Di pelajaran Fiqih kelas 6 MI ada BAB tentang makanan dan minuman yang halal dan haram. Di pelajaran PAI (Pendidikan Agama Islam) kelas 8 SMP juga ada BAB tentang makanan dan minuman yang halal dan haram.
Kesamaan dari siswa MI kelas 6 dan SMP kelas 8 ketika belajar tentang BAB itu adalah sama – sama mempertanyakan halal atau haramnya makanan, khususnya daging hewan, yang jauh dari keseharian mereka. Misalnya, kalau hewan buas dan bertaring haram, terus ikan hiu itu halal atau haram jika dimakan ?
Pertanyaan semacam itu, walaupun agak sedikit berbeda, juga pernah saya temui ketika saya masih sekolah SMK dulu. Teman saya bertanya kepada saya, kalau anjing tidak diharamkan di dalam Al-Qur’an mengapa daging anjing haram?
Di sini saya tidak sedang membahas secara Fiqih apa hukum dari hewan – hewan yang ditanyakan itu. Saya kira hal lain yang perlu digarisbawahi dari pertanyaan – pertanyaan tersebut adalah, ketika sedang membahas tentang halal dan haram banyak yang seringkali terjebak kepada bendanya. Sangat sedikit orang yang kritis pada sisi lainnya.
Selanjutnya, saat terjebak pada cara pandang seperti itu dan pada prosesnya merasa perlu mencari penjelasan , biasanya orang akan mencari penjelasan dari sudut pandang lain yang dirasa logis. Alternatif mainstream yang sering dipakai adalah sudut pandang ilmu kesehatan modern. Misalnya, daging babi haram karena mengandung cacing pita. Muaranya adalah cacing pita itu akan masuk tubuh si pemakan. Membuat si pemakan tidak sehat. Kalau fatal bisa meninggal.
Bisa saja dipakai. Namun, terkadang menjadi kurang tepat. Kesehatan modern hanya berhenti pada pemahaman bahwa hidup itu baik, mati itu buruk. Orang hidup karena tidak sakit. Orang mati karena sakit.
Padahal, tidak pasti seperti itu. Hidup cepat atau lama dikatakan baik atau buruk tergantung kualitas hidupnya. Kualitas hidup tergantung dari kemanfaatan yang diupayakan. Hidup lama tapi tidak mengupayakan manfaat untuk pihak lain selain dirinya bisa dikatakan kurang berkualitas. Hidup sebentar tapi berupaya secara sungguh – sungguh untuk menjadi manusia yang bermanfaat saya kira malah lebih berkualitas.
Bahkan, kalau masalah daging tadi ditarik ke sehat atau tidak yang akhirnya bermuara pada hidup lama atau tidak belum tentu seperti yang dibayangkan banyak orang sisi negatifnya. Banyak orang makan daging babi tapi umurnya lebih lama daripada yang tidak.
Jika diperluas lagi, umur seseorang pun tidak tergantung sakit atau sehatnya. Banyak orang hidup lama walaupun punya penyakit parah. Banyak orang hidup sebentar walaupun dia sehat.
Pun, sakit atau sehat belum tentu menandakan baik atau buruknya seseorang dalam kehidupan. Bisa jadi karena sakit justru membuat seseorang dekat dengan Allah.
Halal dan haram, menurut saya bukan sekadar apakah sebuah makanan atau minuman boleh dimakan atau tidak menurut legitimasi Allah. Tetapi juga tentang akhlak dan pendidikan.
Nabi Muhammad mengatakan, innama bungitstu liutammima makarimal akhak. Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak. Dari kalimat itu kita bisa tahu bahwa selain hukum Fiqih hal utama yang harus diutamakan manusia adalah akhlak. Apa gunanya ilmu Fiqih tinggi tetapi tak ada keluaran akhlak yang baik dalam hidup bermasyarakat ?
Di dalam puasa nilai akhlaknya banyak. Ada sabar, gigih, tenang, rendah hati. Nilai pendidikannya adalah mendidik manusia untuk mencapai akhlak yang saya sebutkan. Di dalam hukum halal dan haram pada makanan dan minuman salah satu nilai akhlaknya adalah berlatih membatasi apa yang dimakan dan diminum.
Sebagaimana yang kita ketahui, manusia itu masuk ke dalam kategori omnivora. Pemakan segala. Bahkan terkadang ada anomali – anomali yang muncul. Seperti, ada seorang ibu hamil ngidam sabun. Akhirnya ia memakan sabun. Tidak sakit. Si ibu tetap sehat.
Manusia berpotensi menjadi manusia yang rakus dalam urusan makan dan minum. Rakus adalah teman dekat serakah. Serakah adalah sahabat sombong. Dan sombong tidak jarang menghasilkan perilaku dzolim.
Agaknya kita dibatasi makanannya dengan cara memakan – makanan yang diperbolehkan saja karena kita sedang didik supaya berakhlak baik. Lebih tepatnya supaya tidak rakus, serakah, sombong dan dzolim. Dimulai dengan membatasi apa yang dimakan.
Kalau sadar akan hal tersebut, saya yakin dengan sendirinya kesadaran untuk membatasi akan makan muncul begitu saja. Tanpa perlu ada pembatasan atau pengekangan yang berarti. Sehingga kriteria halal dan haram menurut Allah bisa kita sikapi biasa saja. Tidak berlebihan. Dan tidak menghasilkan kebingungan – kebingungan yang memperkeruh pikiran.
Makanan tidak pernah tertinggala dalan tradisi keagamaan