Sedang Membaca
Wisata Kuliner: Mengangkat Keistimewaan Becek

Penulis lepas, pegiat literasi, pendiri Rumah Pustaka BMA, dan berminat pada kajian kuliner tradisional Nusantara. Telah menulis 60+ buku multitema. Artikelnya dimuat di berbagai koran, antara lain: Jawa Pos, Koran Jakarta, Sindo, Suara Merdeka, Solopos, Kedaulatan Rakyat, Lampung Post, Duta Masyarakat, dan lainnya. Tinggal di Grobogan, Jawa Tengah.

Wisata Kuliner: Mengangkat Keistimewaan Becek

Becek Khas Grobogan. Foto Badiatul Muchlisin Asti

Senin (23/2/2015), untuk pertama kalinya dihelat acara Festival Kuliner Grobogan. Acara yang diinisiasi oleh Komunitas Pelestari Budaya Grobogan (KPBG) itu dihelat di Alun-alun Kota Purwodadi. Festival dihelat sebagai rangkaian kegiatan dalam rangka menyambut hari jadi Kabupaten Grobogan yang ke-289.

Pada hari itu juga, saya didaulat menjadi salah satu narasumber Bincang Kuliner bertopik “Membranding Kuliner Grobogan” di panggung utama festival. Selain saya, ada Bambang Sadono (anggota DPD RI ketika itu) dan HM. Sutirto (Ketua KPBG) sebagai narasumber.

Sayang, festival itu dihelat untuk pertama kalinya dan belum diadakan lagi hingga kini. Namun, meski (hanya) sekali, festival itu tetap punya andil memopulerkan sejumlah kuliner khas Grobogan. Utamanya kuliner Becek, yang ketika itu mulai dikenal luas oleh khalayak.

“Menu Istimewa” dari Desa

Secara history, dahulu, Becek adalah menu istimewa yang dihidangkan untuk tamu saat masyarakat Grobogan—terutama yang tinggal di perdesaan, menggelar pesta hajatan seperti mantenan (pesta pernikahan) dan sunatan (khitanan). Bagi masyarakat desa kala itu, Becek adalah hidangan istimewa yang tidak setiap hari dibuat atau bisa dijumpai. Ia hanya ada saat dihelat suatu pesta.

Masyarakat desa (di Grobogan) tempo dulu memang hidup dalam kesederhanaan. Sebagian besar bahan pangan yang diolah untuk makanan keluarga setiap hari, umumnya adalah hasil tanam sendiri, di sawah, kebun, atau pekarangan rumah.

Rumah orang desa tempo dulu juga tidak mewah, tapi besar dan luas. Agar bisa menampung banyak anggota keluarga. Dindingnya cukup terbuat dari papan. Atau bahkan gedhek (anyaman bambu). Halamannya lapang, biasa disebut pekarangan, yang ditanami pelbagai sayuran dan buah-buahan seperti pisang, mangga, dan kelapa.

Ketika itu, hampir setiap rumah juga punya kandang, biasanya di belakang rumah, untuk memilihara hewan ternak seperti sapi, kerbau, dan kambing. Atau setidaknya ayam. Bagi warga desa, hewan peliharaan itu ibarat tabungan, yang sewaktu-waktu bisa dijual bila membutuhkan uang untuk suatu keperluan. Atau disembelih bila sedang mempunyai hajat.

Baca juga:  Meresapi Segarnya Taitung (3): Jejak Takeshi Kaneshiro di Mr. Brown Avenue

Dalam pergaulan sehari-hari, masyarakat desa tempo dulu juga dikenal ramah, penuh sopan santun, guyup, memiliki jiwa gotong royong, dan suka menolong antar sesama warga. Maka, dalam kamus orang desa dikenal istilah seperti rewang dan sambatan. Rewang itu membantu tetangga yang sedang punya hajat atau gawe. Adapun sambatan itu membantu tetangga yang sedang mendirikan/memperbaiki rumah.

Kesederhanaan gaya hidup seperti itulah yang menjadikan orang desa tempo dulu hidup dalam kedamaian karena selalu menyukuri hidup. Nrima ing pandum. Dalam konsumsi makanan, menu-menu hidangan berbasis daging selalu istimewa. Ia tidak hadir dalam keseharian. Maka, saat-saat menghelat pesta adalah saat-saat membuat masakan istimewa. Momentum seperti itulah yang ditunggu-tunggu. Dan Becek adalah salah satu hidangan yang biasa disajikan oleh warga Grobogan saat menghelat pesta (hajatan).

Melacak Asal Usul Becek

Dari sudut arti kata, ”becek” berarti berair dan berlumpur. Namun di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, becek tidak hanya sebuah kata yang menunjuk pada jalanan yang berair dan berlumpur yang biasanya terjadi seusai hujan. Namun juga merujuk pada sebuah nama kuliner khas.

