Pasca Pemilu dan Pilpres 2019, politik identitas dalam bingkai polarisasi massa populer tetap mewarnai sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Bencana banjir di awal tahun 2020, misalnya, menjadi ajang “pertempuran” politik identitas antara para pendukung kelompok-kelompok yang bersaing secara sosial-politik di tahun-tahun sebelumnya.
Salah satu fitur penting dari politik identitas adalah identitas keislaman, dan identitas keislaman itu sering kali dibentuk secara sengaja melalui pendidikan. Mengapa politik identitas keislaman menjadi sangat kuat saat ini? Mengapa juga salah satu pendukungnya adalah kelompok-kelompok Muslim perkotaan? Lalu mengapa pendidikan menjadi salah satu unsur penting dalam perjuangan politik identitas keislaman? Tulisan ini akan berusaha mengupasnya.
Kebangkitan Muslim Perkotaan dan Populisme Islam
Selama Orde Baru, dominasi politik negara atas masyarakat meluas dengan pesat (Macintyre 1991, 2-3). Pemerintah berusaha untuk mengkonsolidasikan kekuatannya melalui kebijakan yang memerlukan penciptaan komunitas yang homogen secara sosial-politik. Robert Hefner menyebutkan bahwa sikap pemerintahan Suharto terhadap Islam bersifat paradoks. Di satu sisi mereka mendukung kegiatan keagamaan yang mendorong kesalehan Muslim, di sisi lain pemerintah menahan laju Islam politik (Hefner 2000).
Namun, di Indonesia pasca Orde Baru, masyarakat pada dasarnya bukanlah penerima kebijakan negara secara pasif. Akibatnya, saat ini pemerintahan yang lebih demokratis akan menghadapi banyak tantangan dari kubu urban-modernis generasi Muslim yang baru dilahirkan kembali, yang sebagian besar dipengaruhi oleh pemikiran Timur Tengah abad ke-19, misalnya pemikiran Muhammad Abduh dan Rashid Ridha, di mana generasi Muslim baru ini sebelumnya secara politis terpinggirkan oleh pemerintah Orde Baru. Generasi ini adalah generasi yang, dalam banyak aspek kehidupan, dan terutama dalam menanggapi kekuasaan dan kebijakan negara, cenderung menggunakan ide-ide populisme Islam, seperti membela kepentingan dan berbicara atas nama komunitas Muslim (Pribadi, forthcoming).
Populisme adalah serangkaian wacana politik dan strategi yang bertujuan untuk memecah sistem kelembagaan dengan mempolarisasi masyarakat menjadi dua kubu yang bermusuhan (De la Torre 2019, 8); dalam konteks Islam di Indonesia, kubu-kubu tersebut terutama terbagi menjadi tradisionalis dan modernis, tentu saja dengan kelompok-kelompok lain yang juga signifikan secara populasi dan pengaruh. Populisme mengacu pada populasi secara keseluruhan, dan secara bersamaan mengacu juga pada sebuah bagian dari populasi, yaitu mereka yang dianggap dikecualikan (De la Torre 2019, 2).
Beberapa konsep populisme di negara berkembang fokus pada pengucilan musuh yang teridentifikasi, retorika anti-asing, dan seruan untuk menggulingkan pemerintahan yang berkuasa (Mietzner 2015, 3). Steven Levitsky dan James Loxton mengembangkan tiga karakteristik untuk populis: Pertama, populis memobilisasi dukungan massa melalui seruan anti-kemapanan yang memposisikan diri mereka dalam oposisi terhadap kelompok elit. Kedua, populis adalah orang luar, atau individu yang naik ke posisi politik di luar sistem partai nasional. Ketiga, populis membangun hubungan personalistik dengan pemilih (Levitsky dan Loxton 2013, 110).
Di Indonesia, populisme Islam adalah fenomena perkotaan. Munculnya Muslim kelas menengah perkotaan yang vokal di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari posisi Muslim modernis-perkotaan yang sebelumnya terpinggirkan secara politik, yang mendorong kelompok-kelompok ini untuk membangun dan mempertahankan kemunculan populisme Islam. Kenneth M. Roberts menunjukkan bahwa gerakan populis mengklaim untuk menawarkan bentuk perwakilan politik yang lebih otentik untuk konstituensi yang sebelumnya dikecualikan (Roberts 2019).
Perjuangan Politik Identitas Keislaman melalui Pendidikan
Sementara ada pendukung populisme Islam yang melakukan aksi kekerasan untuk mewujudkan tujuan mereka mendirikan negara Islam, yang lain ada yang memiliki tujuan yang sama tetapi lebih suka cara damai seperti melalui pendidikan dan pemilihan umum (Tan 2011, 9). Pentingnya agama di Indonesia, dan juga agama dalam pendidikan, sesuai dengan kondisi bahwa pendidikan adalah cara yang tepat untuk mengatasi masalah meningkatnya intoleransi agama di Indonesia (Parker 2014, 489). Peran yang dimainkan oleh pendidik di sekolah dan masyarakat dalam mempengaruhi dan mengarahkan berbagai aspek dari proses pendidikan sangat penting untuk penciptaan masyarakat sipil yang kuat yang mendukung multikulturalisme, toleransi beragama, dan pluralisme.
