Sedang Membaca
Humor Malam Pertama Mufasir Terkemuka Bermazhab Mu’tazilah
Muhammad Faisol
Penulis Kolom

Menyelesaikan studi di Sastra Arab UGM (S1), di UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta (S2), dan program doktoral di UIN Pekanbaru. Kini mengajar di IAIN Jember, Jawa Timur. Menyenangi buku sastra dan bahasa Arab

Humor Malam Pertama Mufasir Terkemuka Bermazhab Mu’tazilah

Namanya adalah Abul Qasim Mahmud bin Umar az-Zamakhsyari al-Khawarazmi. Ia digelari dengan Fakhr al-Khawarazmi (Kebanggaan Khawarazmi, tempat ia lahir). Sang alim dalam beragam ilmu itu juga dikenal dengan gelar Jarullah (tetangga Allah), karena dalam beberapa waktu pernah bermukim di Mekkah.

Ia lahir di desa Zamakhsyar pada 27 Rajab 467 H. Oleh karena itu penulis tafsir al-Kasysyaf itu biasa dipanggil az-Zamakhsyari. Ulama yang ahli bahasa itu wafat pada malam Arafah tahun 538 H.

Di waktu az-Zamakhsyari masih muda, di desanya ada seorang ulama yang ahli kedokteran, bahasa, dan sastra. Ulama itu bernama Abu Mudlar bin Jarir al-Asbihani. Ia memiliki banyak murid yang kelak juga pakar dalam bahasa dan sastra, termasuk di dalamnya Jarullah az-Zamakhsyari.

Abu Mudlar inilah yang membawa dan menyiarkan paham dan ajaran Mu’tazilah ke Khawarazmi. Ajaran Mu’tazilah kemudian tersebar luas di Khawarazmi dan mendapat banyak pengikut, dan salah satu pengikutnya yang sangat bersemangat adalah murid terpentingnya: az-Zamakhsyari. Bahkan sang guru berulang kali memuji murid kesayangannya itu.

Menurutnya, az-Zamakhsyarilah yang akan mewarisi dan melanjutkan perjuangannya menyebarkan paham Mu’tazilah.

Para penulis biografi meluksikan az-Zamakhsyari sebagai: imam dalam tafsir, nahwu, bahasa, sastra, balaghah, sosok yang luas ilmunya, jenius, pribadi dengan puncak kecerdasan, matang dalam beragam ilmu, bermazhab Hanafi, dan berpaham Mu’tazilah.

Baca juga:  Humor Santri: Penjelasan Suka yang Melenceng

Khusus tentang Mu’tazilah ini, az-Zamakhsyari begitu bersemangat dan terang-terangan “berkampanye”. Bahkan jika ia berkunjung ke salah seorang yang dikenalnya, setelah di depan pintu dan mengucapkan salam, az-Zamakhsyari lalu berkata, “Di depan pintu ini adalah Abul Qasim, sang Mu’tazily.”

Az-Zamakhsyari memang dikenal berpaham bahwa makhluk itu menciptakan perbuatannya sendiri, bukan karena ciptaan Allah.

Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah dalam bukunya al-Ulama al-‘Uzzab (Para Ulama yang Menjomblo) mengatakan bahwa Imam az-Zamakhsyari adalah salah satu ulama besar yang membujang, jomblo, tidak menikah sepanjang hidupnya.

Namun catatan menarik disampaikan oleh Habib Ahmad bin Hasan al-‘Atthas dalam karyanya Tadzkirun Nas: 299. Menurutnya, az-Zamakhsyari tidak membujang, ia menikahi seorang perempuan yang menjadi sebab az-Zamakhsyari bertaubat dari Mu’tazilah dan kembali berpaham Ahlussunah wal Jama’ah.

Jadi, suatu ketika az-Zamakhsyari terpikat oleh seorang perempuan yang kebetulan putri dari seorang qadli di Mekah yang berpaham Ahlussunah Waljama’ah. Jarullah kemudian menemui sang qadli untuk melamar putrinya.

Sang ayah tentu saja menolak lamaran ulama yang masyhur sebagai pemuka Mu’tazilah itu. Mendengar ayahnya menolak lamaran, putri qadli itu lalu meminta untuk menerima pinangan pengarang al-Mufashshal fi al-Nahwi itu.

Pernikahan pun kemudian dilakukan.

Pada malam zafaf (bulan madu), putri sang qadli mengambil inisiatif pembicaraan, “Suamiku, kata orang hal ternikmat di dunia itu adalah saat-saat penyatuan antar laki-laki dan perempuan, antar suami dengan istrinya. Maka demi menyempurnakan kenikmatan itu, marilah kita melakukannya sebanyak 70 kali malam ini.”

Baca juga:  Inilah Asal-usul Kutipan Gus Dur "Tuhan Tak Perlu Dibela"

Mendengar kata-kata istrinya, az-Zamakhsyari kelabakan lalu menjawab, “Sayangku, bagaimana bisa, aku tidak sanggup melakukan sebanyak itu, apalagi dalam satu malam ini.”

“Wahai Imam”, istrinya berkata, “bukankah engkau berkeyakinan dan berulang kali mengatakan bahwa manusia itu menciptakan perbuatannya sendiri, terlepas dari ciptaan Allah. Jadi Engkau pasti bisa, karena engkaulah yang menciptakan perbuatanmu sendiri.”

Az-Zamakhsyari diam seribu bahasa.

“Jadi, suamiku, engkau punya dua pilihan: kita akan melakukannya sebanyak 70 kali malam ini, dan engkau pasti bisa, karena perbuatanmu itu engkaulah sendiri yang menciptakannya, atau kalau tidak engkau harus bertaubat dari keyakinanmu yang keliru itu.”

“Aku bertaubat kepada Allah,” jawab az-Zamakhsyari.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
2
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top