Di antara dosen teladan kami di Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta ialah Prof Dr HM Atho Mudzhar. Mantan Rektor IAIN Yogyakara ini merupakan alumnus University of California Los Angeles atau UNCLA. Beliau mengajar kami dalam mata kuliah Approaches to and Methodology of Islamic Studies selama satu semester.
Beliau bercerita bahwa kitab tertua yang dijadikan sumber rujukan kajian serajah Nabi (Sirah al-Nabawiyah) ialah karangan Ibnu Hisyam (w. 218 H/834 M). Akan tetapi, kitab itu baru diterbitkan dalam bentuk buku 11 abad kemudian atau pada 1858. Itu pun berkat jasa orang Barat F. Wustenfeld yang berhasil mengeditnya dalam bahasa Arab. Mungkin sebelumnya, entah bagaimana nasib keberadaan naskah itu. Penerbit kitab di Kairo Mesir pun baru mencetak kitab tersebut 78 tahun kemudian atau pada 1936.
Nasib yang sama dialami oleh kitab Tarikh al-Thabari karya Ibnu Jarir al-Thabari (w.310 H/923 M). Kitab sejarah menumental ini baru diterbitkan 9 abad kemudian atau pada 1879 setelah diedit oleh de Goeje. Lalu 81 tahun kemudian barulah Kairo menerbitkan dalam bentuk buku.
Prof Atho menyimpulkan, jadi begitulah sikap “kita” umat Islam terhadap naskah-naskah lama, kita belum bisa menghargai naskah-naskah itu. Baru setelah orang lain melakukannya kita pun terperajat. Dari sini pula beliau menemukan pola bahwa tradisi keilmuan orang Barat itu pada saat sekarang ini memang patut kita pelajari. Kisah ini beliau tulis pula dalam bukunya Belajar Islam di Amerika (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1991).
Yang menjadi pertanyaan besar saya ialah, pengapa orang-orang Barat begitu menghargai semua ilmu dan menganggap penting dokumentasi (dalam hal ini naskah) sekalipun itu bukan kajian utama mereka?
Tak terhitung berapa banyak manuskrip Islam yang ada di perpustakaan Barat. Bahkan naskah-naskah Nusantara juga lebih banyak ada di Leiden daripada di Perpustakaan Nasional RI. Dosen kami juga, Prof Dr Oman Fathurahman pernah meneliti naskah Ithafud Dhaki yang berbicara tentang tafsir wahdatul wujud bagi Muslim Nusantara ditulis oleh Ibrahim al-Kurani (1616-1690). Beliau berhasil mengidentifikasi naskah tersebut setidaknya ada 31 di seluruh dunia, namun tidak satu pun ada di Indonesia padahal naskah itu lahir dari polemik keberagamaan di Nusantara. Naskah itu berada di Kairo, Turki, Berlin, Leiden, Libya, London, Maroko, Saudi, Pakistan, dan Tokyo.
Beberapa minggu lalu, bersama rombongan saya berkesempatan mengunjungi Masjid Ba’alawi di Singapura. Masjid ini juga dikunjungi banyak pelancong mancanegera. Yang membuat para pengunjung terpana dan sangat berkesan bukan karena bangunan, interior atau eksteriornya, melainkan kepedulian pengurus masjid menyimpan benda-benda bersejarah terkait masjid. Ada sajadah pertama yang digunakan imam, mihrab kuno, tongkat, jubah, jadwal imam, waktu salat, buku dan kitab lawas, serta masih banyak lagi. Hal semacam ini tampaknya belum banyak ditiru oleh masjid-masjid lain.
Mungkin terlalu berat berbicara naskah dan benda-benda bersejarah, kita ambil hal lain yang lebih umum. Misalnya seperti khutbah Jumat. Adakah masjid yang menyimpan teks-teks lengkap khutbah Jumat para khatib setiap pekannya? Jika memang para khatib berkhutbah tanpa teks, adakah pengurus masjid yang merekam penuh perjalanan khutbah Jumat dengan audio atau video?! Kalaupun ada mungkin masih diragukan kelengkapannya.
Diakui atau tidak, inilah di antara ‘kelemahan’ kita, tidak peduli terhadap dokumentasi. Memang sepintas remeh, tapi bukankah data-data tersebut sangat penting di kemudian hari. Tidak hanya bagi takmir masjid, melainkan bisa bermanfaat luas kepada jamaah, pengunjung, dan bahkan peneliti.
Tentunya kita masih ingat hadits Nabi SAW tentang tujuh orang yang kelak mendapat naungan Allah SWT di hari kiamat. Beliau bersabda, “Tujuh golongan yang dinaungi Allah dalam naungan-Nya pada hari di mana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: (1) imam yang adil, (2) seorang pemuda yang tumbuh dewasa dalam beribadah kepada Allah, (3) seorang yang hatinya bergantung ke masjid, (4) dua orang yang saling mencintai di jalan Allah, keduanya berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya, (5) seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang perempuan yang mempunyai kedudukan lagi cantik, lalu ia berkata, ‘Aku benar-benar takut kepada Allah.’ (6) seseorang yang bersedekah dengan satu sedekah lalu ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfaqkan tangan kanannya, serta (7) seseorang yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan sepi lalu ia meneteskan air matanya.” (HR. Bukhari [1423] dan Muslim [1031])
Di sana disebutkan, pemuda yang berkoneksi dengan masjid. Yang dimaksud Nabi pasti bukanlah pemuda yang menjadikan masjid sebagai the second home; numpang tidur, mandi, makan, atau cari wifi di masjid. Ditinjau dari sudut pandang lain, pengurus masjid harus lebih kreatif dan visioner mendesain masjid. Tidak melulu bangunan fisik, akan tetapi soal dokumentasi misalnya. Sehingga pemuda yang di masjid bisa belajar, mengkaji, dan meneliti.
Sampai hari ini, kita akan mudah menemukan masjid megah dengan perhiasan emas, marmer termahal di dunia, luas berhektare-hektare, AC dingin menembus tulang, atau kaligrafi terlampau indah. Tapi, adakah sebuah masjid yang menyediakan fasilitas berupa dokumentasi rekaman pengajian, khutbah Jumat dan hari raya, ceramah maulid, kultum Ramadan lengkap dari Kiai A-Z, di tahun sekian, bulan sekian, tanggal sekian? Tampaknya mustahil.
Terakhir sekali, sebenarnya sejak awal, Islam telah sadar akan pentingnya dokumentasi. Di antara yang paling bermanfaat seantero jagat ialah usaha dokumentasi ayat-ayat Alquran yang kemudian menjadi mushaf hingga saat ini bisa kita nikmati. Bagaimana jadinya seandainya para sahabat tidak mendokumentasikan Alquran?
Kita yakin, jika umat Islam peduli terhadap dokumentasi maka tak perlu banyak cingcong, kita akan lebih jaya sedangkan yang lain asyik tertidur lelap. Hadanallah.
*Tulisan ini diambil dari Majalah Tebuireng edisi 57 (Juli-Agustus 2018)