MALAIKAT penjaga surga terheran-heran melihat kumpulan manusia bersayap mirip burung tengah mengelilingi tembok-tembok sorga. Sebelumnya, belum pernah malaikat penjaga melihat mereka.
“Siapa kalian?” tanya malaikat penjaga.
“Kami umat Muhammad Saw,” jawab mereka tandas.
“Sudah dihisab?” tanya malaikat lagi
“Belum”
“Kalian sudah lewati jembatan?” malaikat memberondong pertanyaan
“Belum,” jawab mereka tenang.
Malaikat bingung, kok bisa orang-orang itu tiba di surga tanpa dihisab dan melewati jembatan (shirat). “Bukankah itu SOP umum manusia menuju surga?” mungkin begitu pertanyaan yang berputar-putar di pikiran Malaikat.
“Bima wajadtum hadizhi ad-darajat, apa sih sebabnya kalian dapat derajat macam ini?” tanya Malaikat yang menunjukan rasa kekaguman.
“Kami menyembah Allah di dunia dengan cara diamdiam (sirri) dan kami dimasukan ke dalam surga Allah secara diam-diam di akhirat,” jawab kumpulan manusia bersayap itu.
Kisah yang diambil dari Hadis ini bisa Anda temukan dalam kitab Durratun Nasihin (Mutiara Para Penasihat). Ini kitab karangan Syeikh Utsman bin Hasan bin Ahmad Syaikh al-Khaukbawi, ulama bermazhab Hanafi.
Hadits itu ia kutip saat membahas keutamaan berpuasa. Sebelum kisah ini, Syeikh Utsman mengutip Hadis Qudsi yang popular dan saban Ramadan dikutip para pendakwah dalam kultum: kullu ‘amalibni adama lahu illa ash-shauma fainnahu li wa ana ajzi bihi: setiap amal perbuatan anak Adam untuknya kecuali puasa, puasa untuk-Ku dan Aku sendirilah yang akan membalasnya.
Berdasarkan nash ini, kita bisa melakukan sebuah perenungan terkait apakah dengan perilaku merasa membela Allah bisa dianggap sebuah kebajikan?
Mungkin maksudnya tuhan itu terdakwa dan mesti dibela, sedang mereka berlagak sebagai pengacara kudus yang menjadi pemegang tunggal kebeneran di muka bumi. Barangkali…
Wallahu ‘alam bissawab. .