Orang masyhur dengan sebutan “santri” sebagai seseorang yang menetap di pondok pesantren serta bergelut dengan kitab-kitab setiap harinya. Dulu, anggapan demikian mungkin sepenuhnya benar. Namun, saat pencetusan Hari Santri Nasional (HSN) pada 2017 silam, definisi tadi seolah mendapat perluasan makna.
Dalam sebuah upacara peringatan HSN sewaktu saya sekolah madrasah aliyah dulu, sesosok kiai masyhur di lingkungan sekolah menjadi pembinanya. Dalam sambutannya, beliau berkata, “santri itu bukan hanya yang tinggal di pesantren, bukan sekadar pake sakojil (sarung, kopiah, dan jilbab), bukan pula pengoleksi kitab kuning, dan masih banyak “bukan hanya” lainnya. Namun santri itu mereka yang mempunyai jiwa salafusolih dan berakhak mulia. Jadi siapun mereka yang berakhlak mulia, bisa disebut santri.”
Ungkapan itu sampai saat ini masih terpacak di kepala saya. Soal setuju atau tidak, itu merupakan perspektif. Bisa diperdebatkan berkelanjutan. Namun, ungkapan tersebut seolah telah menambah referensi soal bagaimana diksi “santri” diinterpretasikan. Pun sekaligus menjadi godam paradoks hilangnya sekat predikat santri sebagaimana mestinya.
Secara mendasar, para ulama telah berpendapat lewat kalamnya, soal bagaimana menjadi manusia mulia, terhormat, dan berwibawa. Di antaranya, ilmu bermanfaat, memiliki pangkat/jabatan dibarengi kejujuran, dermawan, akhlak mulia, dan berasal dari keturunan orang saleh.
Lulus sekolah dasar, saya masuk sebuah pesantren di Majalengka. Zaman itu, kami belum mengenal kecanggihan teknologi; seperti ponsel android. Kala itu, hanya ada aplikasi ramai tergandrungi jagat internet yakni Facebook. Bisa Facebook-an pun harus menunggu masa libur pondok. Itupun harus menepi ke warnet.
Kehidupan di pondok pun betul-betul masih alamiah. Tak ada godaan ingin membawa ponsel. Paling-paling pelanggaran yang kerap dilakukan ialah merokok (bagi laki-laki), melihat pertunjukan, atau pulang tanpa izin.
Lain dengan hari ini, santri Gen-Z mendapat tantangan lebih berat. Saya memiliki asumsi, sejak sekolah dasar mereka telah mengenal jauh soal teknologi. Masing-masing mereka pasti memiliki ponsel dan beberapa akun medsos. Dengan itu, saat masuk pondok, yang dalam aturannya tak boleh memainkan gawai, mereka bisa saja kaget.
Sehari-hari sudah terbiasa bergawai, saat mondok tetiba dilarang. Ini ujian dan cobaan yang harus dihadapi santri Gen-Z. Beberapa dari mereka legowo dengan keberterimaan aturan ini. Namun tak sedikit pula berontak, melanggar aturan, diam-diam membawa ponsel ke pondok. Beda zaman, beda pemaknaan.
Arus Deras
Setiap detik, kita terus dikejar kecepatan derasnya arus informasi di pelbagai media sosial. Santri Gen-Z bimbang antara menepi sejenak bermaksud fokus belajar, atau malah larut dalam derasnya pusaran itu. Ini menjadi penting terbahas, apakah kemajuan teknologi mendorong minat santri Gen-Z dalam belajar, atau justru sebaliknya.
Menyikapi hal ini, saya teringat pesan Gus Baha, ulama asal Rembang, bahwa dirinya tak memiliki media sosial. Beliau tak pusing soal bagaimana arus pusaran informasi itu kian menderas tiap detiknya. “… ketika saya tidak punya sosial media, saya akan aman, namun saya juga akan ketinggalan,” ucapnya.
Kalimat pendek Gus Baha ini sebetulnya bisa menjadi interpretasi santri Gen-Z untuk bijak bermedsos. Santri harus bisa membagi waktu, menyusun strategi, serta berhati-hati. Kapan waktunya sinau, belajar, dan ngaji berarti harus dijauhkan dari segala gawai. Sedang kala liburan tiba, itulah waktu tepat untuk santri memainkan ponsel, tak lain sebagai hiburan.
Lalu nyaring pula pendapat soal santri pun tak boleh ketinggalan zaman. Betul, namun bukan berarti saat waktunya ngaji, santri harus bersandingan dengan ponsel. Sebagai prinsip seorang pembelajar, maka perbanyak dan matangkan ngaji terlebih dahulu. Sebelum terjun pada peran aktif di medsos dengan misi dakwah, hiburan, dan sebagainya. Semua sudah ada masa dan fasenya. Tak boleh seorang santri melangkahi sekian tahap hanya karena tergoda kecanggihan teknologi.