Sedang Membaca
Sajian Khusus: Dinamika dan Empat Tokoh Utama Ushul Fikih

Nahdliyin, menamatkan pendidikan fikih-usul fikih di Ma'had Aly Situbondo. Sekarang mengajar di Ma'had Aly Nurul Jadid, Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo. Menulis Sekadarnya, semampunya.

Sajian Khusus: Dinamika dan Empat Tokoh Utama Ushul Fikih

Whatsapp Image 2021 09 07 At 23.07.26

Nabi Muhammad saw. membawa syariat yang daya jangkau dan cakupannya luas, tidak terbatas waktu dan jarak teritorial. Hukum Islam bersifat umum, mencakup seluruh makhluk kapanpun dan dimanapun. Ini yang membedakan dengan beberapa nabi sebelum Nabi Muhammad yang diutus kadang hanya untuk komunitas terbatas dan zaman tertentu.

Seorang tokoh dari Mesir, Hasan al-Banna menulis:

انها الرسالة التي امتدت طولا حتى شملت اباد الزمن وامتدت عرضا حتى انتظمت افاق الامام وامتدت عمقا حتى استوعبت شؤون الدنيا والاخرة

“Syariat Islam adalah risalah kenabian yang panjang, terbentang sehingga meluputi semua abad zaman, terhampar luas sehingga meliputi semua cakrawala umat dan begitu mendalam hingga mencakup urusan-urusan dunia dan akhirat”.

Secara sederhana Syariat Islam terbagi menjadi tiga wajah utama. Pertama adalah ajaran yang memuat pondasi keimanan, kedua ajaran yang mengajarkan manusia untuk membersihkan hati dari sikap tercela dan mengisinya dengan ajaran terpuji. Ketiga adalah ajaran-ajaran praktis (al-Ahkam al-Amaliyah) terkait aturan manusia dengan Allah Swt atau manusia dengan sesama manusia.

Bagian terakhir disebut juga dengan hukum syariah. Syariah ada dua, pertama yang harga mati (Tsabit), tak bisa berubah dan beradaptasi dengan zaman dan waktu. Kedua ada yang bisa berubah (mutaghayyir) disebabkan tidak memiliki acuan nash qath’i atau bahkan tak memiliki nash secara langsung sehingga memerlukan keterlibatan nalar secara intensif. Segmen ini yang kedua ini disebut fikih.

Syariah dan fikih adalah perwajahan yang paling tampak dalam agama. Sebab ia bersentuhan langsung dengan prilaku atau tingkah laku manusia mukallaf. Meminjam bahasa Abdul Wahhab Khallaf, semua hal yang muncul dari manusia mukallaf baik berupa ucapan atau tindakan, dalam ranah ibadah atau muamalah, semua itu memiliki “cantolan” dalam hukum Islam.

Fikih adalah produk sementara ushul fikih adalah proses. Ibarat bangunan fikih adalah tembok sementara ushul fikih adalah pondasinya. Tidak mungkin ada produk tanpa adanya proses sebagaimana tak mungkin bangunan berdiri tegak kecuali ada pondasinya.

Baca juga:  Cara MIN 1 Kota Malang Tanamkan Peserta Didiknya untuk Bangga Menjadi Bagian Warga Indonesia

Dari tesis di atas, maka bisa disimpulkan bahwa usul fikih ini ada sebelum fikih. Karena usul fikih adalah metode untuk untuk melahirkan hukum fikih. Jika diibaraktkan dengan bangunan, fikih sebagai sebuah rumah, maka usul fikih adalah pondasinya. Tidak mungkin rumah berdiri tegak tanpa ada pondasi. Begitupula tidak mungkin ada fikih tanpa usul fikih.

Jika demikian, kenapa dalam beberapa sumber disebut bahwa kitab usul fikih yang pertama kali adalah al-Risalah yang ditulis oleh al-Syafi’i yang hidup kira-kira tahun 150-204 Hijriyah? Masa sebelum itu usul fikih ada di mana dan bagaimana?

Di masa sebelum al-Syafi’i, usul fikih sebagai sebuah metode untuk melahirkan hukum ada. Hanya saja ia masih dalam bentuk memori kolektif masyarakat. Ia tidak begitu dibutuhkan karena masa itu masih disebut dengan khairu al-Qurun yang diisi oleh para sahabat, tabi’in, yang memiliki cita rasa bahasa arab yang tinggi, paham seluk beluk kehidupan nabi dan memiliki malakah dalam kajian keislaman.

Dengan demikian, praktis mereka tak perlu panduan khusus berupa kitab yang berisi tata cara untuk melahirkan hukum. Karena metode-metode usul fikih ada di sanubari mereka persis seperti ketidakbutuhan mereka pada kaidah ilmu nahwu, sarraf dan ilmu alat lain.

Ushul fikih sebagai ilmu apikatif dihadirkan untuk menjawab kebutuhan ijtihad ulama dalam merumuskan hukum. Ia menjadi panduan, rujukan dan pedoman banyak sarjana yang berkepentingan menjawab persoalan. Sejak pertama kali dicetuskan hingga hari ini ia berusaha untuk terus survive merespons dinamika zaman.

