Bermula dari tinjauan teologis yang dilakukan oleh Aksin Wijaya yang berlanjut terhadap beberapa pokok bahasan realitas mutakhir. Wacana keagamaan yang beberapa tahun belakangan memiliki dinamika yang luar biasa juga tidak luput dari tilikan. Antara lain yang berhasil ditilik adalah kasus kekerasan atas nama agama. Dalam perjalanan keagamaan di Indonesia belakangan—khususnya Islam—justru semakin lekat dengan kekerasan.
Semula, Aksin membagi dua macam kekerasan, antara fisik dan wacana. Di Indonesia, kedua entitas ini sama-sama dominan. Namun, di era media sosial, kekerasan wacana justru lebih sering menjamur.
Dalam salah satu judul tulisannya, Nalar Agamaisasi Kekerasan ke Nalar Agamaisasi Kedamaian, Aksin menampilkan bagaimana sejatinya corak beragama yang ideal. Ia memaparkan dengan sangat rinci perihal kekerasan atas nama agama serta nalar yang dibangun di dalamnya.
Ia menyinggung bahwa beberapa kelompok yang melemparkan wacana ini banyak terpengaruh pemikir di masa lalu yang nyaris selaras. Kemudian, menjadi semacam ideologi dan lantas menjadi pakem tetap untuk membenarkan aksin kekeresan itu. Di saat yang sama kekerasan mereka seringkali dilegitimasi oleh nas-nas al-Quran.
Ia lantas memberikan sebuah alternatif, meski tidak bisa dibilang baru, yakni beragama dengan damai. Ia dengan sangat hati-hati berusaha untuk merobohkan nalar yang digunakan beberapa kelompok dalam melakukan kekerasan yang kemudian menggantinya dengan nalar kedamaian.
Sejatinya, beragama memang harus dan akan mengantarkan para pemeluknya terhadap kedamaian di tengah-tengah kerajaan bumi, bukan malah sebaliknya. Maka, ketika ada satu hal yang membuat resah(umpama kekerasan itu) harus ditelaah kembali. Yang salah adalah agamanya atau pemahamanan dan nalar dalam memahami agama itu sendiri?
Itu adalah tinjauan teologis yang ditampilkan di bagian awal yang kemudian dilanjutkan dengan tinjauan filosofis. Dalam hal ini yang berperan besar dalam membantu tinjauan filosofis tidak lain adalah “hermeneutika”. Aksin berani melakukan pembacaan ulang terhadap al-Quran dengan sangat filosofis, baik dari segi bahasa maupun selubung konteks di dalamnya.
Ia menggunakan beberapa perangkat heremenutik untuk kembali membongkar makna di dalam al-Quran dan mendapatkan pemaknaaan yang lebih segar. Bab ini yang tidak kalah menarik dari bab sebelumnya yang meninjau aspek teologis dalam masyarakat Indonesia. Namun, tinjauan yang dilakukan Aksin ini bukan berarti dapat diterima dengan lapang, justru—sebagaimana diakui penulisnya sendiri—menjadi hal yang kontroversial.
Pembahasan yang terakhir yakni aspek sosiologis dan bahkan ekonomis yang dilakukan oleh Nur Rif’ah Hasaniy dan Tati Nur Pebiyanti secara bergantian. Dalam beberapa bab, kedua penulis muda ini menilik krisis yang menurut saya memang pantas untuk ditilik. Semisal apa yang dilakukan oleh Nur Rif’ah, dengan menilik kembali tragedi mengenaskan yang menimpa Salim Kancil di Lumajang.
Perspektif yang dibangun tidak lain adalah problem sosio-ekonomis yang menjadi titik pijak hal tersebut. Kemudian dilanjutkan juga dengan tilikan terhadap salah satu sengketa di Ponorogo yang diberi judul Melompati Pagar Tembok(hlm.85).
Sementara Tati, lebih tefokus pada aspek ekonomis. Hal ini dapat dilihat misalnya ketika ia membuka tulisan pertamanya di buku ini terhadap realitas rakyat miskin kota. Ia menjabarkan dampak dari pandemi covid-19 terhadap aspek ekonomis dari masyarakat miskin. Di sini Tati memang lebih mengarahkan kacamatanya terhadap krisis yang dialami masyarakat di tengah pandemi.
Krisis ini yang sering banyak dilupakan oleh banyak pihak, utamanya oleh pihak yang berwenang. Karena, di tengah pembatasan dalam mencari nafkah, tentu sisi ekonomi dari mayoritas warga justru tercegat. Maka, sudah sepantasnya orang-orang terdampak ini mendapat perhatian yang lebih.
Dari ketiga sisi tersebut, buku ini bisa diklaim sebagai catatan yang kompleks terhadap realitas keindonesiaan. Ketiga penulis yang berkolaborasi dan terfokus dengan bahasan masing-masing menjadikan buku ini kaya akan perspektif. Dari ketiga perspektif yang dibangun yang lebih menonjol justru aspek teologis-agamis.
Namun, itu tidak menutup kemungkinan bahwa sisi-sisi humanis juga ditampilkan dari arah teologis-agamis tersebut. Dengan ini ketika diajak untuk menyelami Indonesia lebih dalam, menjumpai setiap krisis-krisis yang banyak tidak dilirik oleh beberapa pihak. Patut diakui dari ketiga sisi di atas, kita sedang mengalami krisis yang serius.
Judul Buku : Berislam dengan Berkemanusiaan
Penulis : Aksin Wijaya, Nur Rif’ah Hasaniy, Tati Nur Pebiyanti
ISBN : 978-623-616-610-9
Tahun : April, 2021
Penerbit : IRCiSoD