Siapa yang tidak tahu tutup kepala yang dibuat dari batik dan digunakan oleh kaum pria sebagai bagian dari pakaian tradisional Jawa. Ya, itulah blangkon.
Namun, yang menjadi pertanyaan, apakah blangkon merupakan bagian dari pakaian islami? Pun blangkon tidak ada dalam tradisi bangsa Arab pada masa Rasulullah saw. Pertanyaan demikian barangkali sangat sering kita dengar dalam kondisi masyarakat yang tengah banyak mengekspresikan agamanya (identitas Islam) dengan menggunakan ekspresi kebudayaan Arab ini.
Seolah-olah apa pun yang tidak menggambarkan kebudayaan Arab dalam pandangan mereka harus dipertanyakan terlebih dahulu atau kalau perlu langsung membidahkan atau langsung divonis sebagai sesuatu yang tidak islami.
Budaya Arab memang tidak mengenal penutup kepala dengan menggunakan blangkon. Akan tetapi, belum tentu kemudian blangkon menjadi tidak islami hanya lantaran tidak ada dalam budaya Arab. Sebab, Islam sebagai agama yang universal dan lokalitas sekaligus begitu lentur dalam menerima budaya-budaya lain.
Islam, sejak pertama dibawa oleh Nabi Muhammad saw tidak serta merta menolak semua tradisi budaya masyarakat pada masa itu atau bahkan sebelumnya (pra-Islam). Demikian pula yang terjadi pada proses tasyri’ “penutup kepala” di dalam Islam.
Penutup kepala di dalam Islam tidak lahir begitu saja secara tiba-tiba, akan tetapi ada proses histori yang melatar belakanginya.
Secara historis, penutup kepala sudah ada jauh sebelum agama Islam. Said al-Asymawi dalam bukunya yang kontroversial, Haqiqatul Hijab wa Hujjiyatul Hadits mengemukakan, bangsa Mesir kuno telah mengenal suatu kepercayaan yang bersumber dari ide-ide mistik bahwa rambut manusia adalah mahkota, ia merupakan kekuatan dan simbol kebanggaan manusia. Sehingga, untuk menunjukkan inferioritas di hadapan Tuhan, orang-orang Mesir kuno baik laki-laki atau perempuan melakukan ritual memotong rambut secara total (botak).
Lantaran itu kemudian kaum laki-laki di Mesir kuno biasa menutup kepala mereka dengan sebuah penutup yang terbuat dari kain untuk melindungi diri dari sengatan dan panas matahari. Mitos bangsa Mesir ini yang kemudian menyebar ke pelbagai pelosok dunia dan dicerna oleh berbagai peradaban.
Orang-orang Nasrani misalnya, pada mulanya juga banyak terpengaruh; memotong rambut secara total sebagaimana orang beragama Hindu dan Budha, namun seiring masuknya peradaban Roma ke Mesir kebiasaan ini berubah.
Nabi Musa, juga banyak terpengaruh dengan pandangan Mesir kuno ini. Pada saat Nabi Musa keluar dari Mesir bersama orang-orang Yahudi dan sebagian orang Mesir, mereka telah banyak mengadopsi budaya Mesir kuno. Di antaranya menutup rambut ketika berhadapan dengan Tuhan, sebagai simbol ketundukan dan kepatuhan. Tidak heran jika sekarang orang-orang Yahudi yang taat agama, banyak menggunakan songkok di atas kepala.
Agama Islam, juga demikian. Nabi Muhammad saw, menurut Al-Asymawi lebih suka menghindar dari tradisi-tradisi yang menyerupai komunitas Makkah (kaum Musyrik) dan cendrerung lebih memilih tradisi kaum Ahli kitab.
Sekilas pendapat al-Asymawi ini bertentangan dengan apa yang dikemukakan oleh Zahid bin al-Hasan Al-Kautsari dalam kitabnya berjudul Raf’ul Isytibah mengenai kemakruhan salat tanpa menggunakan penutup kepala dengan berlandaskan bahwa membuka tutup kepala (tidak menggunakan songkok) pada waktu salat merupakan tindakan yang menyerupai (tasyabbuh) dengan tradisi Ahli Kitab.
Al-Kautsari, secara tidak langsung seolah-olah mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw tidak dapat kompromi dan sama sekali tidak ada kecenderungan dengan budaya Ahli kitab.
Namun, jika ditelisik lebih lanjut pendapat keduanya tidaklah bertentangan, karena yang dimaksud tasyabuh dengan Ahli kitab oleh Al-Kautsari besar kemungkinan ialah Ahli kitab yang beragama Nasrani. Sebab sebagaimana dikatakan oleh al-Asymawi di atas, pada mulanya orang-orang Nasrani juga banyak menggunakan penutup kepala, sebelum kemudian tradisi tersebut sirna lantaran pengaruh peradaban Roma hingga kemudian orang-orang Nasrani meninggalkan tradisi menutup kepala mereka baik ketika ibadah ataupun tidak.
Oleh sebab itu, pada dasarnya tradisi membuka tudung kepala dalam tradisi Nasrani bukanlah tradisi Ahli kitab, melainkan tradisi yang diwariskan oleh budaya orang Musyrik Roma, wajar jika Nabi Muhammad kemudian lebih memilih menghindari sebagaimana pendapat al-Kautsari.
Sebagaimana tradisi Ahli kitab, kebanyakan kaum muslimin juga mengenakan penutup kepala di kala melaksanakan ibadah salat. Hal ini dimaksudksan untuk mengekspresikan kelemahan, kehambaan, ketundukan serta kesederhanaan di hadapan kemuliaan Allah.
Dengan melihat historis yang melatar belakangi proses tasyri’ di atas, penutup kepala di dalam Islam bukan suatu yang orsinil, akan tetapi ia merupakan tradisi yang diadopsi dari agama-agama sebelumnya (syar’u man qablana) dan sama sekali tidak ada bentuk tertentu seperti apa tudung kepala yang dikenakan, sebab yang terpenting bukan pada bentuk melainkan tujuan dari fungsi tudung kepala itu. Hal ini sama dengan khitan yang merupakan warisan dari agama Ibrahim. Jika khitan tidak ditentukan dengan menggunakan alat; pisau; pedang; atau laser, demikian juga dengan tudung kepala.
Blangkon sendiri, secara historis memang banyak versi. Akan tetapi, yang sesuai dengan ulasan perihal tudung kepala sebagaimana pendapt al-Asymawi dan kemungkinan versi ini yang lebih mengena, adalah pendapat yang mengatakan bahwa blangkon merupakan pengaruh dari, budaya Hindu dan Islam yang diserap oleh orang Jawa.
Menurut para ahli, orang Islam yang masuk ke Jawa terdiri dari dua etnis yaitu keturuan Cina dari Daratan Tiongkok dan para pedagang Gujarat. Para pedagang Gujarat ini adalah orang keturunan Arab, mereka selalu mengenakan sorban, yaitu kain panjang dan lebar yang diikatkan di kepala mereka. Sorban inilah yang meng-inspirasi orang jawa untuk memakai iket kepala seperti halnya orang keturunan Arab tersebut. Karenanya, melihat hal itu blangkon juga bisa dikatakan sebagai pakaian Islami. Wallahu A’lam.