Sedang Membaca
Kebahagiaan dalam Al-Qur’an Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas

Mahasiswa sekaligus Santri Aktif Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

Kebahagiaan dalam Al-Qur’an Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas

Pada dasarnya kebahagiaan sering didefinisikan sebagai suatu kesenangan dan ketentraman hidup, keberuntungan, kemunjuran yang bersifat lahir dan batin. Titik tekan yang hendak menjadi acuan dalam kebahagiaan adalah ketentraman. Adapun tentram berarti perasaan aman, damai, dan sentosa lahir dan batin, bebas dari segala yang menyusahkan. Kata lain yang menggambarkan kebahagiaan adalah kenikmatan, kepuasan, dan kesenangan.

Kenikmatan diartikan sebagai keadaan yang nikmat, yang antara lain berkonotasi pada makanan dan tempat tinggal. Sedangkan kepuasan diartikan perihal atau perasaan puas, lega, gembira karena telah terpenuhi hasrat hatinya, yang dapat saja berkonotasi negatif, misalnya hasrat mencelakakan orang lain. Adapun kesenangan diartikan sebagai kondisi senang karena mendapatkan keenakan dan kepuasan.

Namun ada beberapa prinsip dasar yang membedakan antara kebahagiaan, kenikmatan, kepuasan dan kesenangan. Kebahagiaan merupakan kondisi kejiwaan yang meliputi ketentraman yaitu perpaduan antara rasa aman, damai, dan tenang. Sedangkan kenikmatan, kesenangan, maupun kepuasan walaupun bisa menjadi barometer kebahagiaan, namun tidak dapat disangkal bahwa ketiganya juga dapat mendatangkan kesengsaraan atau lawan dari kebahagiaan.

Kebahagiaan dalam Al-Qur’an

Kata kebahagiaan, apabila dicarikan padanan kata di dalam al-Qur‘an memiliki berbagai macam padanan. Seperti kata sa‘adah, ḥasanah, ṭuba, mata‘, surur, falaḥ, fawz, dan faraḥ. Delapan padanan kata yang merujuk pada pengertian kebahagiaan dalam al-Qur‘an, hanya kata sa‘adah yang dapat merepresentasikan wacana pemikiran al-Attas. Ini didasarkan karena al-Attas hanya menggunakan term sa‘adah untuk merujuk pengertian kebahagiaan (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena: to the Metaphysics of Islam (Kuala
Lumpur: ISTAC, 2001), hal 82).

Al-Isfahani mengartikan kata sa‘adah atau sa‘id dengan pertolongan kepada manusia terhadap perkara ketuhanan untuk memeroleh kebaikan. Kata sa‘id sering dihubungkan dengan kata syaqawah (kesengsaraan) sebagai lawan katanya. Kedua terma ini tersirat dalam al-Qur‘an surat Hud [11] ayat 105:

 يَوْمَ يَأْتِ لَا تَكَلَّمُ نَفْسٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ ۚ فَمِنْهُمْ شَقِيٌّ وَسَعِيد

“Dikala datang hari itu, tidak ada seorang pun yang berbicara melainkan dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia.”

Baca juga:  Tafsir Alam Nasyrah Karya Kiai Abdul Majid Tamim: Bukti Keluasan Bacaan Sang Mufassir

Term kebahagiaan (sa‘adah) pada ayat di atas dapat dipahami dalam konteks dualitas, yaitu merupakan lawan dari kata sengsara. Kesadaran manusia pada dasarnya selalu bersifat dualistis. Artinya kehidupannya di setiap tempat dan waktu merupakan polarisasi yang tajam antara sakit dan lezat, bahagia dan derita. Ia akan selalu berhadapan dengan kesusahan atau kesenangan, bahagia atau sengsara.

Manusia akan selalu berhadapan dengan dua realitas ini, yaitu kesenangan atau kesusahan, termasuk ekspresinya, yaitu tertawa atau menagis. Tangisan adalah tanda kesedihan atau sesuatu yang menyakitkan, sedangkan tertawa adalah bukti kebahagiaan, kegembiraan, atau kesenangan (Muskinul Fuad, Psikologi Kebahagiaan dalam al-Qur‘an, Laporan Penelitian di Lembaga Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat IAIN Purwokerto, 2016, hal 41).

Orang yang berbahagia biasanya menampakkan wajah yang penuh senyuman atau berseri-seri. Sebaliknya, orang yang sedih biasanya menunjukkan wajah yang muram atau penuh tangisan. Orang yang sengsara adalah irang yang sesat, tidak tau jalan hidup yang harus ditempuh, tidak sadar apakah ia berbuat benar atau salah, atau tidak dapat membedakan mana yang hak dan yang batil.

Orang yang bahagia adalah kebalikan dari itu. Jiwanya tenang, hati tenteram, tenang menghadapi persoalan, hatinya disinari cahaya iman kepada Allah, di dalam jiwanya tertanam akidah yang kuat dan sadar bahwa segala sesuatu telah diatur oleh Allah Swt.
Orang berbahagia adalah orang yang merasa aman, tenang, dan punya kekuatan
untuk menjalani kehidupan. Sebagaimana firman Allah dalam surat Ṭaha [20] ayat
123:

 قَالَ اهۡبِطَا مِنۡهَا جَمِيۡعًا‌ بَعۡضُكُمۡ لِبَعۡضٍ عَدُوٌّ‌ فَاِمَّا يَاۡتِيَنَّكُمۡ مِّنِّىۡ هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَاىَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشۡقٰى

“Dia (Allah) berfirman, “Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, maka (ketahuilah) barang siapa mengikuti petunjuk-Ku, dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka”.

