Di ruangan masjid-masjid hari ini kerap akan dijumpai bahkan dapat dipastikan semua masjid memiliki tabir dalam wujud kain atau kayu yang biasanya dijadikan sekat antara jamaah laki-laki dan perempuan. Posisi jamaah perempuan dalam masjid kerap ada di belakang jamaah laki-laki tapi sebagian ada di samping jamaah laki-laki dengan dipisah tabir.
Dalam masjid, laki-laki biasanya mendominasi ruangan dan gagasan. Hal itu bisa dilihat dari nama-nama laki-laki yang memenuhi dalam kepengurusan masjid. Kepengurusan itu mulai dari pengurus inti sampai pengurus pelengkap. Termasuk tentu saja imam, pengkhutbah, muazin, dan takmir, semuanya dapat dipastikan dari kalangan laki-laki.
Kondisi seperti inilah yang menyulitkan perempuan untuk mendengarkan ceramah yang sedang berlangsung termasuk kesulitan untuk bertanya dan berdiskusi banyak di dalam masjid, khususnya yang sangat terkait dengan masalah keperempuanan. Untuk mengadakan pengajian yang menggirangkan, jamaah perempuan harus membuat agenda dengan waktu terpisah. Ada sekat-sekat yang terlalu kaku di dalam masjid meski disadari masjid adalah ruang gagasan dan kebudayaan tanpa pandang laki-laki atau perempuan. Tuhan tak pernah membedakan perempuan atau lelaki, apalagi mengistimewakan salah satunya, apalagi menganggap yang lain lebih berkuasa.
Di dalam masjid, perempuan tentu tidak hanya ingin menjadi objek tapi juga pelaku. Hal ini terbukti dengan berdirinya Womens Mosque of America, masjid khusus perempuan di Los Angeles, California, Amerika Serikat. Berdirinya masjid ini diawali dengan keinginan perempuan Muslim di Amerika yang merasa terpinggirkan dan tidak puas karena kesempatan bergerak yang sempit dalam masjid. Posisi jamaah perempuan yang ada di belakang jamaah laki-laki dan adanya tabir kerap membuat perempuan kurang bisa menyimak dengan jelas apa yang disampaikan oleh pengkhutbah (Republika, 09/02/2015).
Masjid yang berhasil didirikan di Los Angeles, sebuah kota yang sering dianggap sebagai sarang maksiat oleh sebagian orang Islam (kita mungkin masih ingat Tentu hal ini akan berbeda dengan ulama perempuan feminis Aminah Wadud yang menjadi imam salat Jumat), menjadi pusat peribadatan yang memuaskan bagi perempuan Muslim di Amerika.
Struktur kepengurusan dan pengelolaan masjid sepenuhnya dilaksanakan oleh perempuan. Namun, sesekali juga akan mengundang pengkhutbah dari kaum laki-laki.
Kisah masjid khusus perempuan di negeri Paman Sam, yang terkenal dengan gerakan beberapa corak feminisme termasuk feminisme Islam, tidak mengejutkan, juga bukan yang pertama di dunia.
Dalam penelitian sejarah Indonesia, dalam buku Fragmenta Islamica, G. F. Pijper (1987) menarasikan masjid perempuan di Jawa. Lewat buku ini, Pijper menceritakan tentang sebuah masjid perempuan di Kauman, Yogyakarta. Masjid perempuan itu adalah masjid yang didirikan oleh Aisyiah, organisasi perempuan Muhammadiyah dan termasuk masjid perempuan pertama di negara Islam.
Kemudian cabang ‘Aisyiah di Garut mendirikan Masjid Istri pada 1 Februari 1926. Masjid perempuan yang ketiga didirikan di Karangkajen, sebuah kampung di luar Yogyakarta pada 1927, dengan biaya 6000 gulden. Kemudian, juga didirikan masjid perempuan di Kampung Suronatan, Yogyakarta. Di Jawa Timur, masjid perempuan didirikan di kampung Plampitan, Surabaya. Di Solo sendiri, ada di kampung Keprabon. Juga, ada masjid perempan di Ajibarang, daerah Kabupaten Purwokerto (Pijper, 1987: 3-4).
Kepengurusan di dalam masjid itu dikerjakan oleh perempuan. Bahkan, ada perempuan lanjut usia yang memang mengemban tugas untuk membunyikan kentongan dalam lima waktu sehari dan termasuk saat jadwal salat tahajud yang dilaksanakan sekali dalam seminggu. Di masjid desa antara waktu Maghrib dan Isya barangkali masih bisa kita temui tokoh agama yang masih mengajari anak-anak kampung sekitar membaca Alquran, di masjid perempuan di Kauman ini ada pengajian agama yang dipimpin oleh seorang ustaz.
Seiring waktu, ada pengalihan kepercayaan dalam urusan materi agama, dua orang perempuan telah dipercayai untuk mengganti dan melanjutkan pembelajaran keagamaan dalam masjid. Maka, sempurnalah masjid perempuan ini dengan sepenuhnya dikelola perempuan baik dari yang menjaga masjid siang-malam, memukul kentongan, menjadi imam, dan yang menjadi pengajar. Perempuan memegang otoritas kekuasaan dan otoritas keilmuan dalam masjid-masjid perempuan ini.
Berdirinya masjid perempuan di Amerika atau dominasi lelaki di masjid-masjid mutakhir Indonesia menjadi bukti adanya penyempitan ruang perempuan dalam tempat ibadah. Masjid yang dipercayai sebagai rumah Tuhan Yang Mahaadil dan menjadi tempat terkabulnya doa dianggap memiliki unsur ketidakadilan. Perempuan tentu akan kesulitan untuk melampaui tabir-tabir yang ada di dalam masjid itu. Mereka tetap akan berdakwah pada sesama jenis. Penyempitan ruang pada akhirnya juga akan membatasi dakwah dan laku keseharian perempuan dalam beribadah dan bersosial di masjid.