Pada saat masih muda, Emha Ainun Nadjib menaruh buku-buku di kamar. Ia tak menjadikan kamar cuma tempat untuk tidur. Di situ, ia membaca buku. Konon, kamar tempat lazim bagi buku-buku. Orang tak perlu membuat persaingan antara buku dan benda-benda menghuni kamar. Emha Ainun Nadjib (1982) mengartikan diri sebagai pembaca buku-buku telah diperkenankan masuk kamar. Kita menduga buku-buku itu sempat rapi, sebelum tampak berantakan. Kamar menjadi tempat “pertemuan” dan “pertempuran” untuk membuat buku-buku bukan benda terdiamkan.
Di kamar, Emha Ainun Nadjib seperti membuat peta sastra berhadapan dengan pembakuan dan pembesaran. Konon, buku-buku di kamar itu ditulis oleh orang-orang belum memiliki nama berkibar atau tenar. Buku-buku tetap bersama Emha Ainun Nadjib dalam babak sulit mencari titik-titik sejarah.
Pada situasi berbeda, Emha Ainun Nadjib melihat tempat berbeda: toko buku. Ia mengetahui toko buku sebagai tempat penentuan nasib buku-buku: menghuni lama atau mampir. Tempat itu mencatat buku-buku dengan pengertian datang dan pergi.
Emha Ainun Nadjib menggenapkan peran sebagai pembaca dengan tampil di hadapan orang-orang sebagai “buku”. Pada 1983, buku puisi berjudul 99 Untuk Tuhanku diterbitkan Pustaka (Bandung). Buku kecil dan sederhana. Orang melihat buku, melihat Emha Ainun Nadjib. Orang membaca buku, membaca Emha Ainun Nadjib.
Buku itu beredar ke pelbagai tempat. Toko buku diharapkan menjadi tempat untuk pertemuan buku dan pembeli. Misi bisa gagal. Buku bisa di situ sekian tahun tanpa pemandang atau pemegang. Buku tak terbeli, tak berpindah tempat. Buku memuat puisi-puisi Emha Ainun Nadjib memilih kerasan tinggal di toko buku.
Pada 1993, buku itu diterbitkan lagi oleh Bentang (Jogjakarta). Emha Ainun Nadjib memberi pengantar baru dengan “malu” dan meragu. Ia mengenang silam tentang buku mula-mula diterbitkan Pustaka: “… ia diterbitkan dalam sejumlah yang sangat sedikit dan tampaknya tak pernah laku. Sampai hari ini saya masih menjumpainya di banyak toko buku: hanya beberapa ribu eksemplar, tidak terjual habis dalam waktu lebih 10 tahun.” Buku terlalu lama menghuni toko buku. Buku menjadi saksi untuk kedatangan dan kepergian pelbagai buku dianggap laku. Kita mengingat masa lalu saat buku Emha Ainun Nadjib sulit dicap laris. Ingatan untuk buku puisi, bukan buku-buku memuat esai-esai teranggap mudah laku.
Emha Ainun Nadjib berkelakar: “Terkadang buku itu tak ada di toko buku: mungkin pemiliknya putus asa karena tak laku, sehingga dimasukkan ke dalam gudang. Tetapi sebentar kemudian buku itu nongol lagi di rak toko-toko dengan kertas dan cetakan seolah-olah baru. Mungkin pemiliknya mendapat hidayah dari Allah dan bersemangat kembali: membersihkan buku-buku itu dari kotoran dan sawang-sawan, kemudian menjualnya lagi.”
Penggubah puisi menjadi saksi. Ia ikhlas buku tak laku. Nasib buku mencipta humor mengaitkan penulis, pemilik toko buku, dan pembeli. Kita menunduk tanpa tanggapan berlebihan gara-gara buku sedang diocehkan Emha Ainun Nadjib itu berjudul 99 Untuk Tuhanku. Kita tak tega membuat kalimat terbenarkan: 99 Untuk Tuhanku tak laku.
Kita mulai berpikiran Tuhan, buku, dan tempat. Terbukalah novel berjudul The Name of the Rose gubahan Umberto Eco! Di situ, ada debat dan kisruh mengakibatkan kematian mengacu buku dari filosof tenar. Buku pernah terpelajari dan menjadi omongan mengungkap tragedi. Pada babak dan pengetahuan berbeda, filosof Yunani itu menulis buku mengenai komedi.
Di biara, buku mencipta tawa bisa petaka. Konon, orang-orang di biara beranggapan Tuhan tak suka melihat manusia tertawa berakibat pelemahan iman. Tertawa bisa merusak iman. Manusia bisa celaka ketimbang terhibur. Konon, buku itu tersimpan di perpustakaan milik biara. Pengisahan menegangkan berlatar Abad Pertengahan.
