Praktik zero waste diharapkan menjadi solusi penanganan sampah, tapi bisa menjadi ilusi belaka jika tidak memahami konsepnya, juga cara implementasinya. Zero waste lifestyle (gaya hidup bebas sampah) masih ada segelintir kalangan yang mengartikannya secara harfiah, yakni nol sampah. Namun, bukan sebuah kesalahan juga apabila diartikan seperti itu.
Pada tahun 2023, World Bank merilis sebuah laporan yang bertajuk The Atlas of Sustainable Development Goal 2023, salah satu dari laporan tersebut membahas tentang jumlah timbulan sampah internasional pada tahun 2020.
Dari data tersebut, Tiongkok menduduki posisi pertama sebagai negara penyumbang timbulan sampah terbesar, yakni sebanyak 395,1 juta ton. Sedangkan, Indonesia berada di posisi kelima, yakni sebanyak 65,2 juta ton timbulan sampah.
Dikutip dari laman Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), jumlah timbulan sampah di Indonesia pada tahun 2023 sebanyak 38,3 juta ton, yakni ada penurunan sebanyak 26,9 ton. Dari data ini sebenarnya kita harus berintrospeksi diri perihal menekan jumlah timbulan sampah.
Konsep gaya hidup bebas sampah sebenarnya bertujuan untuk meminimalkan jumlah timbulan sampah. Zero Waste International Alliance menjelaskan bahwa zero waste adalah konservasi semua sumber daya dengan cara produksi, konsumsi, penggunaan kembali dan pemulihan produk, pengemasan tanpa pembakaran dan tanpa pembuangan ke tanah, air atau udara yang dapat mengancam lingkungan maupun kesehatan manusia itu sendiri.
Inti dari definisi di atas adalah pengelolaan dan penggunaan barang hingga bekas barang guna (sampah) untuk kemaslahatan bersama. Dengan adanya zero waste, diharapkan dapat meningkatkan kesadaran tentang kepedulian kita dalam permasalahan pengelolaan sampah guna menekan jumlah timbulannya.
Konsep yang bukan sekadar ilusi
Ada beberapa hal mengapa gaya hidup zero waste sangat bernilai positif, seperti mengurangi timbulan sampah, hingga mencegah timbulnya penyakit apabila dilihat dari sisi sempit. Apabila dilihat dari sudut pandang yang lebih luas, gaya hidup ini juga berpengaruh dalam pencegahan perubahan iklim yang disebabkan oleh penumpukan gas rumah kaca. Sedangkan emisi gas rumah kaca sendiri salah satunya bersumber dari penumpukan sampah yang tak terkelola di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA).
Gaya hidup zero waste juga berperan penting dalam menekan potensi timbulan gas rumah kaca di TPA. Perlu diketahui, adanya konsep refuse, reduce, reuse, recycle, rot (5R) dalam konsep zero waste sangat berpengaruh dalam meminimalkan jumlah timbulan sampah di TPA.
Memilah sampah juga berperan penting dalam meminimalkan potensi emisi gas rumah kaca. Komposisi dan karakteristik pada sampah dapat digunakan untuk memperkirakan emisi gas rumah kaca. Metana berkontribusi 15-20 persen terhadap efek rumah kaca, dan oleh karena itu pengaruh ini tidak dapat diabaikan. Sumber-sumber metana mencakup lahan persawahan, peternakan sapi, industri minyak dan gas, serta TPA. Karena besarnya efek rumah kaca gas metana, usaha-usaha penanggulangannya seharusnya diarahkan kepada pengendalian sumber-sumber emisi metana tersebut. (Suprihatin, Indrasati, & Romli, 2008)
Sehingga, sampah yang akan ditimbun di TPA merupakan residu dan jumlahnya lebih sedikit karena telah melalui proses pemilihan, bahkan penerapan 5R.
Dalam praktiknya, beberapa negara sudah menerapkan konsep zero waste. Menurut data dari Waste4Change, Jerman merupakan negara dengan pengelolaan sampah terbaik di dunia. Selama dua dekade terakhir, negara ini sudah berupaya meningkatkan kesadaran bahwa sampah bisa menjadi sumber bahan baku dan energi yang bermanfaat. Sehingga, masyarakat hingga pemerintah saling bahu-membahu untuk menjawab persoalan tentang masalah sampah.
Di Indonesia sendiri, zero waste masih belum merata. Data dari Mongabay menyebutkan bahwa masih 7 (tujuh) wilayah saja yang telah menjalankan program ini, yakni Kota Cimahi, Kota Bandung, Kota Denpasar, Kabupaten Gresik, kabupaten Bandung, Kabupaten Karawang, dan Kabupaten Purwakarta.
Dalam upaya memaksimalkan konsep zero waste, perlu adanya pemahaman dan praktik seputar hierarki pengelolaan sampah. Konsep tren masa depan hierarki pengelolaan sampah ini diilustrasikan sebagai segitiga terbalik, yakni bobot dari terbesar ke terkecilnya adalah pencegahan, penggunaan kembali, daur ulang, sampah menjadi energi, dan landfill (TPA).
Perjalanan sampah menuju ke TPA harusnya melalui beberapa tahap di atas. Apabila hanya mengandalkan TPA sebagai solusi dalam mengatasi timbulan sampah, berapa lama lagi gas rumah kaca yang terperangkap pada sampah di TPA akan meledak dengan sendirinya? Berapa luas tanah lagi di masa depan yang hanya digunakan untuk menumpuk sampah saja?
Gaya hidup sangat berpengaruh dalam upaya menekan jumlah timbulan sampah, beberapa diantaranya yang paling mudah seperti jangan berlebih-lebihan dalam berbelanja yang tidak diperlukan dimana hal ini nantinya juga akan menimbulkan sampah. Secukupnya saja. Dalam hal ini, Islam mengajarkan kita untuk tidak boros (mubadzir), seperti dalam ayat:
اِنَّ الْمُبَذِّرِيْنَ كَانُوْٓا اِخْوَانَ الشَّيٰطِيْنِۗ وَكَانَ الشَّيْطٰنُ لِرَبِّهٖ كَفُوْرًا ٢٧
Artinya: “Sesungguhnya para pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al-Isra’: 27)
Dalil di atas merupakan salah satu contoh dalam penerapan praktik mengurangi potensi timbulan sampah (reduce) dengan tidak menghambur-hamburkan uang untuk berlebihan dalam berbelanja yang tidak sesuai dengan kebutuhannya. Praktik ini juga bisa dikatakan yang paling mudah dalam mengurangi timbulan sampah.
Jika dibaca dan dipahami, bagi orang awam akan menyimpulkan bahwa betapa ribetnya konsep zero waste, terutama 5R ini, meskipun dirasa sangat penting. Bahkan bingung untuk memulainya. Namun, dalam Islam terdapat kaidah fikih: ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu (sesuatu yang tidak dapat dicapai secara keseluruhan, maka jangan ditinggalkan seluruhnya).
Dalam praktiknya, semisal tidak bisa mempraktikkan 5R secara menyeluruh, maka bisa diterapkan hanya reduce, reuse, recycle (3R) saja. Apabila masih dirasa berat, setidaknya dapat menjalankan salah satunya.
Konsep zero waste bisa hanya sebagai ilusi atau bahkan praktik yang sungguhan. Akan menjadi ilusi saja jika tidak paham caranya. Sedangkan dapat menjadi sungguhan apabila dapat dipahami dan bisa mempraktikkannya, meskipun hanya satu model upaya.