Dalam penanggalan Islam (hijriyah), bulan Sya’ban termasuk salah satu bulan yang dimuliakan. Sependek pengetahuan saya hal ini dikarenakan adanya beberapa peristiwa penting dalam sejarah Islam yang menjadikannya istimewa.
Diantara peristiwa penting itu adalah perubahan arah kiblat. Sebelum kiblat umat Islam menghadap ke Ka’bah, sebagaimana lazimnya para penganut agama samawi (Abrahamic religion) terdahulu, dalam beribadah, umat Islam masih menghadap ke arah Masjidil Aqsha di Palestina. Namun, melalui surat al-Baqarah (2) ayat 144, Allah kemudian mengubah arah kiblat menghadap ke Masjid al-Haram di Makkah. Menurut Quraish Shihab dalam “Tafsir Al-Misbah,” ayat ini diturunkan pada saat kanjeng Nabi sedang berada di sebuah rumah di kota Madinah yang belakangan rumah tersebut dijadikan sebagai masjid dan dikenal dengan nama Masjid Bani Salamah.
Peristiwa lain yang terjadi di bulan Sya’ban adalah turunnya wahyu yang menjelaskan anjuran bagi umat Islam untuk bersholawat kepada Nabi, yakni Alquran Surat al-Ahzab ayat 56. Selain dua peristiwa tersebut, peristiwa yang tidak kalah penting ialah diserahkannya amal ibadah manusia kepada Allah. Hal ini diterangkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam An-Nasa’i yang memuat dialog antara kanjeng Nabi dan Usamah bin Zaid. Saat itu, Usamah menanyakan perihal Nabi yang sering berpuasa di bulan Sya’ban. Lalu Nabi menjelaskan bahwa pada bulan tersebut seluruh amal manusia dilaporkan kepada Allah dan beliau ingin menutup buku amalnya dengan catatan yang baik dengan berpuasa.
Dari keseluruhan peristiwa yang menjadikan bulan Sya’ban begitu istimewa, tanpa menafikan peristiwa yang lain, agaknya peristiwa yang terakhir lah yang kemudian sangat berpengaruh pada budaya masyarakat kita, yang kemudian melahirkan tradisi baru.
Tradisi baru tersebut sepertihalnya yang dilakukan masyarakat muslim di daerah saya, Tuban-Jawa Timur. Dalam memperingati Nisfu Sya’ban (pertengahan bulan Sya’ban), masyarakat di tempat saya merayakannya dengan mengadakan slametan. Setiap keluarga membuat “Kupat” (ketupat) dan “Lontong” yang dijadikan sebagai sajian utama dalam acara slametan tersebut. Mereka membawa ketupat tersebut ke musala-musala kecil di sekitar rumah mereka dan melakukan doa bersama.
Adapun doa yang dibaca juga bervariasi, sebagian ada yang membaca tahlil atau istighosah, sebagian lain sebelum membaca tahlil atau istighosah, mereka membaca surat yasin sebanyak tiga kali terlebih dahulu.
Ketika saya iseng menanyakan kepada beberapa orang di lingkungan saya terkait alasan mengadakan tradisi khusus dalam memperingati Nisfu Sya’ban ini, kebanyakan dari mereka menjawab bahwa hal ini sebagai bentuk dari rasa syukur dan permohonan ampunan kepada Tuhan. Sedangkan secara khusus saat saya menanyakan terkait sajian khusus dengan membuat ketupat, kebanyakan dari mereka menjawab dengan mengatakan bahwa ini sudah menjadi tradisi sejak dahulu.
Bisa jadi tradisi peringatan Nisfu Sya’ban dengan menggunakan sajian ketupat ini terlihat asing bagi sebagian masyarakat lain, terutama mereka yang tinggal di wilayah urban atau perkotaan yang menggunakan ketupat saat Idul Fitri. Lebih lanjut, dalam perayaan Idul Fitri pun, ketika umumnya masyarakat perkotaan menyajikan ketupat tepat di hari raya, justru masyarakat di lingkungan saya membuat ketupat lebaran pada malam hari ketujuh setelah hari raya Idul Fitri. Pada praktiknya, sama seperti ketika perayaan Nisfu Sya’ban, mereka juga membawa ketupat tersebut ke musala dan mengadakan doa bersama.
Dari kedua penggunaan ketupat dalam merayakan hari besar keagamaan tersebut, bagi masyarakat di daerah saya, ketupat tidak lantas identik dengan lebaran karena faktanya ia dibuat dan disajikan tidak hanya pada saat lebaran. Namun, juga pada saat perayaan hari-hari besar lain dalam tradisi Islam.
Hal ini bisa jadi karena merujuk pada filosofi kupat atau ketupat itu sendiri yang bagi sebagian orang diartikan sebagai ngaku lepat. Istilah tersebut berasal dari bahasa Jawa yang artinya adalah “mengakui kesalahan”. Jika demikian, maka akan dapat ditemukan titik temu antara penggunaan ketupat pada kedua momen tersebut, yakni, sebagai simbol pengakuan dosa atau kesalahan serta permohonan ampunan.
Sebagaimana yang telah saya singgung sebelumnya bahwa pada malam Nisfu Sya’ban, semua catatan amal perbuatan manusia yang baik maupun buruk diserahkan kepada Allah. Maka dengan menyajikan ketupat, masyarakat muslim di sini–selain melalui doa–juga mengekspresikan pengakuan kesalahan mereka dan permohonan ampunan melalui sajian ketupat.
Pun demikian pada saat perayaan Idul Fitri yang esensinya mereka seperti terlahir kembali sebagai insan yang suci, bersih dari dosa, khususnya pada sesama manusia yang diekspresikan dengan tradisi saling meminta maaf. Sedangkan ketupat Idul Fitri pada titik ini, setidaknya, saya melihat bahwa ia berfungsi sebagai bentuk ekspresi pengakuan dosa dan permohonan maaf kepada Tuhan yang Maha Kuasa.
Akhirnya, dari tradisi ketupat baik pada peringatan Nisfu Sya’ban maupun hari raya Idul Fitri dapat dilihat bahwa masyarakat Islam Indonesia seringkali mengekspresikan ketaatan terhadap nilai relijiusitas melalui simbol-simbol yang kemudian mampu memperkaya tradisi dan kearifan lokal. Wallahu a’lam