“Bismilahi kelawan nyebut asmane Allah, arrahmani kang maha welas asih ing dalem dunya lan akhirat, arrahimi tur maha welas asih ing dalem akhirat belaka”
Kalimat di atas tentu tidak asing lagi bagi kalangan santri. Meski terdengar biasa saja dan tidak istimewa, namun saya punya kenangan indah dengan terkib jawa tersebut. Sampai saat ini, kenangan tersebut masih terngiang-ngiang jelas dalam benak saya. Pertama kali mendengarnya, kalimat itu dibaca sayup-mayub dengan langgam jawa oleh seorang ustaz di Pesantren. Semenjak itu, tak hanya mendengar saja, kemudian saya ikut mengejanya dengan terbata-bata di hadapan ustaz hingga pada akhirnya hafal di luar kepala.
Kalimat bismilahirohmanirahim jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kira-kira artinya sebagai berikut: Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Namun berbeda jika diterjemahkan ke dalam bahasa jawa, kalimat tersebut mempunyai arti yang lebih luas dan kompleks. Hal demikian pernah dijelaskan oleh guru saya di Pesantren. Menurutnya, kata arahman bukan sekadar memiliki arti Maha Pengasih tetapi lebih dari itu.
Ia menuturkan bahwa kata arahman memiliki arti maha welas asih ing dalem dunya lan akhirat atau Maha Pengasih di dunia maupun di akhirat. Lebih lanjut, sifat welas asih Allah itu ada dua macam, pertama akan dicurahkan di dunia untuk semua makhlukNya tanpa terkecuali. Baik ia muslim maupun tidak, baik atau jahat, semua berhak mendapatkan sifat rahmannya Allah. Adapun sifat welas asih Allah yang kedua diperuntukkan khusus bagi mukminin kelak di akhirat. Yang terakhir inilah disebut dengan sifat rahim.
Dengan demikian, ungkap guru saya, urusan iman kelak akan dibalas oleh Allah sendiri di akhirat dengan sifat rahimNya. Maka, suatu hal yang aneh jika ada sebagian orang yang melabeli saudaranya dengan label kafir. Padahal, perihal kepercayaan, tidak ada yang tahu persis kecuali Allah. Namun, belakangan kita mudah sekali menemui orang yang mangkafirkan liyan, orang yang mendaku paling benar, paling berilmu, bahkan paling saleh sekalipun.
Fenomena inilah yang menjadi pokok bahasan buku berjudul Ingin Saleh Boleh, Merasa Saleh Jangan (2020). Buku garapan para dosen muda IAIN Surakarta ini ditulis dengan bahasa yang sederhana, tidak njelimet, dan mudah dipahami. Dalam tulisan buku ini, kita akan menjumpai tema-tema yang beragam. Mulai dari pendidikan, politik, media sosial, catatan perjalanan, hingga dinamika kehidupan keagamaan. Konon, tulisan-tulisan di buku ini ditulis estafetan oleh Abraham Zakky, dkk. Mereka membuat challenges, one day one article pada Ramadan 2019 silam. Tulisan tersebut kemudian diunggah di website islamsantun.org.
Abraham Zakky, dkk. dalam buku ini mencoba menguraikan fenomena sosial yang berkembang di masyarakat. Tidak hanya itu, mereka kemudian menjawab persoalan-persoalan yang lagi pupuler di masa sekarang, seperti maraknya komunitas hijrah, beragama dengan hoax, belajar agama online, dengan bahasan yang lugas tanpa menggurui pembaca. Membaca buku ini, kita akan menemukan pandangan kritis dari para penulis terutama yang menyoal fenomena keberislaman Indonesia masa kini. Bagi saya, buku ini dapat memantik pembaca untuk merenungi kondisi sosial yang berkembang di masa sekarang maupun masa mendatang.
