Sedang Membaca
Tafsir Surah Al-Ma’un (Bagian 5)
Rizal Mubit
Penulis Kolom

Guru Ngaji di Kampung. Pengajar di Universitas Kiai Abdullah Faqih Manyar Gresik, Jawa Timur. Alumni Pusat Studi Qur'an Ciputat dan Pascasarjana IAIN Tulungagung prodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir. Menulis sejumlah buku bertema keislaman. Peneliti Farabi Institute.

Tafsir Surah Al-Ma’un (Bagian 5)

Pada ayat sebelumnya telah dijelaskan bagaimana ciri-ciri orang yang salatnya hanya akan membawa celaka bagi pelakunya sendiri karena salatnya tidak disertai kesadaraan hatinya, maka di ayat enam ini Allah melanjutnya firmannya bahwa di samping orang-orang yang lalai dalam salatnya dia juga riya, mereka ingin dilihat orang bahwa salatnya khusyuk.

Orang-orang yang bila menyantuni anak yatim dia bermuka manis, bila memberi makan fakir miskin ia sangat antusias, tetapi mereka hanya ingin dilihat dan dipuji. Disebabkan karena riyanya itu, kalau orang tidak mengujinya atau berkurang sedikit dari yang biasa ia terima, maka ia berhenti itu melakukan perbuatan tersebut.

Sejalan dengan uraian di atas, Hamka menafsirkan, “Orang-orang yang riya pada ayat enam ini termasuk pendusta agama, kadang ia bermuka manis kepada anak yatim, menganjurkan memberi makan fakir miskin, kadang terlihat khusyuk’ salat, tetapi semua itu dikerjakannya karena agar dilihat dan dipuji orang lain.”

Lebih lanjut Ahmad Mustafa menjelaskan, “Mereka melakukan perbuatan-perbuatan itu hanya karena ingin mendapat pujian orang lain. Tetapi hati mereka sama sekali tidak mengetahui hikmah dan rahasia-rahasianya.”

Menurut Syekh Imam Al-Qurthubi, “Makna hakiki dari kata riya adalah mengharapkan sesuatu yang bersifat duniawi melalui ibadah, dan makna awal dari kata ini adalah mencari kedudukan di hati manusia.”

Baca juga:  Tafsir Alquran Khawarij, Sejarah Kelam Umat Islam

Dalam Tafsir Al-Jailani, ayat tersebut ditafsirkan dengan, “Orang-orang yang berbuat riya  dalam salatnya dengan cara menunaikan salat dengan penuh kekhusyukan saat berada di depan umum. Namun meninggalkan salat saat mereka sedang sendiri karena ketidaksiapan dan ketidakyakinan mereka terhadap perintah salat dengan balasan yang dihasilkan darinya, serta karena peremehan dan kemalasan mereka untuk mengerjakan salat yang merupakan tiang agama dan gambaran tauhid dan keyakinan yang tertinggi.

Pengertian riya yang sebenarnya menurut Ahmad Mustafa Al-Maraghi adalah mengharapkan keduniaan dengan kedok ibadah untuk mempertahankan kedudukannya di mata masyarakat.

Kurangnya iman dan keingkaran terhadap balasan dari Allah akan memunculkan salah satu unsur kepura-puraan dan kemunafikan dengan mengabaikan ganjaran dari Allah dan hanya memperhatikan keridhaan makhluk lain.

Riya adalah sesuatu yang tidak terlihat atau bersifat abstrak, sangat sulit dapat dideteksi oleh orang lain, bahkan yang bersangkutan sendiri tidak menyadarinya. Riya diibaratkan sebagai semut kecil hitam berjalan dengan perlahan di tengah kelamnya malam di tubuh seseorang.

Dari keterangan di atas maka dapat dipahami bahwa penyebab rusaknya ibadah kita adalah perbuatan riya, yakni hilangnya makna dan nilai dari ibadah yang dilakukan. banyak dari kita yang tidak menyadari bahwa kita sering kali berbuat ria dengan cara bercerita dengan teman-teman kita atas kebaikan yang telah kita lakukan, menganggap diri paling baik, dengan kalimat pembuka “Bukannya mau sombong ya, saya cerita ini dan itu…”, menulis status di media sosial tentang ibadah yang kita lakukan, dan lain sebagainya, Hal ini hanya akan menghapus esensi dari tujuan ibadah yang kita lakukan walau secara teknis salat kita sudah sah. Berkaitan dengan ini Rasul pernah bersabda yang artinya, “Riya itu amatlah samar dibanding derapnya semut hitam di kegelapan malam yang merayap di pakaian hitam yang kasar.”

Baca juga:  Kenangan Ngaji Selama Ramadan di Pondok Pesantren Fadlun Minalloh

Quraish Shihab menyebutkan mengapa riya dan menghalangi pemberian bantuan merupakan tanda tidak menghayati makna dan tujuan salat? Salat berintikan doa bahkan itulah arti harfiahnya. Doa adalah keinginan yang dimohonkan kepada Allah swt. atau, dalam artinya yang lebih luas, salat adalah “permohonan yang diajukan oleh pihak yang rendah dan butuh kepada pihak yang lebih tinggi dan mampu”.

Jika anda berdoa atau bermohon, Anda harus merasakan kelemahan dan kebutuhan Anda di hadapan Dia yang kepada-Nya Anda bermohon. Dapat disimpulkan bahwa salat menggambarkan kelemahan manusia dan kebutuhannya kepada Allah, sekaligus menggambarkan keagungan dan kebesaran-Nya. Kalau demikian, wajarkah bahkan mampukah manusia menipu-Nya? Mereka yang berbuat demikian tidak menghayati esensi salatnya serta lalai dari tujuannya.

Yang melaksanakan salat adalah mereka yang butuh kepada Allah serta mendambakan bantuan-Nya. Kalau demikian, wajarkah yang butuh ini menolak membantu sesamanya yang butuh, apalagi jika ia memiliki kemampuan? Bukankah Nabi saw. telah bersabda: “Allah akan memberi pertolongan kepada seorang selama ia memberi pertolongan kepada saudaranya.” Jika ia enggan memberi pertolongan, pada hakikatnya ia tidak menghayati arti dan tujuan shalat, seperti yang diuraikan di atas.

 

Sumber:

Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab

Tafsir al-Qurtubi Karya Imam Al-Qurthuby

Baca juga:  Perdebatan Ahli Mantiq Perihal Cara Memuji Allah

Tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka

Tafsir Al-Maraghi Karya Syekh Ahmad Mustafa Al-Maraghi

Tafsir Al-Jailani karya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top