Dalam sejarahnya ia mencoba bertahan dari gempuran berbagai hal. Bermula dari al-Syafi’i menyusun buku pertama dalam bidang ini agar umat Islam secara umun dan para tokohnya secara khusus pada waktu itu tak kewalahan dalam menjawab persoalan hukum yang terjadi. Era ini adalah pendasaran (ta’sis) ushul fikih.

Baca juga:  Sajian Khusus: Berkah Ekonomi Syariah

Zaman terus berjalan waktu terus bergerak, ushul fikih makin matang. Benturan pemikiran antara satu dan lainnya menjadikan ilmu ini makin kukuh baik dari segi epistimologis dan ontologis.

Pada abad kelima ushul fikih mendapatkan tantangan amat besar. Era ini bisa disebut era filsafat. Filsafat menjadi primadona. Ia menghegemoni berbagai aspek dalam Islam, salah satunya ushul fikih. Terjadi persinggungan ushul fikih dengan filsafat. Al-Ghazali hadir menyelamatkan ushul fikih dari gangguan para filsuf.

Ia menulis karya utama dalam ushul fikih berjudul al-Mustashfa yang berisi apresiasi terhadap ilmu mantik. Apresiasi al-Ghazali pada mantik memang tinggi bahkan dengan serius ia menulis: ”Siapa yang tak memiliki pengetahuan terhadap mantik, maka ilmunya diragukan”. Bisa disebut, logika aristotelian masuk ke dalam pembahasan ushul fikih sejak era al-Ghazali ini.

Pada abad berikutnya, tantangan terhadap ushul fikih kembali mengemuka. Islam meluas ke berbagai daerah. Ia tak hanya dipeluk oleh bangsa Arab. Islam juga masuk ke Andalusia atau hari ini disebut Spanyol. Belum lagi masalah lain seperti keadaan sosial tak kondusif, aktivitas ijtihad melemah sementara kasus-kasus baru terus bermunculan.

Al-Syatibi datang untuk memberi trobosan baru. Ushul fikih yang ada sebelumnya dianggap kurang “menggigit”. Sebelum al-Syatibi ushul fikih terhenti dalam kiyas. Dari itu kemudian al-Syatibi datang untuk merumuskan apa yang ia sebut “al-Maqashid”.

Dalam bab khusus di kitabnya yang monumental, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah ia bertungkus lumus bagaimana sebuah hukum memiliki pesan utama (the core of message) di balik aturan legal formal. Tujuan itu belakangan disebut Maqashid al-Syariah.

Tidak berhenti di situ, ide Maqashid al-Syariah disambut penuh bahagia oleh pemikir  modern kenamaan dari Tunisa, Muhammad Thahir bin Asyur. Ia melengkapi, memberi catatan bahkan mengembagkan apa yang digariskan oleh al-Syatibi.

Abdul Majid Najjar menyebut, sekiranya al-Syatibi disebut-disebut peletak ilmu Maqashid al-Syariah maka Thahir bin Asyur adalah pelanjut sekaligus juru bicaranya hari ini. Ibnu Asyur memang bukan intelektual main-main. Ia menulis Tafsir yang aroma penafsiran Maqashid-nya ditemukan dimana-mana.

Baca juga:  Mencari Esais Muda Pesantren: Santri Menulis Buku (Season 2)

Dalam bidang Maqashid, secara khusus ia menulis buku Maqashid al-Syariah al-Islamiyah, sebuah buku yang awalnya adalah bahan kuliah akademik untuk beberapa mahasiswa di Universitas al-Zaintunah, Tunisia.

Ibnu Asyur adalah sosok sentral dalam kajian Maqashid di era kontemporer. Hampir semua tokoh sesudahnya, seperti Allal al-Fasi, al-Raisuni, Jaser Audah dan lain sebagainya “punya hutang” keilmuan kepada penulis kitab al-Tahrir wa al-Tanwir ini.

Itulah sejarah dan dinamika panjang ushul fikih. Ilmu ini memang unik. Dalam pandangan al-Ghazali, termasuk ibnu Khaldun, usul fikih adalah termasuk paling agungnya ilmu pengetahuan. Karena ia mamadukan dua unsur penting yang selama ini dipersepsikan bermusuhan, yaitu akal dan wahyu.

Secara sederhana, al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga komponen besar. Pertama, akal murni (aql mahdh) seperti ilmu matematika dan tekhnik, kedua, wahyu murni (naqll mahdh) seperti ilmu tafsir dan hadis dan ketiga adalah kombinasi antara akal dan wahyu (ma izdawaja alaihi al-Aql wa al-Sam’u), yaitu ilmu usul fikih.

Tanpa maksud berlebihan dan melakukan glorifikasi, kehadiran ushul fikih sebagai filsafat hukum Islam justru memang tujuan utamanya untuk menjadikan Islam akan terus survive. Ia terus berdenyut sepanjang zaman sepanjang kehidupan manusia. Ibrahim bin Madzkur pernah memuji bahwa al-Syafi’i dengan ushul fikihnya lebih hebat daripada Aristoteles dengan logika formalnya.

Kini zaman terus bermunculan. Prilaku manusia yang perlu dibidik dengan fikih lahir amat cepat. Sesuatu yang tak pernah terbayangkan kini hadir di hadapan kita sendiri. Isu lingkungan, ekonomi, digital, politik, pendidikan dan lain sebagainya tiap hari kita saksikan update terbarunya.

Pertanyannya: apakah ushul fikih terus bisa survive?. []

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top