Abdul Halim dalam esainya yang berjudul “Ingin Saleh Boleh, Merasa Saleh Jangan” yang kemudian dipilih menjadi judul buku ini menjelaskan bahwa menginginkan menjadi pribadi saleh tentu saja bagus dan perlu disambut gembira. Hanya saja, kita harus berhati-hati menjaga hati agar tidak terjerumus pada perasaan yang menganggap dirinya telah menjadi pribadi yang saleh sedangkan orang lain yang tidak sesuai dengan jalannya dianggap sesat.
Tidak hanya itu, ia juga menyitir maqolah Syeikh Ibnu Athailah As-Sakandari. Pengarang kitab legendaris al-Hikam tersebut menyatakan, maksiat yang melahirkan rasa hina pada diri seorang sehingga ia menjadi butuh kepada Allah, itu lebih baik daripada taat yang menimbulkan perasaan mulia dan sombong atau membanggakan diri (halaman 26).
Bagi Halim, maksud dari perkataan tersebut bukan berarti Ibnu Athailah membolehkan berbuat maksiat tetapi ia menekankan bahwa merasa hina dan butuh kepada Allah adalah sifat menghamba. Sedangkan sombong atau merasa mulia bukanlah sifat hamba melainkan sifat Tuhan. Hal demikian jauh-jauh hari pernah disinggung oleh Syeikh Nawawi al-Bantani dalam kitab Sullamut Taufiq. Menurutnya, orang yang merasa lebih baik daripada orang lain walau belum diucapkan dengan lisan alias baru krentek dalam hati disebutnya sebagai kebodohan yang murni.
Islam dan Media Sosial
Nadirsyah Hosen dalam buku Tafsir Al-quran Di Medsos (2017) mencurahkan kegelisahannya di pengantar buku. Ia menjelaskan, di era medsos seperti ini, tantangan yang diemban oleh ahlul ilm adalah harus ikutan terun gunung ke ranah medsos. Pasalnya, jaman sudah berubah. Dulu, orang belajar agama akan mendatangi majlis taklim secara langsung. Kini, orang bisa mengaji lewat gawai atau smartphone dalam keadaan apapun. Baik disaat terjebak macet, menunggu pesanan food dari abang ojol, bahkan di tempat tidur sekalipun sembari rebahan.
Oleh karena itu, jika ahlu ilm berdiam saja, tidak ikut serta berdakwah melalui media sosial. Akibatnya media sosial akan dikuasai oleh ustaz-ustzan yang kualifikasi keilmuannya tidak jelas. Walhasil, medsos akan dipenuhi ajaran Islam yang dangkal, tidak ramah, dan tentu saja penuh dengan amarah. Dan yang parah lagi mereka akan dibuat bingung oleh medsos, mana yang asli dan mana berita hoax.
Hal demikian juga menjadi topik bahasan buku ini, dalam esai yang berjudul “Dokter, Kiai, dan Cara Belajar Agama Zaman Digital”, Abraham Zakky mengkisahkan permisalan unik yang boleh jadi tidak terbayang dalam benak kita. Menurutnya, segala urusan harus diserahkan kepada ahlinya. Misalnya, dalam menyangkut kesehatan, kita harus menyerahkannya kepada dokter yang ahli dalam bidangnya, tidak boleh coba-coba.
Demikian pun dalam persoalan agama, seharusnya kita juga tidak main-main dalam urusan ini. Kita harus mengikuti ustaz atau ulama yang sanad ilmunya jelas, bukan sekadar melihat popularitas dan followernya yang banyak. Pendek kata, jika persoalan tidak diserahkan kepada ahlinya, maka akan berakibat fatal.
Bagi Abraham, fenomena demikian patut untuk dicermati dan tentu saja mengundang kecemasan mendalam. Namun, ia berharap kekhawatirannya akan hal ini semoga berlebihan dan tidak akan pernah terjadi. Walhasil, buku ini dapat membuka cakrawala sekaligus merangsang kepekaan kita terhadap fenomena sosial mutakhir.
Buku
Judul : Ingin Saleh Boleh, Merasa Saleh Jangan
Penulis : Abraham Zakky, dkk.
Penerbit : Sulur Pustaka, Yogyakarta
Terbitan : Mei, 2020
Tebal : 234 halaman
ISBN : 978-602-5803-87-1