Becek atau juga lazim disebut Sayur Becek adalah kuliner khas Grobogan. Penampakannya mirip sup iga balungan sapi. Becek memang hidangan berkuah dan berbahan iga sapi. Bumbunya minimalis meliputi: bawang merah, bawang putih, kemiri, ketumbar, dan cabe. Diberi tambahan daun kedondong dan daun dayakan, sehingga membuahkan sensasi kelezatan kuliner tradisonal yang khas dan segar, dengan tone asam dan pedas yang mendominasi.

Becek biasa disajikan dengan sepiring nasi dan ubo rampe berupa kering tempe, oseng cabe hijau, dan kacang tolo.

Baca juga:  23 Tahun Jadi TKI di Arab Saudi, Muhammad Sirot Sukses Besarkan 4 Anak

Unsur daun dayakan menjadikan cita rasa Becek terasa khas. Daun dayakan dulu banyak dijumpai di kawasan hutan gunung kendeng. Sekarang sudah mulai sulit ditemukan. Sehingga warga cukup mengandalkan daun kedondong yang mudah dijumpai untuk memperoleh cita rasa asam.

Dalam perjamuan hajatan, Becek disajikan. Banyaknya tamu yang hadir, menjadikan kuah masakan ini diperbanyak, agar semua tamu bisa kebagian. Dari sinilah, (boleh jadi) nama Becek berasal.

Konsep masakan Becek sendiri  tergolong simpel. Sehingga mudah dibuat dengan cepat. Mungkin itu karena secara historis dan sosiologis, Becek merupakan hidangan yang diperuntukkan sebagai jamuan para tamu di acara hajatan.

Banyaknya tamu yang datang, hilir mudik bak arus lalu lintas, menjadikan konsep masakannya harus simpel, dalam arti mudah dibuat. Sehingga bila habis, Becek bisa segera dibuat lagi.

Jadi Menu Rumah Makan

Seiring perkembangan zaman, terjadi banyak perubahan perilaku dan gaya hidup. Suasana perdesaan juga mulai berubah. Secara perlahan, tradisi-tradisi adiluhung seperti gotong royong di perdesaan mulai memudar. Budaya sambatan dan rewang juga nyaris tidak ada.

Hal itu juga berimbas pada cara orang desa menggelar pesta. Tak sedikit budaya kota telah memenetrasi desa, misalnya budaya prasmanan dengan menyewa jasa katering. Sehingga menu-menu istimewa ala desa seperti Becek mulai tergeser oleh menu-menu lain, yang mungkin lebih lezat dan “mewah”.

Secara perlahan, Becek mulai jarang dijumpai, termasuk saat pesta hajatan di desa. Dari sinilah, boleh jadi asal muasal sehingga pada perkembangannya, ada inisiasi membawa Becek sebagai menu di rumah makan.

Dalam atlas kuliner Grobogan sebelum tahun 2000, Becek tak pernah disebut dan diperhitungkan sebagai kuliner khas Grobogan. Ia hanya ada dalam tradisi warga. Baru setelah tahun 2000-an, tetiba Becek hadir di rumah makan. Tak jelas siapa dan rumah makan mana yang memulai. Yang jelas, mulai bermunculan rumah makan yang menyediakan menu Becek.

Baca juga:  Menikmati Arsitektur “Arwana” Masjid Hati Beriman Salatiga

Apalagi setelah muncul gempita media sosial (Faceboook). Citra Becek pun semakin gemilang. Banyak netizen (Grobogan) yang membincangkannya dan merindukannya. Akhirnya, semakin banyak lagi rumah makan di Grobogan yang menghidangkan menu Becek.

Becek Khas Grobogan vs Sega Becek Khas Nganjuk

Yang penting diketahui, kuliner Becek ternyata tidak hanya monopoli Kabupaten Grobogan. Di Jawa Timur, yakni di Kabupaten Nganjuk, juga ada “kuliner serupa” yang populer dengan nama Nasi Becek atau Sega Becek. Namun, ternyata, antara Becek khas Grobogan dan Sega Becek khas Nganjuk, terdapat perbedaan yang sangat signifikan. Boleh dibilang, sama nama tapi beda versi.

Sega Becek khas Nganjuk adalah hidangan bersantan yang mirip dengan kari kambing. Isi dari Sega Becek nyaris serupa dengan Soto Babat, namun diberi potongan sate kambing yang telah dilucuti dari tusuk satenya. Tidak lupa diberi potongan bawang merah, yang menambah kenikmatan cita rasa hidangan ini.

Sedang Becek khas Grobogan adalah hidangan tak bersantan mirip sup. Secara orisinal menggunakan daging sapi, tapi pada perkembangannya ada juga yang berekperimentasi dengan menggunakan daging kerbau dan kambing. Bercita rasa gurih dan asam karena ada unsur daun kedondong dan daun dayakan. Dalam penyajiannya, dilengkapi dengan kering tempe, oseng cabai, dan kacang tolo.

Jadi, Becek khas Kabupaten Grobogan berbeda sama sekali dengan Sega Becek khas Kabupaten Nganjuk. Boleh jadi, tidak hanya berbeda sisi resepnya, tapi juga dari sisi historisitasnya. Karena kuliner khas pada dasarnya adalah ekspresi kearifan lokal masing-masing daerah.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top