Sedang Membaca
Harlah ke-93 NU: ASWAJA dan Perlawanan
Hasan Basri Marwah
Penulis Kolom

Pengurus Lesbumi PBNU, penulis, Pengajar di Pesantren Kaliopak Jogjakarta, serta pegiat dan pemerhati budaya. S2 Cultural Studies di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Berasal dari Mataram Nusa Tenggara Barat dan kini menetap di Yogyakarta

Harlah ke-93 NU: ASWAJA dan Perlawanan

Usia Nahdlatul Ulama itu paling tidak dua macam: Umur sebagai organisasi dan umurnya sebagai praktek Islam Ahlus Sunah wal Jamaah (Aswaja) di Indonesia. Sebagai sebuah organisasi (jama’iyah), saat ini umurnya mencapai 93 tahun. Sebagai suatu kultur Islam Aswaja umurnya sudah ber-abad-abad.

Dua jenis umur NU itu sedikit akan lebih terang jika menilik kembali ‘momen’ kelahiran NU sebagai sebuah organisasi.

Penting memperhatikan inti dari semangat Aswaja, pertama, menerima niscayanya perbedaan dan menjamurnya beragam golongan di internal umat Islam, tetapi mengambil jalan kerahmatan di tengah keberagaman yang seringkali saling meniadakan itu.

Aswaja tidak menempatkan diri sebagai yang terbaik dan tidak menistakan golongan Islam yang lainnya. Aswaja hanya memiliki dua sandaran, yaitu kesinambungan sanad dan kekayaan khazanah klasik Islam.

Maka tidak mengherankan jika di Indonesia Aswaja diterjemahkan sebagai sikap keterbukaan terhadap beragam bentuk terjemahan Islam di Indonesia.

Aswaja bukan suatu paham keberislaman yang oportunis. Di dalamnya tersirat dan tersurat pula politik pemahaman akan Islam. Menerima nisacayanya keragaman umat Islam tidak menjadikan paham Aswaja nyaman di wilayah remang-remang. Aswaja tetap melakukan pembedaaan yang tidak menyerang, ekspansionis terhadap kelompok lain.

Pada perkembangannya, terutama setelah merosotnya umat Islam secara politik pada abad-14 Masehi dan seterusnya, paham Aswaja menjadi suatu tenaga politis bagi kalangan Suni untuk melawan dua kelompok: kelompok umat Islam yang memaksakan pahamnya kepada kelompok lain, dan merendahkan kelompok Islam lainnya. Aswaja anti dengan gagasan yang merasa benar sendiri.

Kedua, Aswaja menentang segala bentuk penindasan terhadap sesama manusia. Hal ini menepis tuduhan kalangan Suni sebagai yang kelompok akomadisionis terhadap kekuasaan yang ada.

Baca juga:  Bagaimana Saya yang Katolik Memandang Terorisme?

Di Indonesia, paham Aswaja mempengaruhi, jika mengamini pendapat Prof. Dr. Sayid Naguib Al-Attas, sukma kebudayaan Melayu-Jawa. Buktinya, paham Aswaja sampai mempengaruhi kekayaan sastra Melayu.

Dalam konteks Jawa, Nacy Florida menyatakan hal yang senada, bahwa ribuan naskah sastra Jawa yang dilabeli “non-Islam” oleh para filolog kolonial merupakan karya ulama Aswaja pesantren di Jawa.

Ketika menjelaskan pengaruh Islam bagi kesusatraan Jawa, Florida menolak pandangan umum kalangan sarjana Barat tentang Islam di Jawa, bahwa pengabaian terhadap bentuk-bentuk translasi Islam dalam konteks Jawa sebagai bagian dari upaya serius kaum kolonial memadamkan potensi perlawana kalangan pesantren dan kraton melawan para penjajah.

Penjelasan Florida menjurus ke trajektori demikian: subjek pembangkang Islam Jawa adalah tantangan bersama kaum kolonial bersama para kalaboratornya. Tidak ada jalan lain menundukkan paham Aswaja ala Indonesia selain menghabisi seluruh jaringan pengetahuan yang merupakan sumber utama dari susunan kedirian mereka. Projek akhir kolonial Belanda adalah mengupayakan “subjektivitas kekitaan” kaum Suni Indonesia kehilangan koneksi dengan ke-Indonesia-annya. Jika penjelasan ini dilanjutkan maka arahnya adalah: Berbeda dengan Inggri dan Prancis, Belanda terlebih dahulu melakukan konsiladasi kekuasaan kolonial melalui pengawasan militer dan eksploitasi kemanusiaan. Dan kontrol atas pengetahuan kauam terjajah dimatangkan pada fase lebih akhir, yakni abad-19 Masehi sehingga wajar disebut sebagai fase krusial, baik bagai kauam penjajah Belanda mauapun kalangan muslim Indonesia.