Melalui pendidikanlah identitas keislaman di Indonesia berkembang pesat. Bagi Muslim perkotaan, menjadi Muslim berarti bahwa mereka harus menjadi modern dan saleh, misalnya, mereka atau anggota keluarga mereka harus mempelajari Islam di lembaga pembelajaran Islam yang “sesungguhnya”. Para orang tua mempelajari Islam melalui pengajian-pengajian yang bergaya perkotaan dan eksklusif, dalam hal ini sering kali dipengaruhi oleh unsur-unsur Salafisme, tetapi materi yang dipelajari disesuaikan dengan “selera perkotaan”, yang bernuansa pop, trendi, dan ‘kekinian’.
Sementara itu, anak-anak diharuskan belajar di Sekolah Islam modern dan eksklusif, sehingga mereka memperoleh pengetahuan umum (‘sekuler’) dan Islam pada saat yang bersamaan. Menurut Ronald Lukens-Bull, menggabungkan keduanya adalah cara Sekolah Islam mengelola ‘modernitas Islam’ (Lukens-Bull 2000).
Sekolah Islam sendiri biasanya dianggap sebagai sekolah modern, tidak seperti pesantren tradisional yang dikelola oleh Kementerian Agama. Sekolah Islam sebagian besar mengikuti sistem dan kurikulum sekolah pemerintah dan berada di bawah kewenangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Karena banyak siswa dari keluarga kelas menengah bersekolah di Sekolah Islam, sekolah-sekolah ini sering dianggap sebagai sekolah Islam elit. Dalam hal religiusitas, banyak Sekolah Islam dipengaruhi oleh ide-ide transnasional Islam, yang kebanyakan Salafisme.
Refleksi
Dinamika interaksi antara agama, politik, dan pendidikan di Indonesia saat ini bersifat kompleks. Sekolah Islam di berbagai tingkatan menunjukkan adanya karakteristik Salafisme, penyebaran pesan-pesan Islamis, dan pembinaan generasi Muslim masa depan untuk menyebarkan ide-ide mereka, menerapkan hukum Islam, dan membangun masyarakat Islam yang ideal. Sementara itu, Muslim kelas menengah perkotaan yang mapan secara ekonomi, menghadapi masalah dalam aspek sosial-budaya dari identitas mereka. Singkatnya, status sosial ekonomi mereka telah meningkat tetapi kesejahteraan mereka terancam.
Khawatir akan hilangnya identitas mereka, kelompok-kelompok Muslim yang baru dilahirkan kembali ini menjadikan agama sebagai dasar pengalaman komunal mereka. Bagi mereka, agama menawarkan rasa aman di dunia dan akhirat. Agama dapat menjadi tempat bagi orang untuk mengikat diri ke komunitas mereka dan karena itu menjadi bagian dari identitas mereka.
Sekolah Islam modern dipandang sebagai tempat perlindungan karena mereka menawarkan pendefinisian Islam yang “sesungguhnya” untuk menjadi seorang Muslim sejati. Kelompok-kelompok Muslim ini, menurut Dale Eickelman dan James Piscatori, jelas memainkan peran mereka dalam politik Muslim modern, yang melibatkan persaingan atas interpretasi simbol dan kontrol lembaga formal dan informal yang memproduksi dan mempertahankannya (Eickelman & Piscatori 1996, 5).
Pencarian Muslim kelas menengah perkotaan terhadap identitas keislaman yang “sesungguhnya” telah menempatkan Islam ke dalam kehidupan budaya, sosial, politik, dan ekonomi mereka. Muslim kelas menengah perkotaan terus berupaya mengejar, mengklaim, dan mempromosikan pemahaman agama dan identitas Islam mereka. Sekarang, kelompok-kelompok yang didasarkan pada identitas keagamaan komunal ini telah mengumpulkan kekuatan dan menghadirkan tantangan budaya-politik dalam politik nasional dan lokal, terutama dalam pemilihan umum, pembangunan ekonomi dan masyarakat, urusan agama, dan pendidikan. Upaya negara dalam homogenisasi komunitas telah membantu membangkitkan perjuangan rakyat dengan politik identitas, khususnya dalam hal identitas keislaman. Di dan melalui Sekolah Islam inilah kelompok-kelompok Muslim ini telah memainkan peran penting dalam memperkuat politik identitas keislaman di Indonesia.