Baca juga:  Tafsir Surat Al-Hijr Ayat 9: Jaminan Allah atas Terjaganya Orisinalitas Al-Qur’an

Selain kata sa‘adah, term lain dalam al-Qur‘an yang menunjukkan pengertian kebahagiaan adalah falah. Menurut Ibn Manẓur, arti kata falaḥ adalah beruntung, selamat, abadi dalam kenikmatan dan kebaikan. Sebagaimana dari firman Allah Swt, surat al-Mu‘minun [23] ayat 1:

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman.”

Bahwa sesungguhnya dikatakan kepada ahli surga adalah orang-orang yang beruntung karena keberuntungan mereka yang tetap abadi di surga (lihat…Al-Raghib al-Isfahani, Mufradat Alfaẓ al-Qur’an (Damaskus: Dar al-Qalam, 2002), hal 644).

Al-Isfahani menyebutkan bahwa kata falaḥ adalah al-ẓafr wa-idrak bughyah, memeroleh apa yang dikehendaki. Kata ini seringkali diterjemahkan dengan beruntung, berbahagia, atau memeroleh kemenangan. Selain itu, al-Isfahani dalam Mufradat Alfaẓ al-Qur’an membagi kata falaḥ dalam arti kebahagiaan menjadi dua bagian, yaitu duniawi dan ukhrawi. Kebahagiaan duniawi mencakup usia panjang, kekayaan, dan kemuliaan. Sedangkan kebahagiaan ukhrawi mencakup kekekalan tanpa kepunahan, kekayaan tanpa kebutuhan, kemuliaan tanpa kehinaan, dan pengetahuan tanpa kebodohan.

Menurut M.Quraish Shihab, kata falaḥ mempunyai derivasi berupa kata aflaḥa yang berarti sebagai ̳memeroleh yang dikehendaki (M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 1997), hal 430). Kata aflaḥ ditemukan dalam al-Qur‘an sebanyak empat kali, salah satunya adalah surat Ṭaha [20] ayat 64:

فَاَجۡمِعُوۡا كَيۡدَكُمۡ ثُمَّ ائۡتُوۡا صَفًّا‌ وَقَدۡ اَفۡلَحَ الۡيَوۡمَ مَنِ اسۡتَعۡلٰى

“Maka kumpulkanlah segala tipu daya (sihir) kamu, kemudian datanglah dengan berbaris, dan sungguh, beruntung orang yang menang pada hari ini”.

Selain itu, kata Quraish Shihab, kata aflaḥa merupakan penegasan Allah Swt. yang ditemukan pada surat al-Ala‘ [87] ayat 14, al-Syams [91] ayat 9, dan al-Mu‘minun [23] ayat 1. Dalam al-Mu‘minun [23] ayat 1-9, dikemukakan sifat-sifat orang-orang mukmin yang akan meraih kemenangan (falaḥ). Sifat-sifat tersebut mencerminkan pula usaha-usaha mereka (orang-orang yang beriman) yang pada akhirnya dapat dinilai sebagai upaya penyucian diri (tazakka), sebagaimana terdapat dalam surat al-Ala’ [87] ayat 14:

Baca juga:  Meniti Jejak Pengaruh Al-Qur’an: Kajian Kitab Mafatih Tadabbur Al-Qur’an wa Al-Najah fi Al-Hayah

قَدۡ اَفۡلَحَ مَنۡ تَزَكّٰ

“Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri (dengan beriman)”.

Upaya-upaya itu meliputi khusyu’ dalam salat, menunaikan zakat, menjauhkan diri dari perbuatan sia-sia, menjaga kemaluan kecuali pada pasangan yang sah, memelihara amanat dan janji, dan memelihara waktu salat.

Dalam surat al-Araf [7] ayat 157:

الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالْأَغْلَالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ ۚ فَالَّذِينَ آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ ۙ أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Maksudnya, ditegaskan pula bahwa orang-orang yang beriman kepada Nabi Saw. itu memuliakan, dan membela beliau, termasuk orang-orang yang beruntung (M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, hal 431).

Wawasan al-Qur‘an tentang arti kebahagiaan sebagaimana dikemukakan di atas, dapat disimplifikasikan ke dalam beberapa aspek. Pertama, bahwa kebahagiaan di dalam al-Qur‘an merujuk pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Setiap individu sangat ditekankan untuk memeroleh kedua kebahagiaan ini. Kebahagiaan dunia dikatakan dalam al-Qur‘an bersifat temporar dan sesaat, sedangkan kebahagiaan akhirat bersifat abadi dan selamanya (lihat…Al-Raghib al-Isfahani, Mufradat Alfaẓ al-Qur’an, hal 644). Kedua, bahwa kebahagaiaan juga mencakup kebahagiaan fisik dan non-fisik. Namun banyak di dalam al-Qur‘an yang mengindikasikan bahwa kebahagiaan hakikat adalah kebahagiaan non-fisik.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top