Bagi kalangan muslim Indonesia,babad-19 Masehi krusial karena fase genting dan krisis. Dalam hal berhadapan dengan kaum kolonial mereka sudah tidak tercerai-berai secara politik. Sisa-sisa kekuatan politik terdapat pada kelompok-kelompok tarekat di berbagai daerah yang kemudian pecah menjadi pemberontakan-pemberontakan kecil.

Baca juga:  Ibu Berakreditasi A

Dalam penjelasan para sejarawan disebutkan bahwa pemeberontakan kaum tarekat akhir abad-19 Masehi lebih disebabkan oleh situasi yang ekstrem yang ditimbulkan oleh kaum penjajah, seperti tanam-paksa dan sebagainya.

Secara kultural umat Islam Indonesia memiliki modal tipis tentang tradisi keberislaman pada masa sebelumnya. Pada saat bersamaan, inflitrasi paham dan praktek Islam imporan dari Timur-Tengah yang sinambung dengan politik modernisasi (lebih dekat dengan liberalisasi) kaum kolonial untuk mengasingkan umat Islam dari tradisinya sendiri.

Namun demikian, kalangan pesantren akhir abad-19 Masehi masih memiliki semangat dan rasa bangga dengan tradisi Islam Aswaja Indonesia, mereka berupaya tetap menyambungkan diri dengan tradisi Aswaja Wali Songo dan generasi seterusnya.

Artinya, pada saat itu, ulama pesantren dengan rendah hati mengakui hutang mereka pada ijtihad kebudayaan ulama, terutama pada abad 15 samapai abad 18 Masehi.

Penjelasan latar-belakang sosio-ekonomi-historis dari perlawanan kaum tarekat akhir abad-19 Masehi tetap siginifikan, tetapi tentu tidak memuaskan. Bagaimana pun pemberontakan itu juga dilandasi oleh semangat jihad (kosa kata yang paling ditakuti kaum penjajah sampai hari ini) yang tumbuh dari semangat melawan segala bentuk penindasan terhadap manusia yang diajarkan oleh Islam.

Dan kaum tarekat telah menerjemahkan jihad fi sabilillah itu sebagai suatu bentuk ‘kekesatriaan’ dalam ajaran tasauf. Semangat jihad melawan kaum penjajah itu bukan disebabkan oleh semangat meliniarisme seperti yang dijelaskan oleh Sartono Kartodirjo dalam bukunya tentang pembangkan petani Banten pada tahun 1880 Masehi.

Baca juga:  Hubungan Hindu-Islam: Merajut Tafsir Sejarah atas Petilasan Ki Ageng Mangir

Selama ini, penjelasan tentang kelahiran NU pada tahun 1926 selalu mengutamakan faktor eksternal, seperti penjelsan mengenai gelombang geopolitik paham dan gerakan keislaman yang beririsan dengan semangat kontrol kolonial Barat: gerakan pemabaharuan (tajdid) dan Wahabisme. Kaum reformis Islam dengan kaum Wahabi adalah dua kelompok berbeda tetapi terhubung karena semangat yang sama: de-mazhabisasi sebagai langkah menghabisi kesinambungan diri umat Islam dengan masa lalu.

Respon terhadap pembaharuan dan Wahabisme memang benar menjadi salah satu sebab kelahiran NU. Tapi upaya para ulama “Aswaja Jawi” pada akhir-19 Masehi menjaga kesinambungan tradisi mereka, termasuk menjaga semangat perlawanan kepada penjajah merupakan suatu teladan yang hari ini harus dilanjutkan oleh kalangan Nahdliyin.

Hari ini NU memiliki dua “sisa” kekuatan: jamaah yang besar (walau perlu dihitung dan ditaksir ulang) dan kejamaahan. Sementara sebagai organisasi NU masih babak-belur karena mis-manajerialisme.

Oleh karenanya, jika semata menelisik kekuatan NU dari segi keorganisasian maka tidak heran jika NU dinilai, seperti oleh Greg Felay, sedang nyungsep di berbagai lubang politik yang disediakan oleh rezim maupun kelompok kepentingan ekstraktif lainnya. Kemerosotan dan berbagai kelemahan organisasi yang harus dibenahi dengan serius karena tantangan NU semakin kompleks dari masa sebeleumnya. Demi keperluan itu, NU tidak perlu menyalahkan kelompok lain. Wallahu yaqulul haqq wayahdii ila sawaais sabiil.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)
  • Teringat film Lion of the desert, kisah tentang mursyid Tarekat yang memimpin perlawanan melawan penjajah.
    Memang serba repot, dianggap “nyungsep” karena ikut politik. dianggap “loyo” karena tak ikutan berpolitik.

    Jayalah dan Istiqomah selalu NU….. SELAMAT HARLAH KE-93.

Komentari

Scroll To Top