Para tokoh buatan Eco berucap memicu debat: “… Kristus tidak pernah tertawa.” Perkataan lagi: “Yang membuktikan bahwa tertawa adalah sesuatu yang amat dekat dengan kematian dan dengan penggerogotan tubuh ordo.” Di biara, orang-orang direpotkan dalam menjelaskan Aristoteles dengan segala buku. Di novel The Name of the Rose edisi terjemahan bahasa Indonesia terbitan Bentang (2008), kita membaca penjelasan: “Kadang-kadang rahasia tertentu lebih baik tetap terselubung oleh kata-kata rahasia. Rahasia alam tidak untuk disampaikan pada kulit kambing dan biri-biri. Dalam buku rahasianya, Aristoteles mengatakan bahwa menyampaikan terlalu banyak rahasia alam dan seni justru akan merusak surgawi dan banyak kejahatan bisa masuk. Ini tidak berarti bahwa rahasia tidak boleh diungkapkan, tetapi orang terpelajar harus memutuskan kapan dan bagaimana menyampaikannya.”
Perpustakaan sebagai tempat keramat, tak mudah orang-orang untuk masuk menikmati bacaan, buku dicap komedi tersimpan dalam hening dan terjauhkan dari tatapan mata. Perpustakaan menjadi sasaran memikirkan kebaikan dan keburukan, kehidupan dan kematian, terang dan gelap, dosa dan pahala. Kita diajak Eco memikirkan buku dan tempat berdampak besar.
Tokoh dalam novel mengakui: “Kami hidup untuk buku. Suatu misi indah di dunia didominasi oleh kekacauan dan kemerosotan ini. Mungkin, kelak, kau akan memahami apa yang telah terjadi pada kesempatan itu. Venantius, yang fasih… yang amat menguasai bahasa Yunani, mengatakan bahwa Aristoteles telah mengabdikan buku Poetics yang kedua khususnya pada tawa, dan kalau seorang filosof yang sedemikian hebat mengabdikan seluruh buku itu pada tawa, maka tawa tentu penting. Jorge berkata bahwa banyak pendeta telah mengabdikan seluruh buku untuk dosa, yang merupakan buku penting, tetapi jahat….” Debat-debat terus berlangsung bersumber buku. Orang-orang terhenti di kebingungan memastikan tempat buku itu disimpan.
Buku mungkin berada di perpustakan. Eco mencipta tokoh memberi peringatan: “Perpustakaan itu sebuah labirin besar sekali, simbol labirin dunia. Coba saja masuk dan kau tidak tahu apa kau akan keluar.” Kita tinggalkan saja novel rumit untuk dimengerti bagi para pembaca di Indonesia telah mengenali buku-buku dan belum lama mengetahui tempat dinamakan perpustakaan.
Buku-buku tak selalu menetap di perpustakaan. Franz Magnis-Suseno (2004) justru mengesahkan buku-buku menghuni rumah. Ia mengenang masa bocah: “Sesudah makan malam, ibu dan ayah selalu duduk di ruang utama sambil membaca buku. Ayah membaca buku yang cukup berat: kebanyakan buku sejarah, kadang-kadang buku teologi, atau buku tentang keadaan di bagian lain bumi ini. Ibu saya suka membaca novel, terutama yang ditulis dalam bahasa Inggris, tetapi ia juga suka membaca buku-buku religius….” Di rumah, setiap hari ada peristiwa bertemu buku dan membaca buku. Percakapan mengacu buku pun terselenggara. Rumah untuk buku-buku.
Pengisahan keluarga Franz Magnis-Suseno seperti menepikan perpustakaan. Rumah itu terpenting, bukan perpustakaan. Kita simak: “Ayah dan ibu melakukan kebiasaan membaca mereka sampai akhir hidup. Di rumah mereka, dan kemudian juga di rumah adik-adik saya, terkumpul ribuan buku: banyak yang cukup berharga, sangat menarik, dan bermutu tinggi. Di dinding gang-gang, dan di semua kamar di rumah keluarga saya, ada rak-rak penuh dengan buku sehingga apabila di kemudian hari saya sekali-sekali pulang, waktu saya bisa habis dengan membaca-baca saja. Kadang-kadang saya membaca buku yang saya baca sewaktu anak-anak, dan merasakan kembali nikmatnya waktu itu.”
Kita ingatkan bahwa rumah dengan buku-buku itu tak berada di Indonesia tapi beralamat di negara jauh. Rumah untuk manusia dan buku. Rumah itu tempat bertumbuh bersama bacaan-bacaan. Rumah dan buku terwariskan dan “melanggeng” dalam ingatan-ingatan. Begitu.