Tatkala industri kreatif menjadikan aneka kuliner Indonesia sebagai motor ekonomi dan pariwisata, Presiden Joko Widodo masih yakin tentang keragaman dari sepiring santapan. Media-media di Jakarta mengabarkan diplomasi kebudayaan lewat jamuan makan di restoran areal Kebun Raya Bogor.
Aneka menu menyambut delegasi High Level Consultation of World Muslim Scholars on Wasatiyyat Islam pada 1 Mei 2018. Ada tahu goreng isi udang sebagai sajian pembuka setelah para tamu menikmati penampilan 20 penari Sunda beriring musik calung, angklung, dan degung.
Menu utama berupa nasi goreng nanas, ayam taliwang, rendang, udang, telur asin, karedok, oseng-oseng, dan aneka sate. Potongan buah, pisang goreng, dan es cendol menutup santapan maha beragam siang itu. Kuliner mengurangi jalan kekerasan. Indonesia beragam suku dan kepercayaan, turut dalam mewujudkan perdamaian global.
Bukan hanya demi pemenuhan biologis, makanan dan peristiwa makan selalu melingkup peristiwa dari yang sakral sampai profan. Ada makan yang amat bersifat personal, tapi makan dalam tataran sosial selalu menyampaikan pesan bersama; rekonsiliasi, diplomasi, toleransi. Bersama memiliki rujukan meredam konflik. Kita mengingat bahwa tiap kebudayaan di pelbagai peradaban mengenal ritual makan besar.
Di Jawa, ada ritual slametan artinya diharapkan dan dimintakan selamat. Geertz (1981) mengatakan slametan sebagai lambang kesatuan mistis dan sosial. Kesatuan itu bukan hanya menyangkut yang hidup, tapi yang sudah mati sebagai keterikatan untuk saling tolong menolong.
Slametan ada di masyarakat sebagai cara untuk mengurangi ketidakpastian, ketakutan, ketegangan, ataupun konflik. Slametan berarti meminta selamat kepada Yang Kuasa, ada pengharapan dan juga rasa aman menjalani hidup. Di sana, selalu ada santapan yang menyatukan.
Orang-orang diundang tanpa menuntut atau membedakan status sosial, agama, kekayaan, atau jabatan. Semua duduk bersama dan menikmati berkat yang sama dari Tuhan dan sesama.
Kekeluargaan Global
Dalam peristiwa kemanusiaan global, kita mengingat makanan sebagai sapaan di tengah hembusan rasisme. Makanan selalu berusaha tidak mendiskriminasi siapa penyantapnya. Kita sejenak bisa mengingat peristiwa sekitar dua tahun silam: di meja restoran Italia, doa dan hidangan beradu mesra.
Paolo Campana, seorang grafis asal Roma, mengajak restoran-restoran di Italia menambahkan hidangan spageti all’amatriciana ke daftar menu. Ajakan mewujud solidaritas atas bencana gempa di Amatrice, Italia.
Dua Euro untuk setiap piring pasta akan disampaikan demi mengurangi kesedihan bencana. Amatrice memang kota kelahiran spageti all’amatriciana. Tidak hanya koki di 700 restoran di Italia, koki di beberapa negeri luar dan restoran yang belum pernah memasak pasta Amatrice terlibat dalam hidangan kepedulian Amatrice (Kompas, 27 Agustus 2016).
Makan atau njajan tidak hanya memberi imperasi pada kenyang. Makan menuju keluasan yang mampu bercerita keluargaan global. Makanan adalah juru selamat yang melipat jarak geografis, perbedaan ras, atau jurang status sosial. Kita yang tidak saling mengenal akhirnya bertemu dan saling mendoakan lewat sepiring makanan.
Sukanto S.A,. penulis cerita anak Indonesia memiliki kisah amat bersahaja tentang makanan sebagai risalah perdamaian dan religiositas. Cerita berjudul Makan yang Kenyang dihimpun dalam buku Orang-orang Tercinta (2006).
Diceritakan anak bernama Sakhlul yang seperti tidak pernah puas dan kenyang meski sudah makan. Sakhlul juga memiliki kebiasaan jahil, menyomot tempe dari lemari makan tanpa mencuci tangan setelah bermain bola. Tindakan ini kepergok adik Sakhlul yang suka berpura-pura jadi polisi. Seperti kebanyakan kakak-adik mereka pun cekcok kata.
Malam hari di meja makan, terjadilan percakapan antara ibu dan anak. Inilah momentum saling berbagi rasa. Adik dan kakak melupakan percekcokan sejenak. Ibu bertindak seolah diplomat:
“Sudah lama kau berdua lalai tidak berdoa sebelum makan. Ayoh sekarang mulai lagi. Ibu pimpin. Kau tahu anak-anak, dengan berdoa kau akan makan dengan tenang. Semua nasi yang masuk ke perutmu akan menambah pertumbuhan badanmu dan kau tidak cepat menjadi lapar.”
Ibu juga mengingatkan, ”Dengan berdoa kalian ingat Tuhan yang memberimu rezeki. Makan itu bukan dari ibu bapak, lho. Dari Tuhan. Ibu hanya perantara saja.”
Anak-anak menghaturkan syukur lewat makanan. Keluarga menjadi rumah pertama pengajaran tentang bersyukur dan berdamai.
Lidah kita amat mudah menerima pembauran atau akulturasi makanan. Seperti kita yang hidup di Jawa, sudah akrab menyantap sate madura, soto lamongan, cotto makasar, atau nasi padang.
Di meja warung nan ramai, kita duduk di meja yang sama, tidak tahu siapa yang akan dihadapi. Menyantap dilakukan bersama tanpa teken kontrak. Seolah setiap orang dalam individualistik menyantap, tetap mengecap setiap sendok hidangan secara berjamaah. Kita bisa iseng membayangkan tindak menghargai, bertoleransi, dan beragam tanpa masalah, dijalani semudah menyantap makanan.
Sedap!