang terbatas, atau lebih populer dalam bahasa Banjar disebut Bubuhan.
Namun, di masa kolonial kelompok bubuhan ini tidak lagi hidup dalam sebuah komunal besar, melainkan tersebar ke berbagai daerah yang relatif jauh. Hal ini tidak menyurutkan model bubuhan yang bertransformasi menjadi berbagai ikatan kekerabatan lain, seperti asal daerah atau kesamaan tempat tinggal.
Walau fondasi kekeluargaan masih mendominasi sebagai format bubuhan ini karena masyarakat Banjar masih cukup rajin menelusuri jaringan keluarga, tertutama mereka yang memiliki ikatan darah dengan tokoh-tokoh penting. Arkian, dikenal beberapa sebutan penanda seperti Antung, Andin atau Gusti sebagai identifikasi relasi kekerabatan.
3. Kepercayaan yang berpautan dengan “tafsiran” masyarakat Banjar atas alam lingkungan sekitarnya.
Dikenal sebagai masyarakat agraris dan mendiami wilayah pesisir sungai, memori masyarakat banjar atas kata “hutan” tidak selalu berarti alam liar yang ditumbuhi berbagai pohon dan tumbuhan lainnya, namun juga wilayah rawa yang biasanya mereka datangi atau gunakan untuk bercocoktanam atau mencari ikan, dan lain-lain.
Dalam kepercayaan mereka, hutan konon juga tidak saja dihuni oleh binatang liar belaka, melainkan juga didiami juga orang gaib, macan gaib, datu dan lain sebagainya. Dari sini, dalam kehidupan masyarakat Banjar terdapat berbagai upacara yang beberapa diantaranya masih dilaksanakan hingga sekarang, dengan beberapa perubahan, pengurangan, dan penambahan.
Upacara memang unsur penting lain yang terpaut dengan unsur pokok dalam sebuah system religi, yaitu kepercayaan. Tak mengherankan kemudian masyarakat Banjar mengembangkan berbagai kegiatan upacara dalam semua bidang kehidupannya. Upacara atau ritual tumbuh subur, dari upacara daur hidup, kelahiran sampai kematian, hingga beragam upacara lainnya yang terkait dalam peralihan tahap.
Titik menariknya adalah upacara dalam kehidupan masyarakat Banjar selalu saja berkelindan tiga atau dua kategori dari kepercayaan di atas. Contohnya, dalam upacara daur hidup Batasmiyah tidak saja ditujukan sebagai tanda ketaatan melaksanakan kewajiban agama Islam, namun di dalamnya atau mengiringinya terdapat beberapa tradisi yang terkait dengan kepercayaan atas relasi bubuhan atau kepercayaan atas alam.
Kelindan dalam upacara-upacara tersebut memang tidak selalu mulus, ada tarik menarik, negosiasi hingga perubahan ekstrim dalam perjalanan sejarah kehidupan masyarakat Banjar. Lebih-lebih terhambatnya transmisi pengetahuan lokal ini dipengaruhi banyak hal, beberapa diantaranya seperti pendidikan, ekonomi, kedatangan Islam transnasional, hingga mulai terlupakan oleh generasi penerus.
Imbasnya, relasi Islam sebagai identitas masyarakat Banjar juga tidak mulus, pada awalnya sangat akrab dengan beberapa tradisi, sekarang terdapat tradisi yang mendapatkan perubahan, pengurangan dan penambahan bernarasi lebih Islam ketimbang awalnya, juga ada yang sudah mulai dilupakan oleh generasi masyarakat Banjar sekarang.
Saya melihat yang paling bertahan adalah budaya simbol dalam keberislaman masyarakat Banjar. Hal ini tidak saja terkait dengan Islam sebagai identitas, seperti gelar atau pakaian, namun juga berfungsi sebagai negosiasi atau lebih tepatnya tercampur antara tradisi dengan nilai dan ajaran Islam, seperti aneka kue yang memiliki makna tersendiri dalam beberapa ritual keislaman.
Adaptasi masyarakat Banjar atas simbol, baik agama ataupun budaya, bisa dibilang menjadi modal budaya yang akan mewarnai keberislaman mereka terutama di era pascamodern. Berbagai simbol-simbol yang menjadi poin penting dalam model keberislaman masyarakat Islam, terutama kelas menengah, generasi milenial hingga gen-Z, sehingga Islam lebih banyak ditampilkan sudah mulai menggerus berbagai tradisi dan kepercayaan masyarakat, termasuk Banjar.