Pertama kali menginjakkan kaki di Taiwan, saya merasa, tidak ada bedanya antara Negara ini dengan Negara Indonesia. Udara yang kuhirup, suasana yang tercipta, dan iklim yang ada tidak jauh dari Negara Indonesia. Keindahan alamnya dilihat dari manapun tidak jauh dengan Indonesia. Hanya saja, perbedaan yang terdapat di Indonesia dan Taiwan ialah pada kata maju dan berkembangnya, dan hanya itu saja.
Taiwan mempunyai julukan sebagai pulau Formosa, yang berarti pulau yang indah. Formosa berasa dari bahasa Portugal, berangkat dari kata Ilha Formosa atau pulau yang indah. Kata tersebut mencuat pada kisaran abad ke-16 sampai abad ke-20 dan redup hingga sekarang. Maka, tidak heran kalau kita melihat Taiwan tidak jauh berbeda dengan Indonesia.
Negara dengan luas yang tidak lebih dari 2 % nya wilayah Indonesia sanggup membuat jarak yang sangat jauh, ya memang, walau hanya secara verbal ialah berkembang dan maju. Mempunyai populasi sebesar 23,57 juta jiwa atau setara 9 % nya populasi masyarakat Indonesia.
Berdasarkan data yang ada, masyarakat di Taiwan ini mayoritas merupakan pemeluk agama Konfusianisme, Taoisme, dan Buddhisme, dan masyarakat asli Taiwan yang beragama Islam hanyalah sekitar 60.000 jiwa.
Menjadi Minoritas di Taiwan
Di awal kedatangan saya memang belum melakukan persiapan dengan matang, persiapan dalam beradaptasi sebagai muslim di Negara Taiwan, belum terbayang juga nantinya akan menjadi seperti apa di sana. Hanyalah pengetahuan-pengetahuan dasar dari internet akan kebudayaan, kepercayaan, dan sistem ketatanegaraan yang ada di sana.
Nah tetibanya di sini, yang menjadi masalah pertama ialah masalah colokan listrik yang berbeda dengan Indonesia, kalau di Indonesia menggunakan tipe C (bundar) sedangkan di sini menggunakan tipe gepeng atau tipis, matilah kita kalau tidak bisa ngecas HP ataupun Laptop.
Kemudian masalah kedua, sepanjang perjalanan aku mengitari Taiwan dari bandara Taoyuan ke Kaohsiung, tidak melihat masjid satupun, yang terlihat hanyalah belantara alam yang indah, dan ya! Seperti Indonesia. Aku tidak tahu ini kenapa, kalau di Indonesia itu kan di setiap sudut mata memandang pasti akan terlihat Masjid yang besar maupun mushola yang kecil, nah sedari tadi mengitari Taiwan tak berhasil juga diriku ini, atau mungkin gara-gara lewat Free way (di Indonesia dikenal sebagai jalan Tol) ya?
Dari data yang ada mengatakan bahwa penduduk muslim di Taiwan ialah penduduk minoritas, bahkan tidak mencapai 1 % dari penduduk totalnya, pantas saja kalau fasilitas masjid yang ada itu sangat jarang.
Negara Taiwan, dalam satu kota hanya terdapat satu masjid, dan itupun hanya penuh saat ada hari-hari besar islam dan setiap salat jumat. Oh iya, ada juga yang dalam satu kota itu tidak ada masjidnya sama sekali, beruntunglah saya ini tinggal di Kota Kaohsiung dengan Masjid yang terbesar kedua setelah Taipei.
Populasi masyarakat Indonesia yang tinggal di Taiwan ialah 256.000 Jiwa dan mayoritas dari mereka ini Muslim, data tahun 2018 dari pemerintah Taiwan. Walaupun masyarakat di Indonesia ini banyak namun mereka hanyalah pendatang tidak mempunyai kewenangan untuk kemudian membangun masjid di masing-masing daerah mereka. Serta 97% dari mereka adalah pekerja migran Indonesia, atau orang akrab menyebutnya mereka dengan PMI. Jadi tidak heran, kalau hari-hari biasa ketika solat wajib pasti masjid sepi, satu shaftpun tidak genap, sedang ketika hari jumat yang bukan merupakan tanggal merah, masjid hanya akan terisi dua lantai saja, dan ketika hari jumat yang merupakan tanggal merah pasti masjid akan penuh dan bahkan akan membludak, empat lantai (termasuk lantai bawah tanah) pun tidak cukup.
Itu semua saya ambil perumpamaan di Kota Kaohsiung sepengalamanku beribadah dan bersosial di sana, dengan komposisi muslim yang beribadah di sana ialah Indonesia kemudian negara-negara bagian timur sana dan kemudian baru yang terakhir ialah orang Taiwan asli.
