Sedang Membaca
Mata Kolonial Mengawasi Surakarta

Periset konten dan penulis lepas. Domisili di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Mata Kolonial Mengawasi Surakarta

Cokro Aminoto Dalam Sebuah Pertemuan Sarekat Islam 180928193411 361

Pada awal abad XX, Surakarta adalah kota yang tampak tenang, tetapi memiliki potensi pergolakan politik yang cukup radikal. Beragam aksi pergerakan rakyat di Kota Surakarta pada babak itu sedang tumbuh dan menjadi cikal bakal kesadaran nasionalisme Indonesia modern. Hal itu mendorong pemerintah kolonial Hindia Belanda mengawasi Kota Surakarta melalui unit polisi khusus yang mereka bentuk.  

Sejarawan Takashi Siraishi pernah membahas tensi politik Kota Surakarta di masa kolonial dalam bukunya yang berjudul Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Dalam buku itu, Takaishi menceritakan bahwa arus politik, modal, dan kebudayaan saling bertaut di Kota Surakarta. Sejumlah institusi yang mendorong arus itu antara lain pengusaha batik Laweyan, dua keraton Jawa, penerbitan pers, dan perhimpunan politik.

Melalui dukungan sekian institusi itu, beragam ekspresi pergerakan bermunculan seperti penerbitan surat kabar, karya sastra, pembentukan perkumpulan, rapat-rapat umum, dan demonstrasi. Tokoh-tokoh pergerakan nasional pun mengemuka dan bergeliat di Surakarta, misalnya Tijpto Mangonkoesomo, Mas Marco Kartodikromo, dan Haji Misbach.

Pada masa yang sama, semangat anti-kolonial sedang merebak di berbagai kota di Hindia Belanda. Demi meredam potensi pemberontakan di Hindia Belanda, pemerintah kolonial membentuk unit polisi khusus yang dinamai politieke inlichtingen dienst (PID). Para petugas PID bertugas untuk mengawasi, mencatat, menghasut, bahkan terkadang memecahbelah para motor gerakan politik anti-kolonial. Petugas PID juga berwenang untuk mengamankan mereka yang dianggap makar.

Sementara itu, aktivitas PID di Surakarta pernah dibahas oleh Takashi Siraishi dalam bukunya berjudul Hantu Digoel: Politik Pengamanan Politik. Catatan di buku itu menyebutkan bahwa PID saat itu sedang menyoroti berbagai pergerakan politik yang terjadi di Surakarta. PID juga mencatat terdapat sebuah komplotan di daerah Tasikmadu sekitar Surakarta yang memiliki senjata api dan siap menyerang polisi.

Baca juga:  Sejarah Diturunkannya Syari’at (3): Peranan Sahabat Nabi terhadap Syariat Islam

”Di perkebunan Tasikmadu, terdapat perkumpulan bernama Soerjo Moeljo yang dilaporkan telah membeli senjata api untuk mempertahankan diri dari otoritas dan untuk membunuh polisi Pemimpinnya bernama Iroseomito sedang ditahan,” tulis laporan tersebut.

Kehadiran PID di tengah pergolakan politik yang memanas, membuat para aktivis pergerakan di Surakarta lebih berhati-hati. Salah satu tokoh yang pernah menjadi sorotan PID karena keterlibatannya di organisasi kepemudaan ialah penyair angkatan Pujangga Baru, Amir Hamzah. Cerita itu termuat dalam buku biografinya berjudul Amir Hamzah: Pangeran dari Negeri Seberang.

Buku itu mengisahkan Amir Hamzah sebagai pemuda yang mudah membaur di tengah masyarakat. Diceritakan, ia bisa bergabung dengan pelbagai jaringan aktivis pergerakan nasional di Surakarta. Selain itu, ia juga terlibat dalam organisasi kepemudaan untuk serangkaian aktualisasi ide dan gagasan terkait kemerdekaan bangsa Indonesia.

Latar belakang itu membuat Amir diawasi oleh PID. Bahkan informasi terkait aktivisme Amir sampai ke telinga keluarganya di Langkat. Kekhawatiran keluarganya lantas berujung pada peringatan agar ia tidak terlibat lebih jauh dalam kancah politik.

