Sedang Membaca
Gus Mus, Majma’ Buhuts, dan Masalah NU-PKB
Hamzah Sahal
Penulis Kolom

Founder Alif.ID. Menulis dua buku humor; Humor Ngaji Kaum Santri (2004) dan Ulama Bercanda Santri Tertawa (2020), dan buku lainnya

Gus Mus, Majma’ Buhuts, dan Masalah NU-PKB

Fb Img 1578873567238

Akhir pekan kemarin, foto Facebook yang paling banyak “di-like” di lingkungan NU/pesantren adalah foto-foto acara “Majma Buhuts an-Nahdliyah” di Kajen, Pati. “Sesi foto” Gus Mus dan Gus Baha tentu saja paling mencuri perhatian dari sekian foto yang beredar. Adem dan tentrem melihatnya.

Senang bercampur haru menyaksikan ulama dan aktivis NU berkumpul dengan ekspresi meneduhkan. Tempat acara yang sederhana, yakni Pesantren Ath-Thohiriyah Kajen, menyimpan makna yang mendalam. Lihat foto di atas mereka berfoto di arsitektur Jawa kuno dan halamannya cuma tanah. Kesenangan lain adalah bahwa majlis ini tidak lagi eksklusif seperti bertahun-tahun silam.

Ya, dulu majlis ini hanya dihadiri ulama-ulama senior dan sedikit. Majma’ Buhuts an-Nahdliyah adalah, kata Gus Adib Leteh, majlis kulturalnya kiai-kiai guna memberi masukan pada Syuriah tentang kondisi-kondisi internal dan eksternal NU terkait problem-problem masyarakat, tantangan, yang dihadapi dan potensi-potensi peran NU.

Menurut penuturan Gus Adib, majlis ini pertama kali dilaksanakan tahun 2004, dengan acara “Silaturahim dengan Rais Am PBNU” di Pesantren Alhamdulillaah, Kemadu, Sulang, Rembang.

Para penggagasnya adalah Kiai Sahal Mahfudh dari Pati (waktu itu Rais Am PBNU) , Kiai Tholchah Hasan dari Malang, Kiai Muchith Muzadi dari Jember, Kiai Mahfud Ridlwan dari Salatiga, Kiai Warsun Munawir Jogja, Kiai Syahid dari Rembang, allahummagfirlahum. Sementara penggagas yang masih aktif adalah Kiai Mustofa Bisri dari Rembang, Kiai Dimyathi Rois dari Kendal, Habib Luthfi dari Pekalongan, Kiai Muadz Thohir dari Pati, dan Kiai Abdullah Abbas dari Banyumas.

Baca juga:  Kaum Santri Zaman Now

Jadi wajar saja jika majlis ini ekslusif kiai-kiai, bahkan sudah senior karena memang untuk memberi masuk syuriah NU. Level “Gus” saja tak muncul di deretan nama penggagas.

Jika tidak salah, sambil menyajikan kopi, saya pernah “nguping” acara ini di PBNU. Di sana saya melihat Kiai Mustofa Bisri, Kiai Dimyati Rois, al-magfurlah Kiai Mahfud Ridwan, Kiai Abbas Mu’in. Kalau tidak salah ingat, saya juga bertemu Pak Toni Pangcu di sana, santri kelana yang saya kagumi. Lupa kapan itu terjadi, mungkin sebelum tahun 2010.

Sekarang, forum ini tampak terbuka, diikuti bukan hanya ulama, diikuti bukan hanya yang terkenal sebagai aktivis NU, bahkan tampak ada perempuannya. Menyenangkan sekali.

Saya belum mendengar apa saja pembicaraan yang mengemuka (biasanya tidak untuk media). Namun, dari keterangan-keterangan yang menyertai foto-foto di Facaebook kata kuncinya “NU Memasuki Abad Kedua”.