Sebagai Muslim yang hidup di negara Taiwan juga tentunya kita akan kesusahan untuk mencari makanan yang pasti halal. Namun tenang, di Taiwan itu ada, sebagai orang yang berkepercayaan-seperti tadi yang sudah disebutkan di atas, ada dari mereka yang vegetarian, jadi kalau kita takut akan makanan yang kita beli itu tidak jelas, lebih mending kita membli makanan vegetarian.
Sebagai kaum minoritas juga tentunya di sini kita akan saling bahu membahu dalam beribadah, seperti halnya kita kekurang makanan halal maka di Masjid pasti akan ada yang menjual daging halal (hampir di setiap masjid di Taiwan ada kebudayaan jual beli daging halal) entah itu ayam, kambing, ataupun sapi.
Nah cara lain untuk mendapatkan makanan halal kalau kita memiliki waktu yang berlebih ialah memasak sendiri. Walau memang jarang kita sebagai pendatang, yang diberi fasilitas dapur, perbandingan 1:3 lah orang yang bisa masak sendiri. Jadi, bisa memilih mana bahan yang pasti halal dan mana bahan yang belum jelas kehalalannya. Kalau pengen dapet daging yang pasti halal ialah setiap pagi pergi ke pasar dan beli daging ikan, mancing langsung di lautpun boleh kalau tidak ada kegiatan sama sekali.
Sebagai masyarakat yang menduduki populasi kedua setelah orang Taiwan sendiri kita, punya warung Indo atau restoran Indonesia di setiap kota. Restoran tersebut biasanya juga menggunakan label halal atau sertifikasi halal yang tentunya bisa kita konsumsi dalam keseharian, yang juga sekaligus dapat mengobati rasa rindu kita akan masakan Indonesia, yang pedas, manis, dan asin, kompleklah.
Kebanyakan restoran Indo itu berada di daerah Main station di masing-masing kota. Tidak aneh lagi di sana pada hari Sabtu dan Minggu di setiap minggunya akan terjadi fenomena unik. Terjadi perubahan wujud dari yang tadinya daerah Taiwan menjadi daerah Indonesia, karena hampir setiap orang yang kita jumpai di sana ialah orang Indonesia yang ramai beraktifitas membeli makanan Indonesia, berkomunitas, maupun sekedar bertemu dengan teman. Betapa hebatnya masyarakat Indonesia di sini.
Gerakan Taiwan Ramah
Baru-baru ini banyak gerakan-gerakan yang dirancang untuk membuat Taiwan itu lebih ramah terhadap pendatang baru, supaya lebih banyak pendatang dari berbagai negara dengan berbagai macam budaya yang melingkupinya. Entah untuk kepentingan wisata, bekerja, maupun untuk studi abroad. Kekinian Taiwan butuh pekerja dan pelajar dari luar negeri karena populasi yang semakin kesini semakin memprihatinkan.
Gerakan halal food mulai digalakkan. Mulai dari survei-survei yang bertebaran tentang apa itu halal food kemudian kegiatan-kegiatan yang menggandeng pelajar membuat perjalanan halal atau halal tour. Pastinya Taiwan juga melirik industri wisata halal, yang mana merupakan salah satu industri yang seksi.
Kekinian juga sudah banyak tempat-tempat umum yang diberi fasilitas mushola. Seperti kalau kita lihat di Kaohsiung Main Station, di sana, ada mushola untuk kita singgah melakukan solat ataupun hanya untuk sekedar berzikir di sana. Kemudian banyak juga pembangunan-pembangunan mushola diberbagai kota. Walaupun memang, kalau kita mau meminjam ruangannya kita harus izin terlebih dahulu dari instansi yang terkait.
Sejatinya, Taiwan tidak melarang masyarakat Indonesia untuk berkoloni ataupun berorganisasi. Banyak organisasi yang tumbuh dari kalangan pekerja, seperti Fengshan bersatu, Kaohsiung bersatu, Cilacap bersatu, dan dari kalangan pelajar ada PPI, Perpita, PMII, NUSA, dan Formmit, dan masih banyak lagi.
Berita baiknya, hanya ada dua Ormas muslim yang legal di bawah naungan Taiwan, atau sudah berbadan hukum di Taiwan, yaitu NU (PCINU Taiwan ) dan Muhammadiyah PCIM Taiwan. Kebanyakan pengurus PCINU merupakan dari kalangan pekerja dan dari PCIM ialah kalangan pelajar. Maka, jangan khawatir ketika kita masuk di Taiwan dan bersosial dengan masyarakat Indonesia di sini, mereka itu jarang yang terpapar radikalisme.