Biografi itu turut menceritakan bagaimana PID acapkali membuntuti para pelajar di Surakarta. Saat itu, Surakarta menjadi salah satu rujukan tempat menimba ilmu dari berbagai daerah. Sekian organisasi kepemudaan bergeliat di Surakarta, sehingga kegiatan kepemudaan sering terselenggara. PID pun masuk ke sekolah-sekolah di Surakarta untuk mengawasi para pejabat sekolah beserta para muridnya.

Baca juga:  Khazanah Syamail, Rutan Bengis yang Berganti Masjid

”Sala yang dahulu termasuk sebuah arena tenang dan aman untuk kancah pergerakan serta perjuangan mengarah kemerdekaan, saat itu sudah menjadi kota yang sama gawatnya dengan Batavia. Agen-agen pemerintah penjajah tersebar luas kemana-mana,” begitu yang tertulis dalam buku itu.

Hal senada dialami oleh salah satu tokoh kemerdekaan Indonesia, S.K Trimurti. Dalam buku biografinya berjudul S.K Trimurti: Wanita Pengabdi Bangsa, Surastri -nama asli S.K Trimurti- pernah menjadi objek pengintaian PID saat bermukim di Surakarta. Momen itu terjadi ketika Surastri masih menjadi bagian dari salah satu partai politik non-kooperatif, yakni Partindo.

Pada awalnya Surastri menilai Surakarta cukup aman untuk aktivitas pergerakan politik, tidak terlalu berbahaya seperti di Batavia. Ia ingin bisa lebih leluasa beraktivitas dan tidak selalu diikuti oleh PID. Namun, harapan itu buyar. Sebab, PID memberitahu keluarganya, -yang notabene beberapa di antaranya menjadi pegawai pemerintah kolonial-, bahwa ia terlibat dalam gerakan politik non-kooperatif.

Surastri enggan jika keluarganya mengetahui ia begitu agresif dalam kancah politik. Sebab, apabila pergerakannya terus menyinggung otoritas pemerintah kolonial, kedudukan keluarganya bisa terancam. Maka dari itu, Surastri memutuskan menjaga jarak dari keluarganya yang banyak tersebar di sekitar Surakarta, termasuk kota Klaten tempat kelahirannya.

”Bukannya karena PID suka memanggil dia; tetapi lewat keluarga yang kebetulan bekerja di kalangan PID kerapkali datang laporan kepada ayah ibundanya yang di Klaten ataupun lewat pamannya yang mereka kenal, mengenai kegiatan gadis yang bernama Surastri itu,” tulis biografi itu.

Baca juga:  Penghargaan Al-Ghazali yang “Dicuri”

Dua biografi itu memberi kesaksian bagaimana PID bisa menyuntikkan pengaruh ke dalam sekian jaringan, seperti sekolah hingga keluarga. PID menebar ancaman dan momok ke tengah masyarakat Surakarta melalui bisik dan hasutan. Aksi itu acapkali mengancam keutuhan keluarga tokoh-tokoh yang ditandai oleh PID.

Kehadiran PID di Surakarta tentu membuat ruang pergerakan nasional berada dalam posisi yang tak menguntungkan. Para tokoh yang ditandai oleh PID terpaksa harus angkat kaki dari Surakarta, seperti yang dilakukan oleh Amir Hamzah dan S.K Trimurti. Keduanya menyadari, risiko perjuangan politik bisa berakhir lebih dini jika mereka berurusan lebih jauh dengan PID.

Perjuangan politik di Surakarta pada masa itu tak ayal menjadi pertaruhan mereka yang datang dengan pamrih politik. Baik para punggawa politik pergerakan maupun pihak kolonial mafhum Kota Surakarta memiliki basis kekuatan politik dalam perjuangan menuju kemerdekaan. Meski begitu, antara PID dan aktivis pergerakan nasional saling menyadari bahwa pertarungan mereka di Surakarta menjadi satu dari sekian babak perseteruan yang akan mereka tempuh lebih lanjut.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top