Saya, sebagai Nahdliyin biasa, berharap tema-tema yang mengemuka di Kajen tersebut dijadikan materi “formal” dalam Munas NU yang akan berlangsung bulan Maret nanti, di Pesantren Sarang, Rembang.

Dan jika tidak ada topik Partai Kebangkitan Bangsa dalam Munas NU mendatang, izinkan saya mengusulkan. Istilah Gus Baha: “Ini penting sekali saya utarakan”. Mengapa?

Saya menganggap (bisa salah tentunya) di antara problem besar di NU saat ini, mungkin mencapai 1/5 (satu per lima. Sudah barang tentu ini angka imajinasi, bukan pasti. Ini hanya sebagai tanda bahwa sangat besar masalah ini, berimbas ke banyak hal dalam kehidupan ber-NU) adalah belum “clearnya” hubungan PKB dan Ciganjur tentu saja termasuk kehormatan Kiai Haji Abdurrahman Wahid sendiri, sebagai pendiri PKB dan masuk deretan ulama yang paling berjasa menegakkan NU di 20 tahun terakhir abad 20 dan 10 tahun pertama abad 21.

Baca juga:  Gelar Habib dan Sayyid, Bentuk Feodalisme?

Mungkin, usulan ini sekilas “tidak muqtadlol hal”, namun ini nyata sekali. Masalah ini ada di pelupuk mata NU. Satu alasannya, penegas bahwa PKB didirikan NU, bukan individu-individu NU. Ini fakta sejarah.

Masalah itu harus segera diselesaikan sebelum makin runyam karena terlalu berlarut-larut, karena kondisi politik, karena kondisi individu-individunya (meninggal dan lain-lain).

Situasi kondusif internal NU, termasuk di dalamnya situasi politik PKB, adalah urgen sekali, bagian “dlaruriyat”, 1/5 masalah yang ada di NU. Bagi saya, nyaris tidak signifikan bicara apa pun tentang masalah NU tanpa bicara PKB saat ini. Mohon maaf saya sampaikan, “Tidak ada faedahnya menyimpan masalah ini terlalu lama. Ini masalah, harus dihadapi, harus diselesaikan.”

Nadhliyin di manapun menunggu kabar gembir Ciganjur-PKB bersalaman (dan Nahdliyin paham masalah PKB tidak hanya itu, tapi banyak sekali). Dan selanjutnya membangun politik bersama sesuai nilai-nilai yang diperjuangkan Nahdlatul Ulama, yang tak lain ditugaskan pada Partai Kebangkitan Bangsa.

Siapa yang mampu melakukan tugas berat ini?

Tak lain adalah guru kita semua, shahibul fadlilah wal karomah “wa Majma’ Buhuts an-Nahdliyah”, Kiai Haji Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.

PBNU dan Gus Mus yang punya otoritas menyelesaikannya. Karena beliau dan PBNU adalah pendiri PKB. Gus Mus sendiri satu-satunya ulama NU paling sepuh yang masih aktif, Musytasyar PBNU. Tentu saja ini tidak mudah. Namun, dalam pandangan saya, menyelesaikan masalah ini lebih mudah daripada mendirikan sepuluh koperasi di tiap-tiap cabang NU yang faedahnya bisa dirasakan jamaah NU. Membangun koperasi butuh tekad kuat, SDM mumpuni, dan modal tidak kecil. Sementara menyelesaikan politik ini “hanya” butuh CINTA, tidak yang lain.

Baca juga:  Governing The Nahdlatul Ulama: Kewargaan dan Kuasa Kepemimpinan

Insya Allah, jika topik politik, (tidak khusus PKB-Ciganjur, tapi juga lainnya yang tak kalah penting) sudah tunai, selesai, khatam, langkah-langkah Nahdlatul Ulama memasuki abad kedua, akan lebih gesit. Dan ini akan menjadi kado penuh berkah buat Nahdliyin dan pencinta Gus Dur, pencinta NU, pencinta PKB. Semoga.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top